Jadi, meskipun mungkin secara praktis dan bukan teoretis, poin pentingnya adalah bahwa kita sering kesulitan mengetahui mengapa seseorang, termasuk yang menyakiti diri kita sendiri, terhibur oleh sesuatu.
Dalam pengertian ini, humor menyerupai sebuah optik: ini adalah ekspresi dari cara tertentu dalam menghuni dan melihat dunia. Dan karena orang memakai optik yang berbeda, sulit untuk menentukan kapan waktu yang salah untuk mengekspresikan lelucon.
Saya kira jika kita cukup dewasa untuk menanggapi problem ini, kita bisa menentukannya sendiri secara intuitif dan spontan. Kita harusnya tahu batas dan lingkup kewajaran masyarakat, atau setidaknya lingkungan terdekat kita.
Dalam banyak kasus, entah disadari atau tidak, kita sebenarnya tahu kapan boleh bercanda dan kapan harus serius.
Hidup memanglah serius, dan kalaulah kita bisa melihat semua kesengsaraan hidup dalam sekali waktu, kita akan sangat menderita hingga ingin mati. Tapi karena hidup ini serius, dan karena kita butuh semangat, kita memerlukan tawa secara konstan untuk melepas penat.
Manusia yang selalu tertawa jelas konyol. Tapi orang yang tak bisa tertawa sebaiknya mulai berkonsultasi dengan dokternya. Dia sakit. Dia tak punya kelenturan jiwa yang sangat diperlukan untuk memikul beban hidup dengan mudah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H