Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Bima, Lampung dan (Absurditas) Demokrasi Kita

5 Mei 2023   06:00 Diperbarui: 9 Mei 2023   12:31 978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang warga Lampung memilih cara kreatif untuk menggambarkan kondisi jalan rusak di sekitar rumahnya | Gambar oleh Vina Oktavia via Kompas.id

Demokrasi sebenarnya didasarkan pada prinsip Abraham Lincoln bahwa "Anda [mungkin] bisa membodohi semua orang sementara waktu, dan beberapa orang sepanjang waktu, tapi Anda tak bisa membodohi semua orang sepanjang waktu."

Baru-baru ini, warganet ramai membicarakan pemerintah Lampung yang mengebut perbaikan jalan-jalan rusak setelah Presiden Jokowi dikabarkan akan berkunjung pada Rabu (03/05). Pihak Istana menyatakan kunjungan ini ditunda jadi Jumat (05/05).

Beberapa pihak dari Pemprov Lampung membantah perbaikan jalan itu sebagai efek viral di media sosial. Katanya, sejak penetapan APBD bulan Desember awal, proyek perbaikan jalan memang sudah memiliki alokasi anggarannya tersendiri.

Ini mungkin permainan narasi, tapi saya tak terlalu menyoal itu. Bagaimanapun, efek tekanan publik jelas terlihat. Apa yang membuat saya tertarik adalah bagaimana kritik Bima Yudho dapat mengonstruksi diskursus nasional lewat sebuah konten TikTok.

Menariknya lagi, kritik tersebut muncul saat sebagian besar pemuda kita memalingkan muka dari politik. Kendati polemik yang ditimbulkannya hanyalah satu dari sekian problem klasik kebebasan berpendapat, saya melihat itu sebagai momentum baru bagi demokrasi kita.

Concern trolling

Tuduhan bahwa Bima telah menyebarkan ujaran kebencian yang mengandung SARA melalui video kritiknya terhadap pemerintah Lampung bukanlah perkara unik. Dukungan dan simpati publik terhadapnya pun, kalau kita berkaca ke masa lalu, bukanlah satu-satunya kasus.

Saya tak bermaksud merendahkan kedaruratan isu ini, apalagi keluarga Bima sempat diancam dan diintimidasi. Justru, saya bilang begitu untuk menunjukkan bahwa kita masih belum juga dewasa dalam berdemokrasi. Isu ini, dengan demikian, sangat darurat.

Pola lama berulang lagi: pengkritik dilaporkan karena diduga menyampaikan ujaran "buruk". Pelapor kemudian berujar kira-kira begini: "Kritik itu boleh, tapi harus tahu sopan-santun dan etika." Pendeknya, Anda boleh menyinggung asal tak menyakiti perasaan.

Konsepsi semacam itu sudah tertanam kuat dalam filsafat politik. John Stuart Mill, misalnya, memandang kebebasan berbicara sebagai sesuatu yang mutlak, tapi mengkualifikasikannya, seperti semua kebebasan, ketika kebebasan itu menyebabkan "kerugian" bagi orang lain.

Di atas pijakan yang rapuh itu, tumbuhlah sebuah bangunan hukum tentang ujaran kebencian, fitnah, dan pencemaran nama baik. Sebagaimana bisa kita lihat dari kasus-kasus terdahulu, area ini telah menjadi sangat politis dan diperebutkan.

Dalam kasus Bima, tuduhan bahwa dia telah mengutarakan ujaran kebencian, terutama pada kata "dajal" yang diucapkannya, menurut saya adalah satu dari sekian contoh penggunaan concern trolling oleh pihak-pihak tertentu untuk membungkam kritik.

Concern trolling pada dasarnya adalah praktik menipu di mana Anda berpura-pura peduli pada suatu masalah, tapi motif sebenarnya adalah untuk mendiskreditkan dan melemahkan tujuan atau orang-orang yang mengadvokasi masalah tersebut.

Singkat kata, concern trolling adalah semacam pengalihan isu.

Taktik ini biasanya digunakan oleh seseorang yang ingin menunjukkan superioritas moralnya dan, secara bersamaan, memperoleh status sosial dengan menyatakan diri secara terbuka mengenai kepeduliannya terhadap keresahan masyarakat.

Tapi, pengguna concern trolling sebetulnya adalah seorang hipokrit. Mereka biasanya akan bilang begini: "Saya setuju dengan tujuan dan kritik Anda, hanya saja ketidaksopanan Anda tak bisa ditoleransi."

Dalam kasus Bima, efek dari concern trolling mudah dilihat: orang jadi ragu dan bingung apakah harus membela Bima atau justru mencelanya. Dengan menyoal cara Bima menyampaikan kritik, perhatian kita telah dialihkan dari "kritik" ke "pengkritik".

Selain mencerminkan sesat pikir ad hominem, itu juga berpotensi bikin kita mengabaikan apa yang menjadi substansi dari kritik tersebut, seolah kalau Bima terbukti salah (faktanya, kasus laporan Bima sudah dihentikan) kritiknya juga ikut salah.

Demokrasi sebagai panggilan untuk bertindak

Keputusan Bima dalam mengkritik pemerintah Lampung, sampai tingkat tertentu, merupakan sebentuk aktivisme. Seorang aktivis sering kali didorong oleh rasa frustrasi terhadap apa yang dinilainya sebagai sikap keras kepala dari penguasa.

Dia memandang penguasa penuh arogansi, tak peduli pada ketidakadilan yang dilanggengkan oleh mereka sendiri. Dia melihat penguasa hanya merasionalisasi berbagai keputusan mereka, kemudian membagi keuntungan di antara mereka sendiri.

Karena sebagian orang tak menyadari otak-atik institusional semacam itu, atau menerimanya dengan acuh-tak-acuh atau pasrah, maka aktivis percaya tentang pentingnya untuk mengekspresikan kemarahan terhadap ketidakadilan yang terus berlanjut.

Politik memang berisiko, tapi kemarahan sering kali tepat. 

Menurut pengertian ini, ironisnya, demokrasi adalah sesuatu yang menuntut; ia menuntut dan memanggil orang untuk bertindak. Seperti ujar Max Weber (1921): "Politics is a strong and slow boring of hard boards".

Setiap orang berbeda. Ada yang tertarik pada isu lingkungan, ada yang tertarik dengan isu keadilan sosial, atau gerakan buruh atau persoalan ekonomi. Semua orang selalu melakukan sesuatu yang sedikit berbeda. Kekuasaan harusnya bisa diawasi dari segala arah.

Kenyataannya inilah yang (sering) terjadi: para penguasa merasa leluasa untuk menjalankan kebijakan absurd mereka - atau tak berbuat apa pun sama sekali - karena mereka berasumsi bahwa orang tak tahu apa yang terjadi, bahwa media tak akan meliputnya, bahwa orang terlalu sibuk dengan dirinya masing-masing. Intinya, bagaimanapun, mereka yakin bakal menang.

Itu adalah agenda yang keterlaluan.

Kita biasanya gagal melihat itu di siang hari, tapi masalahnya, karena berbagai alasan, agenda itu memang tak terlihat di siang hari. Jika tirai sudah agak terbuka dan bau-bau kebohongan mulai terendus, seperti yang dilakukan Bima, diskusi coba dialihkan ke persoalan lain.

Tugas kita, karenanya, adalah terlibat dalam proses politik dengan segala cara yang mungkin. Sama seperti kita ingin dokter untuk peduli pada pasiennya, atau guru agar memerhatikan murid-muridnya, kita juga ingin politisi untuk merepresentasikan suara-suara kita.

Memang, kita sendiri acapkali tak sependapat satu sama lain karena setiap orang membawa perspektif, pengalaman, dan nilai yang berbeda. Kita berharap punya pemimpin yang entah bagaimana bisa mendamaikan pertentangan kita sendiri secara adil.

Namun, kita jarang memiliki pemimpin yang bijak, akurat, dan sesuai dengan keinginan kita. Ini berarti, kita harus mengambil tanggung jawab untuk menilai para pemimpin kita dan kebijakan-kebijakan mereka secara serius, bahkan dengan cara keras.

Saat mereka mengecewakan kita, kita harus menuntut tanggung jawab mereka. Itulah esensi demokrasi. Dengan sistem yang lebih bebas, terbuka, dan setara daripada otokrasi, demokrasi bisa membuat mereka yang bersalah dan lalai menuai konsekuensi dari kegagalan mereka.

Dalam pengertian ini, saya berpendapat bahwa partisipasi demokratis, seperti yang dilakukan Bima, membuat para pemimpin bekerja lebih keras untuk melindungi dan melayani masyarakat.

Itu karena setiap pemerintah yang ingin tetap berkuasa, atau setidaknya dikenang secara baik, harus berusaha sekeras mungkin untuk menghindari dan menekan kesalahan. Taruhannya adalah legitimasi mereka.

Dengan kata lain, bertahan melawan ancaman sosial yang ada tak terlalu bergantung pada kepercayaan warga negara terhadap pemimpin, melainkan kapasitas warga negara yang demokratis untuk menghukum para pemimpin yang gagal dalam memenuhi kebutuhan dasar.

Media sosial, ruang publik baru?

"Digital itu politis," kata Jamie Susskind dalam bukunya Future Politics (2018). Menurutnya, perdebatan utama saat ini bukan lagi tentang seberapa banyak kehidupan kolektif kita yang harus ditentukan oleh negara dan kekuatan pasar.

Pertanyaan yang kini harus kita hadapi adalah seberapa besar kehidupan kolektif kita yang harus diarahkan dan dikendalikan oleh sistem digital. Dalam konteks ini, sistem digital telah dimanfaatkan pemerintah untuk mengontrol dan melayani warga negara.

Sebaliknya, sistem digital juga dapat digunakan oleh warga negara untuk mengawasi serta menekan pemerintah. Kasus Bima tak terkecuali, bahkan sampai-sampai muncul tagar "Bima Effect" sebagai tanda betapa kuatnya aktivisme digital semacam itu.

Namun, ada keraguan bahwa dunia digital, terutama media sosial, bisa menjadi ruang publik baru. Eitan Hersh (2020), misalnya, memiliki istilah "political hobbyism": situasi ketika kita berpolitik hanya untuk memenuhi kebutuhan emosional kita sendiri.

Dengan memperlakukan politik seolah-olah sebagai permainan, seseorang merasa perlu untuk memberikan pendapat tentang setiap gejolak politik harian, dengan emosi dan berdebat dan berkicau di media sosial. Ini membuat aktivisme digital jadi dangkal.

Namun, saya berpendapat bahwa itu hanyalah satu dari dua sisi sebuah koin. Ini berarti, media sosial bisa melukai demokrasi -- misalnya dengan mengubur isu-isu penting lewat berita-berita skandal selebriti -- atau justru menyehatkan buat demokrasi kita.

Mulai dari kontroversi regulasi pencairan Jaminan Hari Tua dan perkara Mario Dandy yang berakhir jadi kasus kelembagaan, sampai kasus internasional seperti Revolusi Iran yang dibantu Twitter, media sosial bisa menjadi sarana untuk mendorong perubahan sosial-politik.

Bagaimanapun, media sosial hanyalah alat. Kitalah yang menentukan hasilnya.

Semua contoh itu berhasil karena satu hal penting: para partisipan tak hanya memanfaatkan media sosial untuk membingkai dan memobilisasi opini publik, tapi pada dasarnya mereka memang sudah berkomitmen untuk menekan rezim dan mengadakan perubahan.

Penutup

Dalam bukunya Political Hypocrisy (2018), David Runciman berpendapat bahwa kita harus menerima kemunafikan sebagai fakta politik. Bentuk kemunafikan politik yang paling bahaya adalah mengklaim bahwa kita memiliki politik tanpa kemunafikan.

Fakta itu tak boleh ditanggapi oleh pesimisme. Justru, itu adalah dorongan supaya kita lebih terlibat (lagi) dalam politik.

Kenyataannya, politik benar-benar membuat perbedaan dalam hidup kita apakah kita diatur dengan baik atau buruk. Kita tak bisa berpaling dari politik sambil membayangkan semuanya bakal baik-baik saja.

Politik adalah politik. Orang yang tak ingin diganggu oleh politik sama saja seperti mereka yang menganggap politik sebagai penghalang bagi niat baik mereka untuk memperbaiki dan mengubah sesuatu.

Mungkin sulit untuk terlibat dalam politik, sebagaimana Bima mengalami ancaman dan intimidasi secara sosial dan hukum, tapi lari dari politik bukanlah pilihan. Kata John Locke, kalau kita abai terhadap politik, kita akan rentan dimangsa oleh singa-singa yang memerintah kita.

Dengan demikian, kita perlu memahami bagaimana pemerintah beroperasi. Sebaliknya, cara ini hanya akan berjalan mulus kalau pemerintah sendiri pertama-tama bersedia mendengarkan dan memahami masyarakatnya.

Saya berpendapat bahwa pemerintah harus meningkatkan perlindungan bagi para "peniup peluit". Ketika orang maju untuk melaporkan kesalahan, baik di pemerintahan atau sektor swasta, mereka mempertaruhkan segalanya, termasuk bahaya pribadi dan profesional.

Pemerintah harus melindungi para peniup peluit tersebut. Bahkan negara demokrasi paling maju sekalipun sangat membutuhkan undang-undang yang kuat untuk melindungi pelapor pelanggaran.

Hanya dengan begitulah - mencegah pembalasan secara hukum dan memberikan hak kepada para peniup peluit untuk mencari keadilan melalui pengadilan kalau mereka menghadapi pembalasan - maka negara demokrasi dapat memastikan eksistensinya.

Dan itu tak bisa dilakukan dengan berdiam diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun