Manusia akan terus-menerus dihadapkan pada rentetan pilihan. Demikianlah, manusia adalah pengambil keputusan dalam eksistensinya. Apa pun keputusan yang diambil, tak pernah kita mantap dan sempurna.
Melalui pilihan dan keputusan itu, kita merangkai nasib kita sendiri. Sebagai manusia yang meresapkan diri ke dalam pengalaman, kita sesekali bertanya kepada diri sendiri dengan heran dan bingung, "Apakah kita benar-benar telah berpengalaman?"
Atau bahkan, "Siapa kita sebenarnya?"
Proses memikirkan, jika bukan menentukan, hal-hal seperti itu merupakan inti dari refleksi diri. Refleksi menurut definisinya berarti "menekuk atau memantulkan kembali". Semisal, pantulan kita di cermin adalah gelombang cahaya yang memantulkan bayangan kita kembali ke arah kita.
Dalam hal refleksi diri, itu berarti kita memantulkan pengalaman dan fokus ke dalam, berhenti sejenak di tengah kekacauan untuk menguraikannya, dan menarik diri guna mempertimbangkan berbagai kemungkinan interpretasi dan makna.
Dari makna itu kita dikabari tentang pola pikir dan tindakan ke depan. Dengan kata lain, kita tak hanya memiliki pemahaman soal asumsi yang mengatur tindakan kita, tapi terutama kita mempertanyakan maknanya dan mengembangkan cara bertindak alternatif.
Singkat kata, kita belajar. "Kita tidak belajar dari pengalaman," ungkap John Dewey. "Kita belajar dari merefleksikan pengalaman."
Refleksi kemudian jadi proses kontemplatif yang dilakukan untuk mengungkap pengetahuan dan penuh dengan potensi transformasi. Ini melibatkan pertimbangan sadar dan analisis keyakinan dan tindakan untuk tujuan pembelajaran.
Orang, dalam ketaksengajaannya, senantiasa melakukan refleksi diri. Apa yang jarang dan terasa semakin diperlukan adalah refleksi diri yang disadari dan disengaja. Dalam hal ini, kita perlu menjadikannya sebagai suatu rutinitas.
Itu membuka kepenuhan hidup. Itu mengubah apa yang kita miliki menjadi cukup, dan banyak lagi. Itu mengubah penyangkalan yang tak perlu menjadi penerimaan, kekacauan menjadi keteraturan, kebingungan menjadi kejelasan.