Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Memikirkan Kembali Parliamentary Threshold di Indonesia: Sebuah Perspektif Kritis

26 April 2023   07:56 Diperbarui: 4 Mei 2023   09:17 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Rapat Paripurna RAPBN 2019 di gedung DPR RI, Selasa (28/8/2018) | Gambar oleh Andri Donnal Putera via KOMPAS.com

Partai politik telah menjadi ciri utama demokrasi elektoral. Inilah mengapa patologi politik kontemporer sering kali berasal dari kelemahan serius yang melanda partai-partai besar. Di Indonesia sendiri, partai-partai politik adalah makhluk yang sangat aneh.

Sementara mereka begitu lembut karena terbuka untuk semua jenis pendatang baru (bahkan komedian sekalipun), mereka juga sangat keras: mereka secara efektif bergabung dengan negara dalam menetapkan aturan kompetisi politik, memastikan pendatang baru - khususnya partai-partai kecil - hanya memiliki sedikit cara untuk memengaruhi permainan.

Mereka berasumsi bahwa sistem politik yang terfragmentasi, kondisi ketika partai-partai kecil masih berkesempatan besar untuk memperoleh kursi di parlemen, dapat mengakibatkan kemacetan politik, terutama dalam pembentukan pemerintahan. Demikianlah, untuk mengurangi atau setidaknya menahan fragmentasi, ambang batas parlemen (parliamentary threshold) mulai diperkenalkan.

Di sini saya bakal mengajukan tujuh argumen, baik teoretis maupun empiris, tentang mengapa penerapan ambang batas parlemen cenderung mencederai hak politik warga negara dan kurang menyehatkan untuk demokrasi kita.

Selain itu, aturan ini juga kurang efektif dalam jangka panjang karena efek hambatan masuk pada koordinasi politik - dan karenanya pada jumlah partai - tidak cukup berpengaruh secara empiris, termasuk dalam kasus Indonesia.

Pendeknya, saya berpendapat bahwa aturan ini hanya akan mempertahankan status quo dan, dengan demikian, kemandekan.

Pengertian dan tujuan ambang batas parlemen

Ambang batas parlemen menyiratkan bahwa sebuah partai hanya bisa mendapatkan kursi di parlemen kalau perolehan suaranya secara keseluruhan berada di atas nilai tertentu. Artinya, partai-partai yang mencapai porsi suara minimum dijamin mendapatkan alokasi kursi.

Nilai spesifiknya berbeda-beda di setiap negara: Swedia memiliki ambang batas empat persen suara nasional, Jerman lima persen, dan Turki sepuluh persen. Indonesia sekarang memiliki ambang batas empat persen dari jumlah suara nasional untuk bisa menduduki kursi DPR.

Seringnya, aturan ini dibenarkan karena dua alasan: membantu menghambat fragmentasi dan menahan munculnya partai-partai baru. Semakin tinggi hambatan elektoral, menurut asumsi pendukung ambang batas, semakin rendah jumlah partai yang bersaing.

Ini akan mengurangi koalisi yang terpecah-pecah, meningkatkan stabilitas pemerintah, dan menekankan kembali prioritas nasional yang menyeluruh.

Partai-partai yang nantinya terpinggirkan dipercaya akan bergabung dengan partai-partai yang lebih mapan - atau tidak mengikuti pemilu sama sekali di masa mendatang karena menyerah untuk memperoleh suara minimum.

Selain itu, ambang batas secara tidak langsung juga menghambat, bahkan cenderung merugikan, para kandidat independen, karena partai-partai mengumpulkan suara di seluruh daerah pemilihan sementara calon independen tidak.

Kritik terhadap parliamentary threshold

Di sini saya memiliki tujuh argumen, baik teoretis maupun empiris, tentang mengapa penerapan ambang batas parlemen di Indonesia cenderung melukai hak politik warga negara dan, secara mekanis, kurang efektif dalam jangka panjang.

Pertama, ambang batas parlemen mencederai hak untuk dipilih. Salah satu syarat dasar eksistensi demokrasi modern adalah hak bagi seluruh warga negara untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan politik.

Pembatasan terhadap hak ini seharusnya hanya menyisakan sedikit untuk populasi di luar lingkaran pemilih, seperti anak-anak yang masih di bawah umur. Jika tidak, demokrasi kita bakal rusak.

Ini terutama karena hak untuk dipilih menyentuh dua kebebasan dasar: kebebasan berekspresi dan kebebasan berserikat. Dengan demikian, setiap individu yang ingin mencalonkan diri berhak untuk memperoleh perlindungan dan tidak terlalu dibatasi oleh hukum artifisial.

Menolak hak untuk dipilih, mengingat konstitusi sendiri menjaminnya, sama saja dengan menolak keberadaan seseorang itu sendiri. Ini serupa seperti "pelecehan politik" karena nilai-nilai pribadi seseorang dinomorduakan dan tidak diakui.

Dalam hal ini, saya merujuk pada pemikiran John Rawls mengenai kesetaraan kesempatan yang adil (fair equality of opportunity). Prinsip ini mencegah perbedaan vertikal (misalnya, status ekonomi) dan horizontal (agama, suku, ras) berkontribusi sebagai faktor yang terlalu menentukan kesuksesan seseorang.

Bagi Rawls, kesuksesan individu (dan saya tambahkan, kesuksesan elektoral) harus sangat dipengaruhi oleh seberapa termotivasinya subjek, serta seberapa keras mereka berusaha untuk mencapai tujuannya.

Ini berarti, tidak masalah kalau orang dilahirkan sebagai anggota kelas buruh atau kelompok minoritas, jika mereka berusaha dan berkompetisi secara adil, mereka mesti dilindungi hak-haknya untuk mencapai keinginan mereka.

Dengan kata lain, setiap warga negara dijamin memiliki dasar kebebasan pribadi yang sama dan status politik yang setara. Jadi, perhatian kita semestinya adalah membangun persaingan yang adil ketimbang menjamin hasil yang (seolah-olah) adil.

Ambang batas parlemen, menurut hemat saya, tidak memenuhi kriteria tersebut. Alasannya cukup sederhana: aturan ini "merekayasa" kompetisi politik sedemikian rupa sehingga partai-partai kecil dikesampingkan secara sistematis.

Alhasil, para pemenang yang sebenarnya bisa saja tidak meraih kursi sama sekali karena terbentur aturan. Nasib mereka tidak terlalu ditentukan oleh dirinya sendiri, melainkan juga oleh orang lain (suara partainya di tingkat nasional) dan regulasi pemilu.

Kedua, mengingat hak memilih dan dipilih adalah satu paket yang sama dalam demokrasi perwakilan, maka pengekangan terhadap salah satunya dapat membuat demokrasi tidak lagi menjadi representatif sepenuhnya.

Dalam hal ini, ambang batas parlemen turut mencederai hak warga negara untuk memilih. Partai-partai politik yang tidak memenuhi ambang batas secara efektif dikecualikan dari representasi parlemen, terlepas dari tingkat dukungan mereka di antara para pemilih.

Artinya, para pemilih yang mendukung partai-partai kecil, atau tepatnya partai-partai yang tidak lolos ambang batas, secara efektif kehilangan hak pilih mereka karena suara mereka terbuang percuma.

Mereka tentu berangkat ke tempat pemungutan suara, tetapi sebenarnya suara mereka dikecualikan. Karena partai yang mereka pilih tidak lolos ambang batas, maka suara mereka, ironisnya, tidak dihitung.

Orang mungkin berpendapat bahwa "suara terbuang" semacam itu selalu ada dalam praktik demokrasi elektoral manapun. Persoalannya, ambang batas melakukan itu secara artifisial dan sistematis.

Ketiga, ambang batas elektoral menguntungkan partai-partai petahana dan, karenanya, melemahkan kompetisi dalam proses politik.

Aturan ini tentunya membuat partai-partai kecil berusaha meningkatkan peluang mereka untuk memperoleh paling tidak satu kursi, tetapi kita mesti ingat bahwa partai-partai besar juga ingin memaksimalkan porsi suara mereka dan tidak sudi kehilangan satu kursi pun.

Secara kasat mata, ini normal; kompetisi elektoral senantiasa begitu. Namun, partai-partai petahana memiliki keuntungan dalam memenuhi ambang batas, sebab mereka memiliki akses terhadap sumber daya dan basis pemilih yang sudah ada.

Partai-partai yang lebih kecil, di sisi lain, sering kali terpinggirkan dan sulit bersaing dengan partai-partai petahana. Ini menghasilkan zero-sum game: satu pihak diuntungkan dan pihak lainnya yang setara dirugikan.

Jika partai-partai kecil gagal memenuhi ambang batas, semua upaya dan perjuangan mereka menjadi nol.

Periode berikutnya, mereka tidak bisa melanjutkan suara terakhir mereka; bagaimanapun, seperti peserta pemilu lainnya, mereka memulai semuanya dari nol kembali - dan mungkin saja berakhir dengan nol lagi.

Keempat, ambang batas parlemen menjadikan partai semakin pragmatis. Kata "semakin" perlu digarisbawahi, karena pada dasarnya tanpa ambang batas pun partai politik mungkin masih pragmatis.

Jika orang sudah menginginkan sesuatu, apalagi menginginkan kekuasaan, dan mereka diberi hambatan atau tantangan, alih-alih mundur dan menyerah, mereka justru dapat mencoba dan menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginannya itu.

Untuk melewati hambatan yang ada, para elite partai mungkin ingin bekerja sama dalam situasi yang saling menguntungkan. Problemnya, terutama dalam dunia politik, jarang ada win-win solutions, sehingga pihak yang terlibat bakal cenderung memakai cara-cara kotor.

Mereka mungkin membentuk sebuah kartel atau aliansi elektoral, atau menahan diri untuk tidak menetapkan kandidat di satu atau beberapa dapil, atau lebih baik memusatkan sumber daya mereka pada kandidat atau daerah tertentu.

Bahayanya, partai jadi terlalu menekankan keuntungan jangka pendek dan mengabaikan beragam kepentingan jangka panjang.

Efek politik pragmatis bahkan dapat menjalar kepada para pemilih. Distribusi suara dalam pemilu bergantung pada interaksi antara pemilih dan partai, dan strategi pemilih sama pentingnya dengan strategi partai.

Individu dapat bertindak strategis untuk tidak menyia-nyiakan suara mereka, misalnya memilih kandidat atau partai yang mungkin mendapatkan setidaknya representasi minimal meskipun itu bukan pilihan utama mereka.

Jadi, seorang pemilih Perindo di Pemilu 2019, setelah mengetahui dan menimbang betapa kecilnya peluang mereka untuk memenuhi ambang batas parlemen di Pemilu 2024, mungkin beralih memilih partai-partai besar supaya suaranya tidak terbuang percuma.

Kelima, ambang batas parlemen mungkin hanyalah produk repetisi politis yang sering kali melibatkan ruang negosiasi antar partai politik di parlemen. Dengan kata lain, kebijakan ini bermuara pada tarik-ulur kepentingan partai politik.

Ini bisa dilihat pada terjadinya tarik-menarik penentuan angka ambang batas di setiap periode elektoral. Dalam hal ini, angka empat persen adalah hasil kompromi para elite partai berdasarkan hasil kalkulasi intuitif terkait eksistensi mereka sendiri di dalam parlemen.

Empat persen, katanya, lebih moderat: tidak terlalu besar ataupun terlalu kecil, dan angka ini juga masih di bawah jumlah perolehan partai-partai yang saat ini menghuni DPR.

Jadi, selain terbukti lagi bahwa aturan ini cenderung menguntungkan partai-partai petahana, angka empat persen bukanlah hasil dari pertimbangan ilmiah atau akademis, tetapi sekadar kira-kira saja.

Masalahnya, kita tidak bisa menentukan angka ambang batas seolah kita adalah panitia seksi konsumsi untuk sebuah acara: paket A terlalu mahal, paket C terlalu murah, jadi kita pilih saja paket B.

Cara semacam ini bisa jadi menyamarkan kepentingan strategis partai-partai petahana dalam premium yang dibuat-buat, di mana mereka menerima lebih banyak alokasi kursi ketika porsi suara partai-partai kecil dikurangi.

Peraturan ini barangkali berhasil dalam mencapai stabilitas pemerintahan jangka pendek, tetapi peraturan ini mungkin menjadi hegemoni dalam jangka panjang.

Keenam, kalau memang ambang batas parlemen hanyalah hasil kompromi elite belaka dan bukannya kalkulasi ilmiah atau akademis, maka peraturan ini juga dapat dimanipulasi untuk kepentingan politik tertentu.

Sistem pemilu, dalam konteks ini, merupakan instrumen manipulasi politik yang paling spesifik. Karena sistem pemilu jarang tertanam secara konstitusional, ia bisa dimanipulasi dengan lebih mudah daripada fitur-fitur desain penting lainnya dari sebuah pemerintahan.

Perubahan yang relatif kecil dalam sistem pemilu, termasuk tingkat ambang batas parlemen, bisa saja menghasilkan perubahan besar pada nasib elektoral sebuah partai atau pada jumlah partai di dalam badan legislatif.

Selain itu, peraturan ambang batas parlemen juga memberikan bonus kepada partai-partai besar dan menghukum partai-partai kecil, memberikan mereka lebih sedikit daripada alokasi kursi yang representatif. 

Efek ini sebenarnya mekanis, dalam arti bukan manipulasi, sejauh tidak bersifat matematis. Masalahnya, aturan ini berubah-ubah sejak pertama penerapannya (kecuali Pemilu 2024 yang mengadopsi angka ambang batas Pemilu 2019) dan masih diperdebatkan secara hangat.

Ketujuh, ambang batas parlemen sebenarnya telah gagal dalam memenuhi tujuannya.

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, aturan ini dimaksudkan sebagai strategi alternatif untuk membuat rintangan terhadap partai-partai kecil agar tidak mudah masuk ke dalam parlemen dan, dengan begitu, pemerintahan dapat menjadi lebih stabil.

Namun, tujuan tersebut secara empiris tidak terpenuhi, setidaknya sejauh yang bisa dihitung secara matematis. Pada Pemilu 2009, ketika aturan ini pertama kali diterapkan, ambang batas sebesar 2,5 persen dari jumlah suara nasional menghasilkan 9 partai politik di DPR.

Jika kita membandingkannya dengan Pemilu 2004, ketika 17 dari 24 partai berhasil masuk parlemen, terdapat pengurangan jumlah riil partai di DPR secara signifikan. Kendati begitu, jumlah partai justru kembali bertambah pada Pemilu 2014 menjadi 10 partai, dan Pemilu 2019 menghasilkan 9 partai di DPR - hanya minus Partai Hanura.

Peserta Pemilu 2019 pun membengkak menjadi 16 partai setelah tahun 2014 hanya 12 partai. Dari sini bisa kita lihat bahwa upaya penyederhanaan partai politik melalui parliamentary threshold sebetulnya kurang efektif - kalau bukan gagal sama sekali.

Partai politik yang menduduki DPR relatif bertahan di angka 9 dan 10. Jadi, saya berpendapat bahwa aturan ini jatuhnya malah mempertahankan status quo dan, karenanya, kemandekan.

Kita telah terlanjur mengorbankan keragaman representasi untuk memperoleh pemerintahan yang stabil, tetapi tampaknya stabilitas itu pun tidak pernah benar-benar tercapai. Akibatnya, apa yang ada (dan akan terus ada) hanyalah stagnansi.

Kesimpulan

Ambang batas parlemen memiliki sebentuk efek kausalitas terhadap hasil politik. Di satu sisi, ini adalah sarana untuk mencapai kohesi legislatif dengan memastikan bahwa partai-partai non-arus utama hanya menerima bagian yang relatif kecil di DPR. Di sisi lain, ini juga mengurangi keragaman suara untuk mencapai representasi ideal.

Dengan aturan itu, sistem representasi proporsional yang lazimnya menguntungkan partai-partai kecil, justru berbalik merugikan mereka karena kehadiran mereka secara serempak dianggap dapat menghasilkan parlemen yang terfragmentasi serta tidak efektif.

Respons yang beragam dari partai, bahkan sampai sekarang, sebenarnya mengindikasikan adanya sesuatu yang tidak bisa disampaikan secara gamblang tentang peraturan ini, entah itu karena bias parliamentary threshold atau kesan bahwa angka ambang batas hanyalah kesepakatan politik tanpa ada kalkulasi ilmiah atau akademis yang mendasarinya.

Meskipun saya tidak mempunyai rekomendasi normatif mengenai kelayakan ambang batas parlemen, sedikitnya saya berharap para pembuat kebijakan dan pemilih menyadari bahwa apa yang kita butuhkan adalah regulasi pemilu yang menyeimbangkan kohesi legislatif dan representasi politik, bukan yang menyingkirkan salah satunya.

Dalam sistem multipartai, sebagaimana kita terapkan, mestinya menjadi sebuah keniscayaan yang harus diterima kalau partai-partai kecil mampu menempati kursi parlemen dan partai-partai baru, sebagai representasi kepentingan yang beragam dan dinamis, terus bermunculan.

Ini bukan berarti kohesi legislatif harus dijadikan korban; jauh dari itu, ini berarti peraturan yang dibuat haruslah didasarkan pada dasar teori yang kuat, kalkulasi ilmiah yang ketat, serta metode akademis yang tepat- bukan sekadar pertimbangan intuitif belaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun