Jika partai-partai kecil gagal memenuhi ambang batas, semua upaya dan perjuangan mereka menjadi nol.
Periode berikutnya, mereka tidak bisa melanjutkan suara terakhir mereka; bagaimanapun, seperti peserta pemilu lainnya, mereka memulai semuanya dari nol kembali - dan mungkin saja berakhir dengan nol lagi.
Keempat, ambang batas parlemen menjadikan partai semakin pragmatis. Kata "semakin" perlu digarisbawahi, karena pada dasarnya tanpa ambang batas pun partai politik mungkin masih pragmatis.
Jika orang sudah menginginkan sesuatu, apalagi menginginkan kekuasaan, dan mereka diberi hambatan atau tantangan, alih-alih mundur dan menyerah, mereka justru dapat mencoba dan menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginannya itu.
Untuk melewati hambatan yang ada, para elite partai mungkin ingin bekerja sama dalam situasi yang saling menguntungkan. Problemnya, terutama dalam dunia politik, jarang ada win-win solutions, sehingga pihak yang terlibat bakal cenderung memakai cara-cara kotor.
Mereka mungkin membentuk sebuah kartel atau aliansi elektoral, atau menahan diri untuk tidak menetapkan kandidat di satu atau beberapa dapil, atau lebih baik memusatkan sumber daya mereka pada kandidat atau daerah tertentu.
Bahayanya, partai jadi terlalu menekankan keuntungan jangka pendek dan mengabaikan beragam kepentingan jangka panjang.
Efek politik pragmatis bahkan dapat menjalar kepada para pemilih. Distribusi suara dalam pemilu bergantung pada interaksi antara pemilih dan partai, dan strategi pemilih sama pentingnya dengan strategi partai.
Individu dapat bertindak strategis untuk tidak menyia-nyiakan suara mereka, misalnya memilih kandidat atau partai yang mungkin mendapatkan setidaknya representasi minimal meskipun itu bukan pilihan utama mereka.
Jadi, seorang pemilih Perindo di Pemilu 2019, setelah mengetahui dan menimbang betapa kecilnya peluang mereka untuk memenuhi ambang batas parlemen di Pemilu 2024, mungkin beralih memilih partai-partai besar supaya suaranya tidak terbuang percuma.
Kelima, ambang batas parlemen mungkin hanyalah produk repetisi politis yang sering kali melibatkan ruang negosiasi antar partai politik di parlemen. Dengan kata lain, kebijakan ini bermuara pada tarik-ulur kepentingan partai politik.