Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Artikel Utama

Bisakah Demokrasi Berjalan Tanpa Partai Politik?

11 Maret 2023   07:55 Diperbarui: 12 Maret 2023   09:45 1241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konon, tak ada orang jujur yang bisa bertahan lama dalam politik. Bahkan kata "politik" itu sendiri sering dihubungkan dengan sikap licik, korup, dan munafik. Saya ingat kala saya ikut lomba debat SMA dan kami kalah di final, rekan saya menggerutu: "Ah, politik!"

Kendati terdapat aneka faktor yang membuat politik begitu tercemar, saya percaya bahwa sebagian besarnya muncul dari kesan negatif kita terhadap partai politik. Mereka bertengkar di antara mereka sendiri, dan kadang terlalu kekanak-kanakan.

Orang pun percaya bahwa partai politik itu korup, lebih mengutamakan kepentingan mereka sendiri daripada kesejahteraan rakyat yang diwakilinya. Mereka juga kerap dipandang terlalu birokratis dan kurang luwes dalam menanggapi aspirasi masyarakat.

Pendeknya, sentimen negatif tentang partai politik sering kali berakar pada rasa frustrasi dan kekecewaan kita terhadap tindak-tanduk mereka. Jadi, kalau memang partai politik dianggap merugikan rakyat, mengapa tak sekalian saja kita bubarkan mereka?

Partai politik dan demokrasi

Entah orang memikirkan demokrasi atau sistem totaliter seperti Uni Soviet, Fasis Italia, dan Nazi Jerman; negara-negara Afrika atau Amerika Latin yang telah tertatih-tatih selama lebih dari satu abad, partai politik dalam satu atau lain bentuk ada di mana-mana.

Partai politik adalah buatan sistem politik modern dan modernisasi sistem politik. Dalam hal ini, partai politik dianggap muncul karena adanya kesadaran dari kekuasaan (pemerintah) bahwa rakyat, termasuk penduduk biasa sekalipun, perlu diperhatikan dengan serius.

Bedanya, negara-negara demokrasi memandang itu sebagai kesempatan seluas-luasnya bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam banyak urusan kekuasaan (misal, perumusan kebijakan publik atau memilih presiden).

Bagi negara-negara totaliter, itu berarti rakyat perlu diawasi (dan saya tambahkan, dikontrol). Makanya partai politik dalam negara totaliter acapkali merepresentasikan negara itu sendiri, seperti partai Nazi yang pada saat itu dipandang sebagai wujud "Jerman" itu sendiri.

Dari perspektif itu, hanya sistem demokrasi yang memungkinkan partai politik untuk bekerja secara penuh dan efektif. Bahkan beberapa ahli ilmu politik berpendapat bahwa partai politik adalah endemik demokrasi, sebagaimana orangutan adalah hewan khas dari Indonesia.

Di negara demokrasi seperti Indonesia, partai politik menghubungkan rakyat dengan institusi demokrasi, yang berarti mewakili aspirasi kita untuk disampaikan ke pemerintah. Legislatif kita bahkan seolah disusun menurut garis partai.

Mereka membingkai perdebatan kebijakan di parlemen (misal, DPR). Mereka menentukan kepentingan mana yang layak didengar: apakah keluhan petani di satu sisi, atau usulan suatu proyek besar dari para pengusaha di sisi lain.

Karenanya partai sangat penting bagi kehidupan demokrasi kita. Saking pentingnya, kalau mereka tak responsif, politik kita juga tak bisa responsif, dan jika mereka tak inklusif, politik kita juga tak bisa inklusif.

Dalam hal ini, partai beroperasi sebagai perantara penting yang menghubungkan penguasa dan yang dikuasai. Fungsi partai yang paling mendasar adalah mewakili opini publik untuk kemudian disampaikan dan diterjemahkan kepada para pemimpin politik.

Namun, seiring waktu, kebanyakan orang telah menyangkal fungsi itu. Mengapa? Jawaban singkatnya: internet.

Kemunculan internet, khususnya media sosial, membuat beberapa fungsi partai jadi buyar. Dulu, partai biasa mengedukasi masyarakat agar mereka paham kebijakan pemerintah. Kini pemerintah bisa langsung mengedukasi masyarakat dengan lebih efektif.

Fungsi agregasi opini publik pun sudah jarang dilakukan partai. Hari ini, orang bisa rebahan di kasur sambil ngetweet beberapa keluhan soal kerusakan jalan raya, atau minimnya ruang publik seperti taman dan lapangan olahraga.

Jika cukup beruntung, entah karena viral atau pejabat yang disindir kebetulan lagi berselancar di Twitter, keluhan itu bisa langsung direspons. Syukur-syukur ditindaklanjuti. Intinya, partai tak lagi menjembatani penguasa dan masyarakat dalam hal opini publik.

Kalau begitu, kembali ke pertanyaan awal, apakah seharusnya partai politik dibubarkan saja?

Demokrasi tanpa partai politik

Pada awal kemunculannya, demokrasi berjalan tanpa partai politik. Ini terjadi, misalnya, di Athena Yunani kuno. Kala itu bentuknya masih polis (negara-kota), bukan negara seperti sekarang, yang agaknya baru muncul abad ke-15 dalam pemikiran Machiavelli.

Demokrasi yang berlaku di Athena adalah demokrasi langsung. Dalam pemilihan pemimpin, warga bakal berkumpul di sebuah tempat, semacam alun-alun kota, untuk menyaksikan para politisi berdebat. Selanjutnya, warga memilih siapa yang layak memimpin.

Namun, pemilihan itu juga tak menyeluruh. Hanya pria dewasa kelahiran Athena yang memiliki hak pilih, sedangkan para budak dan perempuan dikecualikan. Makanya partisipasi politik mereka hanya berkisar 10 sampai 20 persen dari total jumlah penduduk.

Karena sederhana dan berskala kecil, demokrasi langsung di Athena tak memerlukan partai politik. Beda dengan demokrasi yang berlaku hari ini; bukan hanya lebih kompleks, tapi skala cakupannya pun sudah jauh lebih luas.

Bayangkan jika demokrasi langsung diterapkan di Indonesia yang jumlah penduduknya lebih dari 250 juta orang. Di mana kita bakal berkumpul? Di Monas? Di ibukota negara yang baru? Duh, belum lagi terbebani ongkos. Mungkin akhirnya banyak orang memilih untuk golput.

Kini, seiring bertambah rumitnya urusan manusia, demokrasi juga semakin kompleks. Salah satu perkembangan pentingnya adalah, kekuasaan tidak lagi terpusat di satu tangan (entah individu atau institusi), tapi terbagi dan saling mengawasi.

Di Indonesia sendiri ada eksekutif, legislatif, dan yudikatif (kadang orang menambahkannya dengan media massa, atau masyarakat sipil). Eksekutif dan legislatif dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu, dan di sinilah peran partai politik begitu penting.

Sebelumnya kita telah melihat bahwa fungsi mendasar parpol, yaitu dalam hal penerjemahan opini publik kepada penguasa, telah terkikis seiring berkembangnya media massa dan internet. Dalam perkara ini, partai agaknya memang sudah "lumpuh".

Namun, alasan itu saja belum bisa membenarkan pembubaran atau penghapusan partai. Kalau ada satu alasan mengapa partai politik masih diperlukan dalam sistem demokrasi kita, alasan itu adalah peranan partai sebagai penjaga gerbang demokrasi.

Mari kita permudah dengan eksperimen pikiran.

Bayangkan kamu terkurung dalam sebuah restoran karena bencana yang mengerikan. Kamu tak bisa pulang, kecuali rela mempertaruhkan nyawa. Malam ini, para koki entah bagaimana menghidangkan makanan dengan buruk. Mungkin mereka cemas soal keluarganya.

Alhasil, setelah menikmati hidangan mereka, sebagian orang muntah-muntah, bahkan kamu nyaris mati keracunan. Semua orang yang ada di restoran pun bersepakat, termasuk pemilik restoran, bahwa para koki harus dihukum. Mereka dienyahkan dari restoran.

Esok hari, pemilik restoran mendeklarasikan aturan baru: "Koki resmi ditiadakan. Sekarang kami hanya menyediakan alat-alat dan bahan-bahan memasak." Jadi, jika kamu lapar bukan kepalang, pilihannya ada dua: masak sendiri, atau suruh orang lain masak untukmu.

Mungkin kamu berpikir, siapa pun yang pandai memasak harus mau melayani semua orang. Tapi, bisakah kamu percaya padanya? Bagaimana kamu yakin bahwa orang itu tidak sedang meracunimu, supaya semua bahan yang tersisa cukup untuknya sendiri bertahan hidup?

Atau, kalaulah setiap orang sepakat untuk memasak hanya untuk dirinya sendiri, bagaimana kamu bisa menjamin bahwa kamu bakal kebagian bahan makanan? Bagaimana kalau orang-orang kaya membeli semua bahan makanannya, hanya untuk melihatmu mati kelaparan?

Apa sih maksud dari semua itu? Intinya cuman satu: lain kali kalau masakannya tak sedap, jangan bunuh semua kokinya, tapi peringatkan mereka atau ganti dengan koki lain yang lebih handal. Mereka butuh kita, dan kita pun butuh mereka.

Sekarang pikirkan partai politik sebagai kokinya demokrasi. Apa pun yang dihasilkan partai dalam tatanan demokrasi, ketika partai dibubarkan sepenuhnya, maka produk-produk tersebut tak akan ada lagi. Demokrasi jadi pincang.

Partai penting bagi demokrasi, misalnya, karena mereka membantu mengorganisir kompetisi politik dan memberikan pilihan yang jelas kepada para pemilih di antara platform-platform kebijakan yang saling bersaing.

Mereka bukan hanya "memilah dan meracik bahan-bahan masakan", tapi juga "menentukan apa yang ada di menu pelanggan". Tanpa partai, demokrasi tak akan punya filter. 

Siapa pun boleh jadi presiden, dan memang harusnya begitu. Namun, tanpa peran partai politik sebagai filter, Hitler 2.0 mungkin bakal muncul.

Seperti di restoran tadi, ketika semua orang boleh memasak dengan alat-alat dan bahan-bahan yang tersedia (plus terbatas), bukan saja orang-orang kaya bakal mendominasi, tapi sebagian orang pun mungkin akan diracun untuk mengurangi beban krisis.

Dalam konteks ini, partai politik penting setidaknya sebagai penjaga gerbang demokrasi. Jika ingin berhasil memelihara kestabilan demokrasi, partai-partai (arus utama) harus mengisolasi dan mengalahkan kekuatan ekstremis.

Pendeknya, partai bertanggung jawab agar orang-orang seperti Hitler tak sampai berkuasa. Memang, Hitler juga pada awalnya disokong oleh petinggi partai. Tapi, itu bukan dasar pembenaran untuk membubarkan partai. Tanpa partai, 20 orang seperti Hitler mungkin bakal muncul.

Jadi, secara teori, demokrasi bisa berjalan tanpa partai, seperti demokrasi langsung yang diterapkan di Yunani kuno. Namun dalam praktiknya, sulit untuk membayangkan demokrasi modern berfungsi secara efektif tanpa partai politik.

Mereka menyediakan kerangka kerja untuk perdebatan dan pengambilan keputusan yang demokratis. Mereka juga memainkan peran penting dalam memobilisasi pemilih dan mengorganisir kompetisi politik.

Peru tahun 1990-an, termasuk Venezuela tahun 1990-an dan Kolombia tahun 2002, sempat mengalami erosi parah dalam hal partai politik, sehingga pada periode itu mereka nyaris tanpa partai politik. Hasilnya, keadaan politik mereka kacau-balau. Amat-sangat.

Sebagaimana diungkapkan Schattschneider (1942): "Partai politik menciptakan demokrasi... [sehingga] demokrasi modern tidak terpikirkan (unthinkable) kecuali dalam hubungannya dengan partai."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun