Itu karena semakin orang dapat menoleransi objek yang ambigu, semakin mereka mampu menghadapinya. Tatkala orang menerima, bahkan menyukai, ketidakjelasan, mereka lama-lama bisa hidup dengannya untuk beberapa waktu.
Demikianlah, toleransi terhadap ketidakpastian akan memungkinkan orang untuk terus bergulat dengan masalah yang kompleks, tetap terbuka, dan meningkatkan kemungkinan menemukan solusi baru.
Mereka menerima perasaan cemas dan ketidaknyamanan psikologis yang secara alami dipicu oleh ketidakpastian dan ambiguitas terkait situasi baru yang sulit. Bahkan bagi sebagian yang lain, meskipun minoritas, ambiguitas patut dirayakan.
Mereka merengkuhnya. Mereka menikmati segala kontradiksinya, serta hal-hal lain yang (lebih) tak terduga. Atau ringkasnya, sebagaimana tutur penulis Amit Chaudhuri, "(mereka) terpukau oleh kebetulan."
Jadi lain kali, manakala kita mengenali dan merasakan kebutuhan akan kepastian, kita sebaiknya menahan diri dan menimbang-nimbang apa manfaatnya perasaan semacam itu bagi perkembangan diri kita.
Dalam banyak kasus, setidaknya menurut pengalaman saya, keraguan dan ketidakjelasan itu sering menjadi titik mula dari munculnya hal-hal baru. Dalam hal ini, kita dapat secara sadar menerima ketidakpastian dengan mengalihkan perhatian pada saat ini alih-alih masa depan.
Jelas, pikiran kita mungkin kembali menginginkan kepastian dan lebih banyak kendali, tetapi ulangi saja langkah-langkah sebelumnya untuk menyadari, mengolahnya, dan merengkuhnya sebagai bagian alami dari proses kreatif.
Kita mesti bersedia hidup dengan kadar ketidakpastian tertentu. Ketegangan, hal yang cukup menyiksa kita tatkala dirundung ketidakpastian, setidaknya sampai taraf tertentu, membuat kita selalu siaga dan menguji ketekunan kita.
Sebagaimana ujar Eric Weiner, "Tidak ada yang membunuh kreativitas sekejam hal-hal yang pasti."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H