Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Memikirkan Kembali Parliamentary Threshold di Indonesia: Sebuah Perspektif Kritis

26 April 2023   07:56 Diperbarui: 4 Mei 2023   09:17 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ambang batas parlemen, menurut hemat saya, tidak memenuhi kriteria tersebut. Alasannya cukup sederhana: aturan ini "merekayasa" kompetisi politik sedemikian rupa sehingga partai-partai kecil dikesampingkan secara sistematis.

Alhasil, para pemenang yang sebenarnya bisa saja tidak meraih kursi sama sekali karena terbentur aturan. Nasib mereka tidak terlalu ditentukan oleh dirinya sendiri, melainkan juga oleh orang lain (suara partainya di tingkat nasional) dan regulasi pemilu.

Kedua, mengingat hak memilih dan dipilih adalah satu paket yang sama dalam demokrasi perwakilan, maka pengekangan terhadap salah satunya dapat membuat demokrasi tidak lagi menjadi representatif sepenuhnya.

Dalam hal ini, ambang batas parlemen turut mencederai hak warga negara untuk memilih. Partai-partai politik yang tidak memenuhi ambang batas secara efektif dikecualikan dari representasi parlemen, terlepas dari tingkat dukungan mereka di antara para pemilih.

Artinya, para pemilih yang mendukung partai-partai kecil, atau tepatnya partai-partai yang tidak lolos ambang batas, secara efektif kehilangan hak pilih mereka karena suara mereka terbuang percuma.

Mereka tentu berangkat ke tempat pemungutan suara, tetapi sebenarnya suara mereka dikecualikan. Karena partai yang mereka pilih tidak lolos ambang batas, maka suara mereka, ironisnya, tidak dihitung.

Orang mungkin berpendapat bahwa "suara terbuang" semacam itu selalu ada dalam praktik demokrasi elektoral manapun. Persoalannya, ambang batas melakukan itu secara artifisial dan sistematis.

Ketiga, ambang batas elektoral menguntungkan partai-partai petahana dan, karenanya, melemahkan kompetisi dalam proses politik.

Aturan ini tentunya membuat partai-partai kecil berusaha meningkatkan peluang mereka untuk memperoleh paling tidak satu kursi, tetapi kita mesti ingat bahwa partai-partai besar juga ingin memaksimalkan porsi suara mereka dan tidak sudi kehilangan satu kursi pun.

Secara kasat mata, ini normal; kompetisi elektoral senantiasa begitu. Namun, partai-partai petahana memiliki keuntungan dalam memenuhi ambang batas, sebab mereka memiliki akses terhadap sumber daya dan basis pemilih yang sudah ada.

Partai-partai yang lebih kecil, di sisi lain, sering kali terpinggirkan dan sulit bersaing dengan partai-partai petahana. Ini menghasilkan zero-sum game: satu pihak diuntungkan dan pihak lainnya yang setara dirugikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun