Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Memikirkan Kembali Parliamentary Threshold di Indonesia: Sebuah Perspektif Kritis

26 April 2023   07:56 Diperbarui: 4 Mei 2023   09:17 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Rapat Paripurna RAPBN 2019 di gedung DPR RI, Selasa (28/8/2018) | Gambar oleh Andri Donnal Putera via KOMPAS.com

Ini bisa dilihat pada terjadinya tarik-menarik penentuan angka ambang batas di setiap periode elektoral. Dalam hal ini, angka empat persen adalah hasil kompromi para elite partai berdasarkan hasil kalkulasi intuitif terkait eksistensi mereka sendiri di dalam parlemen.

Empat persen, katanya, lebih moderat: tidak terlalu besar ataupun terlalu kecil, dan angka ini juga masih di bawah jumlah perolehan partai-partai yang saat ini menghuni DPR.

Jadi, selain terbukti lagi bahwa aturan ini cenderung menguntungkan partai-partai petahana, angka empat persen bukanlah hasil dari pertimbangan ilmiah atau akademis, tetapi sekadar kira-kira saja.

Masalahnya, kita tidak bisa menentukan angka ambang batas seolah kita adalah panitia seksi konsumsi untuk sebuah acara: paket A terlalu mahal, paket C terlalu murah, jadi kita pilih saja paket B.

Cara semacam ini bisa jadi menyamarkan kepentingan strategis partai-partai petahana dalam premium yang dibuat-buat, di mana mereka menerima lebih banyak alokasi kursi ketika porsi suara partai-partai kecil dikurangi.

Peraturan ini barangkali berhasil dalam mencapai stabilitas pemerintahan jangka pendek, tetapi peraturan ini mungkin menjadi hegemoni dalam jangka panjang.

Keenam, kalau memang ambang batas parlemen hanyalah hasil kompromi elite belaka dan bukannya kalkulasi ilmiah atau akademis, maka peraturan ini juga dapat dimanipulasi untuk kepentingan politik tertentu.

Sistem pemilu, dalam konteks ini, merupakan instrumen manipulasi politik yang paling spesifik. Karena sistem pemilu jarang tertanam secara konstitusional, ia bisa dimanipulasi dengan lebih mudah daripada fitur-fitur desain penting lainnya dari sebuah pemerintahan.

Perubahan yang relatif kecil dalam sistem pemilu, termasuk tingkat ambang batas parlemen, bisa saja menghasilkan perubahan besar pada nasib elektoral sebuah partai atau pada jumlah partai di dalam badan legislatif.

Selain itu, peraturan ambang batas parlemen juga memberikan bonus kepada partai-partai besar dan menghukum partai-partai kecil, memberikan mereka lebih sedikit daripada alokasi kursi yang representatif. 

Efek ini sebenarnya mekanis, dalam arti bukan manipulasi, sejauh tidak bersifat matematis. Masalahnya, aturan ini berubah-ubah sejak pertama penerapannya (kecuali Pemilu 2024 yang mengadopsi angka ambang batas Pemilu 2019) dan masih diperdebatkan secara hangat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun