Bisa dibilang, kami diliputi rasa humor yang menyakitkan.
Tertawa di hadapan tragedi orang lain jelas tak pantas, tapi hanya karena kami berduka dan kehilangan seseorang yang tak mungkin lagi kembali, tak berarti semua humor harus dicabut dan dihapus dari percakapan kami.
Saya belajar bahwa humor dan kematian bisa menjadi kombinasi yang tepat. Tentu kematian bukanlah hal yang bisa ditertawakan, tapi tawa dapat membantu meredakan ketegangan dengan membiarkan orang melihat kematian dari sudut pandang yang berbeda.
Akhir-akhir ini ada beberapa upaya untuk menganalisis cara-cara bahwa lelucon lucu bisa salah tempat dan waktu. Ini melibatkan hubungan antara tanggung jawab dan tawa. Masalahnya adalah, tak ada jawaban memuaskan untuk problem ini.
Analisis tentang humor dan panduan etiket tampaknya tak cukup memadai untuk memahami lelucon sepenuhnya, sehingga diskusi etis tentang humor yang berfokus pada kebajikan hanya bisa menawarkan kata-kata hampa:
"Tawa itu bisa menjengkelkan. Tak sopan menganggap leluconmu sendiri terlalu lucu. Kadang-kadang kejam untuk tertawa di depan penderitaan orang lain. Tutup mulutmu dan berempatilah pada mereka yang sedang berduka."
Itu semua bisa benar, tapi juga cenderung melebih-lebihkan seolah humor dan tawa adalah sesuatu yang, kurang-lebih, terkutuk dan tak manusiawi.
Sejauh humor dapat dikendalikan, kita mungkin bertanggung jawab untuk melontarkan sesuatu yang lucu. Paling masuk akal, tanggung jawab ini berarti orang dapat dipersalahkan jika terjadi beberapa kerugian atas leluconnya.
Dalam kasus saya, ketika orang bergurau dan tertawa tipis di pemakaman bibi saya, tak saya temukan seorang pun yang tersinggung olehnya. Justru, terus terang, hari itu kami telah membagi tangis dan tawa, dua hal yang tampak asing padahal berdekatan.
Tentu, menertawakan jenis lelucon tertentu di waktu tertentu dapat bermasalah, setidaknya inilah keyakinan saya. Tapi ini tak berarti suasana duka sekalipun harus tanpa humor.
Ini hanya berarti kita harus selalu mencoba untuk menentukan mengapa kita menertawakan lelucon tertentu, dan pemeriksaan ini menyiratkan pemeriksaan pada diri kita sendiri sebagai subjek seperti halnya pemeriksaan terhadap seluruh bentuk kehidupan kita.