Ketika lupa sesuatu, kita sering frustrasi dan menganggapnya sebagai kesalahan sistem otak. Doktrin sistem pendidikan konvensional membuat kita makin yakin tentangnya: menjadi lebih cerdas berarti menjadi lebih baik dalam mengingat sesuatu.
Itu tak sepenuhnya salah, tapi menghubungkan kecerdasan dan ingatan merupakan asimetri aneh yang mengacaukan cara kita berpikir tentang keterampilan otak. Faktanya, melupakan adalah bagian alami dan penting dari proses kognitif kita.
Otak kita terus-menerus memproses informasi dan menyimpannya, tapi tak semua informasi itu sama pentingnya. Beberapa ingatan sepele cepat berlalu dan yang lainnya mungkin lebih penting bagi kita sehingga otak memprioritaskannya untuk tetap kita ingat.
"Jika Anda mengenal seseorang yang sangat kreatif, orang itu diberkahi kelupaan yang luar biasa," kata ahli saraf Amerika Scott A. Small. Jauh dari tanda kegagalan, melupakan bisa dibilang merupakan strategi otak yang efektif dalam mengolah informasi yang masuk.
Seringnya, lupa adalah berkah
Solomon Shereshevsky, atau dikenal sebagai "S", memiliki ingatan yang dahsyat. Psikolog Rusia Alexander Luria menguji dan mengetes kemampuan Shereshevsky untuk mengingat selama tiga puluh tahun.
Shereshevsky dapat menghafal daftar angka acak yang sangat panjang, halaman puisi dalam bahasa asing yang tidak dikuasainya, bahkan formula ilmiah rumit yang tidak dimengertinya sama sekali.
Yang lebih mencengangkan lagi, dia bisa mengingat daftar itu secara berurutan tanpa sedikit pun kesalahan ketika Luria mengujinya kembali bertahun-tahun kemudian. Tapi, kemampuan super Shereshevsky itu ada harganya.
Dia mengaku merasa terbebani oleh informasi yang berlebihan dan acapkali tak relevan. Dia sangat kesulitan untuk menyaring, memprioritaskan, dan melupakan apa yang tak diinginkan. Ketidakmampuannya untuk melupakan telah menghambatnya dalam kehidupan sehari-hari.
Kasus serupa juga dialami Jill Price, orang pertama yang menerima diagnosis hyperthymesia. Dia mampu mengingat setiap detail hidupnya sejak usia 14 tahun. Ironisnya, Price menyebut keberadaannya sebagai menyiksa. "Saya telah mengalami neraka dalam hidup saya," katanya.
Lupa sering kali adalah berkah, begitu kira-kira pelajaran yang bisa kita ambil dari kasus Shereshevsky dan Price. Dalam hal ini, lupa tak selalu merupakan tanda penuaan yang patut disesalkan atau gejala pikun. Lupa, selain alami, juga sangat bermanfaat bagi hidup kita.
Kemampuan kita untuk melupakan bukanlah kegagalan, melainkan pelengkap penting dalam mengingat, sebuah penguraian mental yang tanpanya kita bakal kesulitan mengasimilasi data baru. Pendeknya, ingatan yang efektif kerap membutuhkan pelupaan.
Seni melupakan
Setiap kali saya menjinjing kantong belanjaan keluar dari toko, saya harus ingat di mana saya memarkir motor saya. Jika saat ini saya malah mengingat posisi parkir saya sebulan lalu dan kemarin, saya bakal bingung harus pergi ke mana.
Dari perspektif itu, terkadang kita perlu melupakan satu hal untuk memerhatikan, dan karenanya mengingat, hal lain. Artinya, melupakan dapat memfasilitasi ingatan yang lebih baik dan lebih penting.
Menariknya, bila kita perdalam lagi makna itu, mereka yang paling baik dalam melupakan dengan sengaja adalah mereka yang juga paling baik dalam mengingat sesuatu. Pikiran yang tajam dan sehat adalah pikiran yang bisa mengingat dan melupakan secara tepat.
Namun, pertanyaannya, bisakah kita melupakan sesuatu dengan sengaja?
Kita cenderung menganggap lupa sebagai pengaturan default kita, yang berarti tidak dalam kehendak kita. Kecuali kalau kita secara aktif melakukan sesuatu untuk mengingat informasi, otak kita otomatis akan melupakannya. Mudah, bahkan terlalu mudah bagi lansia.
Tapi melupakan juga bisa menjadi seni tersendiri: aktif, disengaja, dan diinginkan. Dalam kesaksian Cicero, ketika Themistocles ditawari pengajaran seni mengingat oleh Simonides, Themistocles menjawab bahwa dirinya lebih suka seni melupakan.
"Karena aku mengingat hal-hal yang bahkan tak ingin aku ingat," katanya, "tapi aku tak bisa melupakan hal-hal yang ingin aku lupakan."
Sebagai sebuah seni, melupakan bukanlah fase tak mengingat, di mana sebuah nama atau tanggal tak punya cukup kekuatan untuk muncul dari lautan ingatan. Ini adalah pemotongan kata-kata yang tak perlu dari teks kehidupan kita.
Seorang editor hebat pernah berkata, "Esensi pengeditan adalah mengetahui apa yang harus dibuang ke keranjang sampah." Begitu pula esensi seni melupakan; ini adalah proses "mengusir" apa-apa yang tak layak, ingatan menyedihkan, dan ambisi yang kejam.
Seni melupakan, dengan demikian, mengajari kita tentang bagaimana cara melupakan dan apa yang harus dilupakan. Ini bukan tentang ketidakmampuan kita dalam mengingat sesuatu yang sedari awalnya tak kita perhatikan.
Misalnya, jika saya tak memerhatikan di mana saya meletakkan kacamata, kemudian saya tak bisa mengingatnya nanti, sebenarnya saya tak melupakan apa pun. Pada dasarnya, ingatan itu memang tak pernah terbentuk.
Kendati begitu, langkah tersebut barangkali penting kalau kita sadar dalam pengalaman dan tak ingin menyimpannya dalam memori kita. Jangan perhatikan. Alihkan pandangan. Jangan dengarkan. Buat pengalihan. Informasi tak akan dikodekan ke dalam otak.
Sekarang bagaimana jika kita ingin melupakan ingatan yang sudah terkonsolidasi dan masuk ke penyimpanan jangka panjang? Hindari paparan isyarat dan konteks yang akan memicu ingatan itu muncul. Jangan pergi ke sana. Jangan memikirkannya atau membicarakannya.
Semakin kita bisa membiarkannya, semakin ingatan itu melemah dan dilupakan. Tentunya, strategi ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan, terutama bagi mereka yang sedang atau pernah mengalami trauma. Konsultasi kepada terapis amat dianjurkan.
Namun, bagi ingatan yang mengganggu dan belum kronis, seni melupakan lebih dari cukup.
Ini bukan tentang menjaga dunia agar tak mengetahui rasa sakit atau pergumulan kita dengan menyamarkan kesedihan lewat senyuman, seolah kita sudah lupa soal semua nestapa yang menggelora dalam diri kita.
Dalam hal itu, gagasan represi-nya Freud barangkali benar. Alih-alih, seni melupakan adalah paradoks: kita tak bisa melupakan dengan berusaha keras untuk melupakan. Ini hanya akan memperdalam dan memberi vitalitas baru pada memori.
Seni melupakan berarti mengingat yang lebih baik. Ini menggantikan satu ingatan dengan yang lain, semacam penawar. Kita berkonsentrasi pada fase kedua sehingga fase pertama bisa dilemahkan, dinetralkan, dan memudar seperti noda tinta yang dirawat dengan baik.
Itu adalah menghilangkan rumput liar dari taman pikiran, kemudian menanam bunga anggun dan memikat sebagai gantinya. Itu menumbuhkan minat baru, hubungan baru, serta aktivitas baru. Kita tak sekadar membiarkan waktu berlalu; kita juga bermitra dengannya.
Ingin melupakan kekacauan di tempat kerja hari ini? Cobalah masak makan malam yang kompleks. Mau melupakan nilai rendah di kelas setelah begadang belajar? Cobalah membaca buku, atau bahkan menulis cerpen, sehingga Anda tak bisa direduksi ke dalam angka semata.
Memang, mudah untuk bilang kepada seseorang yang menderita penyesalan, "Oh, lupakan saja semuanya. Waktu terus berlalu."
Kita yang telah berusaha dengan jujur dan berani untuk berjuang habis-habisan di medan pertempuran jiwa yang hening tahu bahwa melupakan tak pernah mudah. Pemutusan suatu hubungan romantik atau ditinggal mati sahabat; jiwa yang sakit tak gampang melupakan.
Benar, seni melupakan adalah pertarungan nyata yang senantiasa sulit, tapi kita tetap bisa menang atasnya. Mari kita lupakan duri keseharian dengan mengingat bunga mawar dan segala kemungkinannya, potensinya.
Mari kita lupakan kekecewaan dalam keberanian dan tekad baru. Kita lupakan kesedihan, rasa malu, kesalahan, dan kegagalan di masa lalu. Sebagai gantinya, mari kita berkonsentrasi pada hari-hari yang baru, segar, jernih untuk kehidupan yang lebih tinggi.
Sekalipun ingatan menopang hidup kita, itu tak menentukan apa artinya menjadi manusia. Lebih banyak kerugian akan menyusul. Ingatan baru-baru ini hanyalah hantu dan bayangan. Ingatan bukanlah segalanya.
Toh hidup kita bukanlah rangkaian daftar belanja atau nomor telepon yang harus diingat setiap puluhan detik. Kita lebih dari apa yang bisa kita ingat. Beberapa dari kita menderita Alzheimer, namun mereka masihlah manusia, bagian dari kita semua.
Kita tak harus jadi martir ingatan. Sembilan puluh persen lebih kelupaan yang terjadi pada kita adalah normal. Jika kita stres tentangnya, kita hanya akan memperparahnya. Kemampuan kita untuk melupakan sama pentingnya dengan kemampuan kita untuk mengingat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H