Secara naluriah, kita tampaknya lebih condong memerhatikan keburukan daripada kebaikan. Kita mengklik berita negatif lebih banyak ketimbang berita positif. Kita merenungkan satu kritik kecil dari atasan kita, terlepas betapa banyaknya pencapaian kita.
Ketika kita mengalami banyak kejadian menyenangkan dalam satu hari, kita biasanya fokus pada satu-satunya hal buruk yang terjadi. Ini bikin kita cemas seolah semua kesenangan yang kita alami tak pernah ada. Satu komentar negatif saja sudah bisa menghancurkan mood kita.
Kecenderungan semacam itu bukanlah pengalaman sesekali, melainkan keseharian. Manusia mengingat pengalaman negatif dengan lebih jelas daripada pengalaman positif. Psikologi punya istilah khusus untuk itu: bias negatif (negativity bias atau negativity instinct).
Apa itu bias negatif?
Bias negatif merujuk pada kecenderungan kita untuk lebih memerhatikan hal-hal yang buruk ketimbang hal-hal yang baik. Sekalipun intensitasnya sama, atau bahkan hal-hal positif lebih banyak, bias negatif tetap membuat kita berfokus pada pengalaman dan peristiwa buruk.
Ada sedikitnya empat jenis bias negatif.
Pertama, negative potency. Jenis ini bikin kita lebih terpengaruh oleh peristiwa negatif secara emosional, sekalipun kita telah mengalami jauh lebih banyak peristiwa positif. Contoh, satu komentar negatif bisa merusak mood kita begitu lama meski kita menerima banyak pujian.
Kedua, greater stepness of negative gradients. Dalam pengertian ini, peristiwa negatif yang kita alami, sekecil apa pun, lebih cepat berubah jadi pengalaman emosional yang besar, dan sebaliknya, peristiwa positif biasanya tak punya dampak langsung atau intensitas yang sama.
Ketiga, negativity dominance. Jenis ini bilang bahwa pikiran dan persepsi kita cenderung didominasi informasi negatif, sekalipun informasi positif juga ada (dan lebih banyak). Misal, kita lebih menyoroti satu skandal seorang publik figur ketimbang semua pencapaiannya.
Keempat, negative differentiation. Jenis ini biasanya bikin orang trauma: kejadian negatif cenderung diingat dengan lebih detail dan jelas ketimbang peristiwa positif. Saya, misalnya, masih bisa merasakan satu pengalaman pahit minggu lalu, dan saya lupa tentang sisanya.
Mengapa kita mengalami bias negatif?
Jika kita bertemu nenek moyang kita di zaman purba, sebagian besar dari kita mungkin akan bangga untuk menunjukkan semua teknologi mengkilap yang dimiliki generasi kita. Mereka menatap bingung, dan kita masih berbicara dengan angkuh.