Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Apakah Media Sosial Merusak Persahabatan Kita Semua?

28 Juni 2023   16:20 Diperbarui: 28 Juni 2023   19:50 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media sosial mungkin menambah teman kita, tapi belum tentu memperdalam pertemanan kita | Ilustrasi oleh Torstensimon via Pixabay

Ketika hidup kita jadi lebih sibuk, media sosial menjanjikan kemudahan dan kecepatan bagi kita semua untuk terhubung. Tak ada lagi tatap muka yang canggung; sebaliknya, komunikasi berubah jadi bentuk koneksi yang instan tanpa memandang jarak geografis.

Bagaimanapun, perusahaan media sosial nyatanya hanya memperparah dan mengeksploitasi epidemi kesepian. Platform-platform ini adalah rute pelarian, sebuah cara untuk terhubung dengan seseorang yang tak ada, atau hanya ada dalam bentuk jejak tertulis.

Dengan kata lain, terhubung di media sosial sering kali hanya menciptakan lebih banyak keterputusan. Pertimbangkan filter bubble yang bikin kita makin terpapar oleh konten dan informasi yang selaras dengan preferensi dan kepercayaan kita sendiri.

Alih-alih lebih terhubung, filter bubble tampaknya membuat kita lebih mudah mengabaikan orang-orang yang tak kita setujui. Kita tentu saja lebih terkoneksi, tapi juga lebih terisolasi. Kita memiliki ribuan "teman" atau "pengikut", dan kita masih merasa kesepian.

Gejala itu turut berdampak pada persahabatan (friendship). Sementara media sosial memungkinkan kita untuk berteman dengan siapa pun, pertemanan yang terbentuk melaluinya juga sangat rapuh karena setiap orang bisa memutuskannya tanpa upaya berarti.

Namun, mari untuk tak terburu-buru menilai dan melihatnya dari berbagai sisi. Pertama-tama saya akan menguraikan sisi cerahnya, kemudian bagaimana dan mengapa persahabatan tak lagi sama di era media sosial, serta apa yang seharusnya kita lakukan.

Media sosial bisa merekatkan persahabatan

Kita semua punya sahabat, atau setidaknya teman, sebelum kita bikin akun media sosial. Jadi, walaupun kita gagal mendapatkan teman baru di media sosial, kita masih bisa memperdalam hubungan kita dengan teman yang ada.

Kita bertemu mereka di kampus atau antrean bank, kemudian kita berbagi cerita tentang hobi masing-masing. Lantas kita berteman di Facebook, saling follow di Instagram. Makin banyak media yang kita gunakan untuk menjaga hubungan, makin kuat ikatan itu.

Dalam kasus saya, media sosial bahkan mempertemukan saya dengan teman lama yang sudah sekian tahun tak berjumpa. 

Saya ingat waktu itu awal pandemi, keadaan masih mencekam, dan kami berbagi cerita tentang orang terdekat kami yang terinfeksi Covid-19.

Di sini media sosial bukan hanya melengkapi dan memperluas interaksi tatap muka, tapi juga memungkinkan kita untuk mengobrol dengan orang-orang yang agaknya tak akan kita jumpai (lagi) di dunia nyata.

Sebuah studi menemukan bahwa media sosial belum sepenuhnya menghilangkan interaksi offline di antara teman sebaya. Justru, media sosial jadi fasilitas baru bagi kaum muda untuk berkomunikasi dengan sahabatnya, sehingga menambah variasi dan nuansa persahabatan.

Sekelompok peneliti lain di Michigan State menemukan bahwa penggunaan Facebook telah menjadi sarana alternatif untuk memelihara hubungan pertemanan. Para peserta melaporkan bahwa 25-30 persen dari teman Facebook adalah "teman yang sebenarnya".

Media sosial dipilih sebagai alternatif karena, selain menghemat lebih banyak waktu daripada bertemu teman secara langsung, kita juga bisa menghubungi teman tanpa terhalang waktu dan tempat (apalagi kalau teman kita adalah tipe pengawas notifikasi).

Demikianlah, sejauh media sosial dipakai untuk melapisi koneksi offline kita dengan sahabat, tak ada masalah serius yang perlu kita cemaskan. Namun, ini bukan berarti media sosial tak pernah jadi masalah serius. Mari kita menyeberang ke sisi lainnya.

Media sosial juga bikin persahabatan jadi dangkal

Bagian inti dari persahabatan adalah bahwa orang-orang saling menghormati dan mendorong satu sama lain untuk membuat hidup mereka berjalan sebaik mungkin. Dengan adanya media sosial, itu semua telah berubah secara drastis.

Sebuah studi mengumpulkan perspektif lebih dari 3.500 remaja tentang bagian terbaik dan tersulit untuk tumbuh di dunia yang serba terhubung. Hasilnya, walau jumlah teman terus bertambah, makna pertemanan itu sendiri sudah jauh berbeda dari makna konvensional.

Jika biasanya pertemanan (atau persahabatan, saya tak membedakan kedua istilah ini) berarti saling menghormati, menghargai, dan mendengarkan suka-duka masing-masing, pertemanan di media sosial berarti menerima permintaan follow dari kenalan dan teman-dari-teman.

Andai mereka menolak, atau sekadar tak follback saat ada yang mem-follow, mereka merasa dirinya bukanlah teman yang "baik". Lebih jauhnya, ini lebih dari sekadar saling follow, tapi juga tentang mengikuti dan merespons apa yang diposting orang lain.

Para partisipan remaja memberitahu peneliti soal tekanan berat yang muncul ketika mencoba jadi "sahabat yang baik" di era media sosial, karena mereka baru bisa dianggap sahabat kalau sudah mengerahkan dukungan di depan umum dan di belakang layar.

Sebelum postingan dipublikasikan, sahabat dilibatkan dalam pemilihan foto, pengeditan, dan pemeriksaan akhir. Ketika postingan muncul, sahabat diharapkan untuk melangkah maju dan cepat. Memberi "love" atau "like" adalah hal paling minimal.

Dalam hal ini, menyukai postingan seorang teman dapat segera memicu pesan langsung yang menanyakan mengapa kita belum berkomentar. Jadi kita harus berkomentar secepat mungkin, dan tak kalah pentingnya, kita harus mengatakan sesuatu yang bagus.

Tekanan lainnya adalah merespons dengan cara yang "tepat" dan dalam waktu yang "tepat". Saya ingat saat musimnya BBM, masa di mana kita bisa tahu apakah teman kita sudah baca pesan kita atau belum, percakapan jadi agak menegangkan.

Dulu saya menganggap jarak waktu antara pesan dibaca dan dibalas amatlah penting, bahkan saya sering iseng menjadikannya tolok ukur posisi saya secara sosial. Jika pesan saya dibalas cepat, berarti saya cukup penting buat orang itu, begitu pula sebaliknya.

Seorang teman pernah bercerita bahwa dia sengaja membiarkan pesan beberapa menit, walau dia sadar ada notifikasi. Ini bukan karena dia sibuk atau malas membuka ponsel, tapi karena takut dianggap "murahan dan pengangguran" kalau membalas pesan terlalu cepat.

Pertemanan bukan lagi interaksi spontan yang mengungkapkan kejujuran satu sama lain, tapi jadi ajang formalitas belaka. Ini terutama sangat intens bagi remaja yang masih sangat peduli dengan apa yang dilakukan dan dipikirkan teman-teman sebayanya.

Dari situ bisa kita lihat bahwa kualitas yang memperkuat (atau menghancurkan) persahabatan sebenarnya sama seperti yang sudah-sudah: saling berbagi suka dan duka, saling peduli dan mendukung, serta kemampuan untuk bersama-sama menyelesaikan konflik.

Namun, media sosial telah mengubah cara persahabatan berjalan. Ini menambah beban yang harus ditanggung oleh seorang sahabat yang baik. Kadang dinamika ini menghantam remaja dengan cara yang tak dipahami oleh orang dewasa.

Implikasi terburuknya adalah, jika persahabatan diisi oleh serangkaian kebohongan, mereka telah kehilangan jejak bagaimana menunjukkan diri mereka yang sebenarnya kepada teman, sesuatu yang bikin persahabatan jadi bermakna dan berharga.

Menurut pengertian ini, media sosial telah mengubah cara kita melihat diri kita sendiri, bukan hanya cara kita melihat orang lain.

Dalam persahabatan konvensional, saya mengenal sahabat saya berdasarkan segala ucapan dan perilakunya. Demikian pula, karena saya tampil apa adanya di depan sahabat, saya pun mengenali diri saya berdasarkan segala ucapan dan perilaku saya terhadapnya.

Kini, melalui aneka fitur media sosial, kita bisa merekayasa siapa dan bagaimana kita kepada publik, termasuk sahabat kita sendiri. Kita memakai pencahayaan buatan dan latar foto yang diposisikan dengan hati-hati agar menghasilkan rupa terbaik kita.

Ucapan dan tindak-tanduk kita juga lebih terkendali. Konstruksi identitas ini tak hanya untuk menyampaikan kesan tertentu pada orang-orang yang melihat kita, tapi juga dilakukan untuk menggambarkan merek pribadi kita kepada diri kita sendiri.

Dengan menghabiskan banyak waktu untuk memastikan bahwa orang lain melihat kita dengan cara tertentu, kita secara tak langsung telah merampas kesempatan bagi siapa pun, bahkan diri kita sendiri, untuk menghargai apa yang mungkin ada di balik tampilan luar.

Baru-baru ini seorang teman bertanya tentang apa yang membuat saya gembira, hanya karena saya begitu sering memakai emot tertawa. Jawab saya: "Jika kita bertemu langsung, mungkin kau akan bertanya mengapa aku terlihat depresi, karena sebenarnya aku sedang agak stres."

Di dunia maya, kita tampaknya bisa menjadi apa pun yang kita inginkan... kecuali diri kita sendiri.

Apa yang seharusnya kita lakukan?

Sejauh ini kita telah melihat bahwa media sosial memainkan peran bermata dua. Di satu sisi, media sosial bisa membantu kita untuk memulai dan mempertahankan persahabatan, apalagi kalau jarak geografis jadi hambatan.

Namun, di sisi lain, media sosial juga cenderung merusak dan mereduksi makna persahabatan itu sendiri. Persahabatan yang berharga, seperti hubungan sukarela lain, membutuhkan kemauan dan usaha dari masing-masing pihak untuk mempertahankannya.

Dengan media sosial, kemauan dan usaha itu makin mengecil, karena orang percaya memberi teman "like and comment" saja sudah cukup untuk mempertahankan persahabatan. Padahal, persahabatan bermakna jauh lebih dalam daripada itu.

Ini bukan tentang kuantitas, tapi tentang kualitas. Media sosial adalah tentang lebih banyak pengikut, lebih banyak komentar, lebih banyak perhatian. Sebaliknya, persahabatan adalah tentang melambat, hadir dan menghabiskan waktu tanpa rekayasa ini-itu.

Jika ada, ini bukan tentang mencari lebih banyak teman; ini tentang mendalami koneksi kita dengan teman yang sudah kita miliki. Kita tak membutuhkan ribuan koneksi online, karena satu sahabat dalam kehidupan nyata jauh lebih bernilai daripada itu.

Ini menjelaskan mengapa ledakan penggunaan media sosial justru memicu epidemi kesepian. Kita berkirim pesan dengan "teman" kita selama berjam-jam online, tapi kita tak tahu harus menelepon siapa ketika kita benar-benar membutuhkan teman bicara.

Sahabat saya, bukan pengikut Instagram atau teman Facebook, yang mengajari saya betapa berartinya interaksi sosial itu. Satu waktu, ketika saya sudah terlalu tua untuk berlari, saya ingin melihat ke belakang dan memastikan bahwa tubuh saya telah berpengalaman.

Maksudnya, saya ingin mengatakan dengan pasti bahwa tubuh saya mengalami banyak hal di luar layar, di bawah matahari, mendengarkan lelucon sahabat saya, tertawa, berlarian seperti anak kecil, duduk di tepi danau dan merasakan embusan anginnya hingga bergidik.

Saya ingin tidur di bawah bintang-bintang, mengingat setiap kenangan buruk yang membuat hati saya kecewa sampai ke intinya, dan lalu sahabat saya mengatakan bulan malam ini hanya sepertiga; saya tersenyum padanya, mengerti bahwa dunia ini tak terpahami.

Kami, tentu saja, tak akan melewatkan kecanggihan zaman kami. Sesekali saya menambah dan mengedit koleksi stiker WA dengan aneka meme lucu. Saya mengirimnya kepada sahabat saya, kami berbagi stiker tawa, dan esok kami berjanji untuk bertemu langsung.

Saya pikir jika Anda mengalami krisis dalam hidup Anda, Anda akan melihat sesuatu: bukan pengikut Instagram yang datang untuk duduk bersama Anda. Alih-alih, sahabat Andalah yang akan hadir menatap wajah murung Anda dan menawarkan bahunya untuk Anda menangis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun