Mereka mungkin masih mendapatkan apa yang mereka kejar, tapi beberapa penelitian bilang bahwa mereka sebetulnya lebih stres dan depresi dan cemas daripada orang yang menghargai waktu luang.
Sejumlah orang berasumsi bahwa jika mereka bekerja saat malam, akhir pekan, dan liburan untuk pengembangan diri, mereka nantinya akan punya waktu luang. Namun, sadar-tak-sadar mereka masih terus bekerja: pasar tenaga kerja makin tak pasti dan tren berubah-ubah.
Ketika waktu luang tiba, mereka merasa ada sesuatu yang kurang. Jadi esoknya mereka coba "meng-hack" waktu luang: jogging sambil mendengarkan audiobook. Apa yang mereka sebut "waktu luang" ternyata masih menyibukkan mereka.
Kesenggangan dan kreativitas
Dari situ bisa kita lihat bahwa "waktu luang" sebatas dijadikan pelarian dari pekerjaan yang begitu melelahkan, seolah inilah waktu pembalasan dendam bagi orang untuk mencari penghiburan diri, walau kerap percuma.
Alih-alih jadi kesempatan untuk memenuhi hasrat dan potensi pribadi, waktu luang sekadar jadi momen bermalas-malasan - keinginan untuk tak melakukan apa-apa kecuali menonton televisi atau kenikmatan pasif lainnya - daripada mencurahkan energi intelektual.
Waktu luang, tentu saja, tak sesederhana berbaring di tempat tidur. Jika kita berkaca balik ke Yunani Kuno, waktu luang diterjemahkan sebagai skhole atau sekolah. Semasa senggang inilah orang-orang Yunani belajar dan mengejar hal-hal yang lebih tinggi.
Alkisah, orang Yunani saat itu mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi suatu tempat atau seorang pandai tertentu untuk belajar. Mereka menyebut kegiatan itu dengan "skhole". Dalam "skhole" inilah mereka memenuhi potensi dirinya.
Atas dasar itulah, orang-orang Yunani, baik para filsuf dan seniman maupun warga biasa, tak memandang waktu luang sebagai jam-jam kosong belaka. Bagi mereka, waktu luang adalah kebebasan untuk kegiatan kreatif atau intelektual.
Plato, lewat mulut Socrates, mengontraskan waktu luang dengan pengalaman seseorang yang tenggelam dalam pengadilan. Orang-orang ini, menurutnya, selalu tergesa-gesa dan dibatasi oleh tuntutan orang lain, terikat macam-macam sumpah, tertekan musuh, dan jaga citra.
Orang-orang santai, mereka yang punya waktu luang, kata Plato, tak masalah apakah mereka berbicara selama sehari atau setahun andai saja mereka bisa mencapai apa yang ada. Dengan kata lain, tujuannya bukan menyelesaikan lebih banyak hal, tapi seberapa dalam.
Aristoteles, muridnya Plato, memandang waktu luang sebagai kesenggangan yang diperlukan untuk aktivitas intelektual. Jadi dalam momen jeda inilah, paradoksnya, orang belajar dan mengerti sesuatu.