Fourier bahkan mencatat bahwa di Inggris, negeri yang katanya "beradab", seorang suami masih bisa menjual istrinya kepada lelaki lain dengan senang hati. Fourier kemudian memfokuskan pembebasan setiap individu dalam dua hal, sesuai teori utopianya.
Pertama, pendidikan harus dimulai sedini mungkin dan terbuka untuk semua orang, serta ditangani oleh para ahli yang terampil. Kedua, setiap orang dibebaskan untuk memenuhi potensinya, dibebaskan dari semua opresi dan frustrasi.
Jika semua itu terwujud, Fourier percaya semua masalah manusia dapat dihilangkan: tidak hanya kebutuhan ekonomi seperti rasa lapar dan tempat tinggal, tetapi juga kebosanan, kegelisahan, dan frustrasi seksual.
Terlepas dari visinya yang terlalu fantastis, feminisme Fourier tentang perlunya menilik penderitaan dan penindasan perempuan secara serius memiliki nuansa kontemporer. Itulah mengapa (sebagian) gagasan dan kritiknya masih cukup relevan bagi kita kini.
John Stuart Mill (1806-1873)
John Stuart Mill dapat dianggap sebagai satu dari sedikit pengecualian untuk karakter androsentris filsafat Barat. Dalam hal ini, alih-alih mendevaluasi perempuan atau tetap diam tentangnya, Mill mengembangkan ide-ide soal kesetaraan gender.
Terlebih, Mill juga bukan seorang penulis yang terisolasi sendirian di menara gading. Selama menjadi anggota parlemen Inggris, meski singkat, Mill memperjuangkan hak pilih bagi perempuan dan beragam produk hukum lainnya yang menyangkut nasib perempuan.
Tidak seperti Bentham (gurunya) dan James Mill (ayahnya), Mill berpendapat bahwa tujuan utama lembaga sosial dan politik adalah untuk mengembangkan potensi manusia ke tahap setinggi mungkin. Dari sinilah gagasan feminisme Mill berkembang.
Subordinasi perempuan dalam kehidupan publik dan sipil, politik dan ranah pengambilan keputusan, merupakan salah satu penghambat utama kemajuan dan peningkatan moral umat manusia (Mill, 1869, hlm. 1).
Dengan begitu, konsekuensi dari penindasan terhadap perempuan juga memengaruhi laki-laki secara negatif. Bahkan, kalaupun itu tidak banyak, sebagai pemikir liberal, Mill tetap akan menentang perampasan kebebasan perempuan.
Memang, dari tulisan-tulisannya, argumen Mill terkait pembebasan perempuan merupakan penerapan prinsip utilitarianisme dan liberalisme yang dijunjungnya.
Dari sisi utilitarianisme, bahwa kebahagiaan terbesar dari jumlah terbesarlah yang menjadi ukuran benar dan salah, subordinasi perempuan bakal mengikis kebahagiaan mereka, yang berarti turut mengurangi agregat kesejahteraan seluruh masyarakat.