Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Paradoks Produktivitas: Waktu Luang Bikin Kita Lebih Produktif

4 Juni 2023   19:58 Diperbarui: 5 Juni 2023   09:14 2418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Barang dan jasa pemuas kebutuhan makin lengkap, tapi kebutuhan juga terus bertambah dan bervariasi. Orang pun lantas percaya bahwa mereka harus bekerja selama mungkin, menekan waktu istirahat sampai pada batas minimalnya.

Dalam kondisi begini, ketika orang entah bagaimana merasa bersalah kalau terlalu lama diam atau terlalu sedikit bekerja, tampaknya bukanlah saat yang tepat untuk membicarakan waktu luang. Jam-jam kosong, kata mereka, kontraproduktif.

Waktu luang, paradoksnya, justru menjadikan orang lebih produktif. Sekitar dua tahun lalu, Islandia menyelesaikan eksperimen lima tahun di mana 2.500 pekerja dari lebih 100 perusahaan berbeda mengurangi jam kerja mereka dari 40 jadi 35 atau 36 jam seminggu.

Pada waktu berdekatan, pemerintah Spanyol memulai eksperimen serupa dengan mengurangi jam kerja jadi 32 jam seminggu. Pada tahun 2019, Microsoft Jepang juga mencoba jam kerja yang lebih pendek.

Semua eksperimen tersebut sama-sama melaporkan adanya peningkatan produktivitas serta efisiensi secara holistik. Penelitian dan laporan semacam itu bukanlah barang aneh, tapi sebagian besar orang tetap percaya bahwa waktu luang bersifat kontraproduktif.

Mereka yang "membenci" waktu luang

Dalam dunia kerja, bahkan juga pendidikan, walau tak semua, kita dihargai atas dasar seberapa lama kita duduk dan hadir di kantor (atau kampus), bukan berdasarkan apa yang kita kerjakan. Waktu luang dianggap tak produktif, hanya buang-buang waktu.

Inilah mengapa kita punya jutaan pekerja kantoran yang menghabiskan lebih banyak waktu di meja kerja mereka. Waktu istirahat biasanya hanya untuk makan dan ke kamar mandi. Seperti katak dalam tempayan air yang terus menghangat, ini dapat mengancam jiwa kalau terlambat.

Dalam sebuah meta-analisis penelitian yang melibatkan lebih dari 1 juta orang, mereka yang duduk lebih dari delapan jam sehari tanpa aktivitas fisik sama sekali punya risiko kematian yang lebih tinggi, setara dengan risiko kematian akibat merokok.

Gejala tersebut tak hanya terjadi di kalangan pekerja kantoran, tapi juga orang-orang terkaya dan berpendidikan tinggi. Dulu, orang ingin kaya agar punya banyak waktu luang. Sekarang, hampir semua orang dari kelas sosial mana pun tampak menghindari waktu luang.

Problemnya, sekalipun mereka benar-benar ingin menyisihkan kesenggangan dari pekerjaan mereka, percaya bahwa waktu luang itu buang-buang waktu dan tak produktif justru bakal membuatnya jadi kenyataan.

Mereka mungkin masih mendapatkan apa yang mereka kejar, tapi beberapa penelitian bilang bahwa mereka sebetulnya lebih stres dan depresi dan cemas daripada orang yang menghargai waktu luang.

Sejumlah orang berasumsi bahwa jika mereka bekerja saat malam, akhir pekan, dan liburan untuk pengembangan diri, mereka nantinya akan punya waktu luang. Namun, sadar-tak-sadar mereka masih terus bekerja: pasar tenaga kerja makin tak pasti dan tren berubah-ubah.

Ketika waktu luang tiba, mereka merasa ada sesuatu yang kurang. Jadi esoknya mereka coba "meng-hack" waktu luang: jogging sambil mendengarkan audiobook. Apa yang mereka sebut "waktu luang" ternyata masih menyibukkan mereka.

Kesenggangan dan kreativitas

Dari situ bisa kita lihat bahwa "waktu luang" sebatas dijadikan pelarian dari pekerjaan yang begitu melelahkan, seolah inilah waktu pembalasan dendam bagi orang untuk mencari penghiburan diri, walau kerap percuma.

Alih-alih jadi kesempatan untuk memenuhi hasrat dan potensi pribadi, waktu luang sekadar jadi momen bermalas-malasan - keinginan untuk tak melakukan apa-apa kecuali menonton televisi atau kenikmatan pasif lainnya - daripada mencurahkan energi intelektual.

Waktu luang, tentu saja, tak sesederhana berbaring di tempat tidur. Jika kita berkaca balik ke Yunani Kuno, waktu luang diterjemahkan sebagai skhole atau sekolah. Semasa senggang inilah orang-orang Yunani belajar dan mengejar hal-hal yang lebih tinggi.

Alkisah, orang Yunani saat itu mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi suatu tempat atau seorang pandai tertentu untuk belajar. Mereka menyebut kegiatan itu dengan "skhole". Dalam "skhole" inilah mereka memenuhi potensi dirinya.

Atas dasar itulah, orang-orang Yunani, baik para filsuf dan seniman maupun warga biasa, tak memandang waktu luang sebagai jam-jam kosong belaka. Bagi mereka, waktu luang adalah kebebasan untuk kegiatan kreatif atau intelektual.

Plato, lewat mulut Socrates, mengontraskan waktu luang dengan pengalaman seseorang yang tenggelam dalam pengadilan. Orang-orang ini, menurutnya, selalu tergesa-gesa dan dibatasi oleh tuntutan orang lain, terikat macam-macam sumpah, tertekan musuh, dan jaga citra.

Orang-orang santai, mereka yang punya waktu luang, kata Plato, tak masalah apakah mereka berbicara selama sehari atau setahun andai saja mereka bisa mencapai apa yang ada. Dengan kata lain, tujuannya bukan menyelesaikan lebih banyak hal, tapi seberapa dalam.

Aristoteles, muridnya Plato, memandang waktu luang sebagai kesenggangan yang diperlukan untuk aktivitas intelektual. Jadi dalam momen jeda inilah, paradoksnya, orang belajar dan mengerti sesuatu.

Itulah mengapa Bertrand Russell, bersama cendekiawan lainnya seperti Josef Pieper, berpikir bahwa pada saat-saat santai itulah peradaban tercipta. Hanya ketika meluangkan waktu untuk jeda bekerja, manusia menemukan roda, seni, filsafat, sastra, dan inovasi lainnya.

Kaisar Romawi Suci abad ke-12 Frederick II mengambil waktu istirahat dari mengumpulkan wilayah yang luas untuk berdiskusi panjang dengan Fibonacci, dan dia bahkan melakukan studi ornitologi untuk risalah yang masih tak tertandingi tentang elang.

Ketika mengerjakan "The Last Supper", Leonardo da Vinci secara teratur berhenti melukis selama beberapa jam dan tampak melamun tanpa tujuan. "Orang genius terhebat," katanya pada seorang pastor, "kadang mencapai lebih banyak hal saat mereka bekerja lebih sedikit."

Suatu waktu, Richard Feynman iseng melihat anak-anak bermain piringan yang berputar di kafetaria dan mulai menghitung goyangannya "untuk bersenang-senang". Ini memberinya inspirasi untuk mengembangkan "diagram Feynman", dan hasilnya adalah Hadiah Nobel.

John Alec Baker memanfaatkan jeda-jeda dari kesibukannya untuk mengamati burung secara intens dan kontemplatif. Dia mengikuti elang peregrine dengan sepeda, membawa teropong dan buku catatan. Hasilnya adalah The Peregrine (1967), refleksi puitis yang luar biasa.

Albert Einstein, karena dinilai gagal sebagai mahasiswa pascasarjana fisika, bekerja selama tujuh tahun sebagai juru tulis paten. Pada waktu luangnya inilah dia menulis banyak makalah, termasuk tentang teori relativitas - makalah yang menjungkirbalikkan fisika.

Dia menyebut kantor paten itu sebagai "biara duniawi tempat saya menetaskan ide-ide terindah saya".

Waktu luang bahkan bisa muncul sebagai kontemplasi dalam kondisi mengerikan. Psikolog Victor Frankl menulis tentang apa yang disebutnya "intensifikasi kehidupan batin" semasa dirinya jadi tahanan di Auschwitz.

Saat beristirahat dari kerja paksanya, Frankl mengingat orang-orang yang dicintainya, beserta gambaran kehidupan di masa-masa indahnya. Kala matahari terbenam dan cahayanya remang di pepohonan, para tahanan ujug-ujug sadar tentang adanya makna untuk sisa hidup mereka.

Paradoks waktu luang

Ada dua jenis waktu luang. Pertama, "waktu luang instrumental", contohnya mengajak anak bermain dan dengan demikian meringankan berbagai tugas orang tua. "Bermain" itu sendiri bukan tujuannya, tapi hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan lain yang berjangka panjang.

Kedua, "waktu luang terminal", di mana aktivitas dan tujuan "menyatu" bersama, misalnya menghadiri sebuah pesta hanya untuk bersenang-senang, yang langsung jadi tujuan akhir itu sendiri.

Semua kasus yang saya bicarakan di atas, anehnya, merujuk pada jenis kedua. Kemampuan untuk menikmati waktu luang terminal merupakan prediktor yang lebih kuat untuk kepuasan dibandingkan dengan menikmati waktu luang instrumental.

Inilah paradoksnya: waktu luang sangat berguna, tapi hanya sejauh waktu luang itu tetaplah waktu luang. Begitu kesenggangan ini dilihat sebagai sarana untuk meningkatkan semangat kerja atau pengembangan diri, kekuatan waktu luang justru memudar.

Waktu luang ada bukan demi pekerjaan. Waktu luang adalah soal melakukan sesuatu untuk kepentingannya sendiri, untuk mengejar apa yang diinginkan. Kita harus melawan keinginan untuk merusak waktu luang jadi peretasan produktivitas.

Waktu luang, seperti yang dicontohkan oleh orang-orang hebat tadi, menjaga kondisi pikiran tetap aktif. Ini karena waktu luang yang baik bukanlah bermalas-malasan, melainkan diskusi dengan rekan-rekan berkualitas, berolahraga, belajar main musik, berfilsafat.

Waktu luang, ironisnya, tak mudah, tapi seharusnya memuaskan. Ini bukan rekreasi semata, melainkan kebebasan dari tekanan untuk berhasil atas apa yang kita lakukan, menjelajahi jalan-jalan tak produktif untuk, paradoksnya, meningkatkan produktivitas.

Dalam jeda inilah, orang melakukan apa yang paling mendefinisikan mereka, apa yang paling mencirikan siapa mereka sebenarnya. Jadi, saat kita punya waktu senggang, jangan biarkan keyakinan bahwa kita "harus memperoleh yang terbaik dari ini" menguasai kita.

Dengan kombinasi yang pas antara pekerjaan dan waktu luang, antara pemenuhan kebutuhan hidup dan pemenuhan potensi pribadi, antara kesibukan dan hobi, antara berkendara dan beristirahat, kita (mungkin) akan mulai mengerti apa itu puncak kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun