Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Memikirkan Kembali Parliamentary Threshold di Indonesia: Sebuah Perspektif Kritis

26 April 2023   07:56 Diperbarui: 4 Mei 2023   09:17 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketujuh, ambang batas parlemen sebenarnya telah gagal dalam memenuhi tujuannya.

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, aturan ini dimaksudkan sebagai strategi alternatif untuk membuat rintangan terhadap partai-partai kecil agar tidak mudah masuk ke dalam parlemen dan, dengan begitu, pemerintahan dapat menjadi lebih stabil.

Namun, tujuan tersebut secara empiris tidak terpenuhi, setidaknya sejauh yang bisa dihitung secara matematis. Pada Pemilu 2009, ketika aturan ini pertama kali diterapkan, ambang batas sebesar 2,5 persen dari jumlah suara nasional menghasilkan 9 partai politik di DPR.

Jika kita membandingkannya dengan Pemilu 2004, ketika 17 dari 24 partai berhasil masuk parlemen, terdapat pengurangan jumlah riil partai di DPR secara signifikan. Kendati begitu, jumlah partai justru kembali bertambah pada Pemilu 2014 menjadi 10 partai, dan Pemilu 2019 menghasilkan 9 partai di DPR - hanya minus Partai Hanura.

Peserta Pemilu 2019 pun membengkak menjadi 16 partai setelah tahun 2014 hanya 12 partai. Dari sini bisa kita lihat bahwa upaya penyederhanaan partai politik melalui parliamentary threshold sebetulnya kurang efektif - kalau bukan gagal sama sekali.

Partai politik yang menduduki DPR relatif bertahan di angka 9 dan 10. Jadi, saya berpendapat bahwa aturan ini jatuhnya malah mempertahankan status quo dan, karenanya, kemandekan.

Kita telah terlanjur mengorbankan keragaman representasi untuk memperoleh pemerintahan yang stabil, tetapi tampaknya stabilitas itu pun tidak pernah benar-benar tercapai. Akibatnya, apa yang ada (dan akan terus ada) hanyalah stagnansi.

Kesimpulan

Ambang batas parlemen memiliki sebentuk efek kausalitas terhadap hasil politik. Di satu sisi, ini adalah sarana untuk mencapai kohesi legislatif dengan memastikan bahwa partai-partai non-arus utama hanya menerima bagian yang relatif kecil di DPR. Di sisi lain, ini juga mengurangi keragaman suara untuk mencapai representasi ideal.

Dengan aturan itu, sistem representasi proporsional yang lazimnya menguntungkan partai-partai kecil, justru berbalik merugikan mereka karena kehadiran mereka secara serempak dianggap dapat menghasilkan parlemen yang terfragmentasi serta tidak efektif.

Respons yang beragam dari partai, bahkan sampai sekarang, sebenarnya mengindikasikan adanya sesuatu yang tidak bisa disampaikan secara gamblang tentang peraturan ini, entah itu karena bias parliamentary threshold atau kesan bahwa angka ambang batas hanyalah kesepakatan politik tanpa ada kalkulasi ilmiah atau akademis yang mendasarinya.

Meskipun saya tidak mempunyai rekomendasi normatif mengenai kelayakan ambang batas parlemen, sedikitnya saya berharap para pembuat kebijakan dan pemilih menyadari bahwa apa yang kita butuhkan adalah regulasi pemilu yang menyeimbangkan kohesi legislatif dan representasi politik, bukan yang menyingkirkan salah satunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun