Pandangan terhadap humor tampaknya baru melunak saat Descartes mencatat bahwa tawa dapat menjadi koreksi sosial, meskipun si pembuat lelucon harus menahan tawanya sendiri. Tak aneh kalau Descartes mengembangkan suatu etiket dalam menceritakan lelucon.
Maju ke abad-20, nada berbeda tentang humor dan tawa, misalnya, disampaikan oleh filsuf dan sosiolog Jerman Helmuth Plessner. Menurutnya, hanya manusia dan bukan hewan yang tertawa dan menangis, pendapat yang merepresentasikan dirinya sebagai antropolog filosofis.
Ada dua komentar yang bisa saya sampaikan.
Pertama, tawa dianggap sebagai fitur manusia yang unik, keistimewaan manusia. Tapi seiring waktu, kisah homosentris tentang humor dan tawa telah dicurigai, menggores permukaan sebuah fenomena yang lebih luas.
Selaras dengan pandangan Darwin, kita bisa meyakini bahwa tawa telah dipraktikkan oleh nenek moyang kita jauh sebelum mereka pantas disebut manusia. Belakangan para peneliti terus melacak evolusi tawa pada primata non-manusia, bahkan hewan pengerat (Palagi dkk., 2022).
Kedua, sangat sedikit filsuf yang menganggap humor sebagai sejenis kesenangan, apalagi melihat manfaat dari kesenangan semacam itu. Kant berbicara tentang lelucon sebagai "permainan pikiran", tapi tak melihat adanya nilai berharga bagi rasio di dalamnya.
Salah satu dari sedikit pemikir yang mengidentikkan humor dengan kesenangan adalah Thomas Aquinas. Menurutnya, hidup itu mencakup istirahat dan juga aktivitas, sehingga di dalamnya termasuk waktu luang dan hiburan.
Sebagaimana kelelahan tubuh dapat dikurangi dengan mengistirahatkan tubuh, keletihan psikologis pun dapat diredakan dengan mengistirahatkan jiwa. Kesenangan adalah istirahat bagi jiwa, menurut Thomas Aquinas.
Sarana mencari kesenangan, salah satunya, adalah humor.
Pandangan positif tentang humor dan tawa terus berkembang. Pada akhir abad ke-20, banyak psikolog yang menegaskan penilaian Aquinas tentang humor sebagai hal yang baik. Terlebih, lelucon juga ternyata memiliki manfaat sosial.
Terlibat dalam humor bisa menumbuhkan toleransi terhadap ambiguitas dan keragaman, serta mendorong pemecahan masalah secara kreatif. Ini bisa berfungsi sebagai pelumas sosial, membentuk kepercayaan dan meredakan konflik.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!