Menurut pengertian ini, ironisnya, demokrasi adalah sesuatu yang menuntut; ia menuntut dan memanggil orang untuk bertindak. Seperti ujar Max Weber (1921): "Politics is a strong and slow boring of hard boards".
Setiap orang berbeda. Ada yang tertarik pada isu lingkungan, ada yang tertarik dengan isu keadilan sosial, atau gerakan buruh atau persoalan ekonomi. Semua orang selalu melakukan sesuatu yang sedikit berbeda. Kekuasaan harusnya bisa diawasi dari segala arah.
Kenyataannya inilah yang (sering) terjadi: para penguasa merasa leluasa untuk menjalankan kebijakan absurd mereka - atau tak berbuat apa pun sama sekali - karena mereka berasumsi bahwa orang tak tahu apa yang terjadi, bahwa media tak akan meliputnya, bahwa orang terlalu sibuk dengan dirinya masing-masing. Intinya, bagaimanapun, mereka yakin bakal menang.
Itu adalah agenda yang keterlaluan.
Kita biasanya gagal melihat itu di siang hari, tapi masalahnya, karena berbagai alasan, agenda itu memang tak terlihat di siang hari. Jika tirai sudah agak terbuka dan bau-bau kebohongan mulai terendus, seperti yang dilakukan Bima, diskusi coba dialihkan ke persoalan lain.
Tugas kita, karenanya, adalah terlibat dalam proses politik dengan segala cara yang mungkin. Sama seperti kita ingin dokter untuk peduli pada pasiennya, atau guru agar memerhatikan murid-muridnya, kita juga ingin politisi untuk merepresentasikan suara-suara kita.
Memang, kita sendiri acapkali tak sependapat satu sama lain karena setiap orang membawa perspektif, pengalaman, dan nilai yang berbeda. Kita berharap punya pemimpin yang entah bagaimana bisa mendamaikan pertentangan kita sendiri secara adil.
Namun, kita jarang memiliki pemimpin yang bijak, akurat, dan sesuai dengan keinginan kita. Ini berarti, kita harus mengambil tanggung jawab untuk menilai para pemimpin kita dan kebijakan-kebijakan mereka secara serius, bahkan dengan cara keras.
Saat mereka mengecewakan kita, kita harus menuntut tanggung jawab mereka. Itulah esensi demokrasi. Dengan sistem yang lebih bebas, terbuka, dan setara daripada otokrasi, demokrasi bisa membuat mereka yang bersalah dan lalai menuai konsekuensi dari kegagalan mereka.
Dalam pengertian ini, saya berpendapat bahwa partisipasi demokratis, seperti yang dilakukan Bima, membuat para pemimpin bekerja lebih keras untuk melindungi dan melayani masyarakat.
Itu karena setiap pemerintah yang ingin tetap berkuasa, atau setidaknya dikenang secara baik, harus berusaha sekeras mungkin untuk menghindari dan menekan kesalahan. Taruhannya adalah legitimasi mereka.