Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menumbuhkan Kreativitas dengan Belajar Menoleransi Ketidakpastian

18 November 2022   14:42 Diperbarui: 18 November 2022   16:59 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toleransi ketidakpastian adalah faktor sine qua non kreativitas | Ilustrasi oleh Zee Shutterz via Pixabay

Ketidakpastian adalah sesuatu yang mengganggu dan, karenanya, kerap dimusuhi. Orang senantiasa ingin tahu tentang apa yang akan dihadapinya, sebab dengan begitu mereka bisa menyiapkan diri dan bersikap waspada.

Tidak adanya kepastian dan kejelasan, oleh sebabnya, sering memicu rasa takut, khawatir, persepsi kerentanan, dan penghindaran pengambilan keputusan. Dalam kondisinya yang tak tertahankan, orang mungkin akan mengatakan, "Lebih baik sesuatu yang buruk terjadi sekarang, daripada saya terus-terusan tidak mengetahui apa hasil akhirnya."

Di samping itu, sebagian yang lain tampaknya menerima ketidakpastian sebagai bagian hidup yang tak terhindarkan. Sebagai jalan keluar, mereka berusaha mengurangi ketidakpastian atau ambiguitas itu dengan mencari informasi.

Namun, penerimaan seperti itu tidak selalu berujung optimisme.

Dalam hal ini, orang menerima dan sekaligus mengabaikan ketidakpastian. Mereka mungkin terdengar seperti ini: "Tidak ada yang bisa saya lakukan untuk mengatasinya, jadi saya hanya harus menerimanya dan melanjutkan hidup."

Sikap pasrah yang demikian, pada titik tertentu, nyaris tak ada bedanya dengan orang-orang yang menyangkal ketidakpastian. Kendati yang satu menolak dan yang lain menerima, keduanya sama-sama takut dan tidak berdaya.

Orang-orang kreatif agaknya berada di tepi yang lain: mereka justru mencari ketidakpastian dan akhirnya mendapat keuntungan darinya.

Picasso pernah ditanya apakah dia tahu seperti apa hasil akhir sebuah lukisan saat dia memulainya, dan dia menjawab, "Tidak, tentu saja tidak. Kalau sudah tahu, saya takkan repot-repot melukisnya."

Leonardo da Vinci membutuhkan waktu empat tahun (1503-1507) untuk melukis Mona Lisa, meskipun belum selesai, dan dia membutuhkan tiga tahun lagi untuk menyelesaikannya. Jadi total sekitar 7 tahun melukis.

Pendapat lain mengatakan da Vinci menyelesaikannya dalam jangka 16 tahun (1503-1519). Ada yang bilang 12 tahun, dan ada pula yang bilang 4 tahun. Apa bedanya? Yang jelas, kita tahu bahwa dia memerlukan waktu lama untuk mengerjakan mahakaryanya, dan itu berarti dia bersedia merangkul ambiguitas selama bertahun-tahun.

Warga Athena, yang kita tahu mewariskan begitu banyak hal bagi dunia modern, merayakan ketidakpastian realitas dengan segala risikonya, tetap terbuka dalam segala hal, bahkan ketika akal sehat mungkin memerintahkan sebaliknya.

"Keterbukaan (itu) membuat Athena menjadi Athena," ujar Eric Weiner dalam bukunya The Geography of Genius. Mereka terbuka terhadap barang asing, orang eksentrik, dan gagasan aneh, seakan-akan semua kerunyaman itulah yang mendorong mereka untuk berpikir lebih radikal.

Ungkapan Cina kuno, "Semoga kau hidup di masa yang menarik," berlaku untuk dunia kreatif selain dunia politik.

Ketidakpastian dan ambiguitas dalam hidup

Para filsuf eksistensialis biasanya berujar bahwa manusia merasa resah: keberadaannya di dunia menjadi semacam kutukan. Tanpa tahu mengapa dan untuk apa, kita terlempar ke dunia, terasing di tengah kepungan kesewenang-wenangan waktu dan kematian.

Dalam hal ini, salah satu kebutuhan manusia yang fundamental adalah orientasi. Kita merasa harus tahu di mana kita berada, dan ke arah mana kita harus bergerak untuk mencapai tujuan kita. Tanpa orientasi, kita mungkin akan linglung.

Dengan demikian, mengatakan kehidupan ini bermakna berarti kita mengandaikan adanya sebentuk tuntunan yang akan dipegang dalam menjalani kehidupan. Ada kalanya kita menemukan suatu hal yang begitu berharga, lalu menjadikannya sebagai tujuan hidup.

Apakah hal tersebut dapat kita gapai atau tidak, bukanlah soal. Yang pasti, hidup ini bukanlah sesuatu yang nihil makna dan omong kosong. Demikianlah, kita harus sukses menjalaninya.

Akan tetapi, kendatipun kita yakin tentang langkah kita, kita tampaknya tidak pernah punya cukup informasi untuk menjalani keseluruhannya. Kadang kita punya terlalu sedikit, kadang terlalu banyak, atau semua itu justru saling bertentangan.

Oleh sebabnya, hidup akan selalu diwarnai ketidakpastian, dan itu artinya dipenuhi risiko-risiko. Jika ketidakpastian dan ambiguitas itu terasa dapat dikelola, maka kita dapat merasa baik-baik saja tentang keputusan kita.

Namun, dalam momen-momen tertentu yang tak lagi tertanggungkan, tatkala keinginan akan kejelasan dan keteraturan itu terlalu berlebihan, orang biasanya akan berhenti bertanya dan mulai menyandarkan diri pada jawaban-jawaban yang tersedia.

Mereka sebenarnya ragu dan enggan berbuat begitu, tetapi mereka pun tidak kuasa untuk hanya duduk dalam ketidakpastian, mencari atau menunggu jawaban meyakinkan yang tidak pernah terjamin akan datang.

Sebagai gantinya, mereka membayangkan kepastian, sebab ambiguitas itu terlalu berat untuk ditanggung dan, karenanya, mereka dengan senang hati menukar itu dengan kepastian delusi. Singkatnya, itu membuat mereka merasa cukup utuh.

Kendati begitu, itu tidak mengubah fakta bahwa hanya karena mereka merasa yakin tentang sesuatu, bukan berarti itu benar. Untuk menjadi sehat dan bahagia, tampaknya kita harus mengakui bahwa ada beberapa ketidakpastian dalam hidup.

Dan orang-orang kreatif (sering kali) memulai karyanya dengan penerimaan dan pengakuan semacam itu.

Merayakan ambiguitas

Kota-kota yang tercatat (pernah) menghasilkan para genius, seperti Athena, Florence, dan Edinburgh, menciptakan atmosfer yang menerima, bahkan merayakan ambiguitas. Genius kreatif, seperti ungkap psikolog terkemuka Dean Simonton, melibatkan "superfluity dan backtracking."

Superfluity adalah kesediaan untuk menuruti firasat yang bisa saja ternyata hanyalah jalan buntu, sedangkan backtracking menandakan bahwa seorang kreator harus sering kembali ke pendekatan sebelumnya setelah membabi buta pergi ke arah yang salah.

Terlebih, jika kreativitas berarti mencetuskan ide-ide baru atau setidaknya menambah nilai elemen-elemen yang sudah ada, maka para genius kreatif akan sering berhadapan dengan tahap evaluasi: mereka harus memutuskan apakah wawasan mereka berharga dan layak dikejar.

Tahapan itu sering kali merupakan bagian proses yang paling emosional, sebab seseorang merasa paling tidak pasti dan ragu-ragu. Apakah ide ini benar-benar baru, atau sudah jelas? Apa yang akan orang lain pikirkan? Ini adalah periode kritik diri, pencarian jiwa.

Dengan demikian, melanjutkan pencarian itu berarti bersedia untuk lebih toleran terhadap ketidakpastian. Sebab, ketika kita menciptakan sesuatu yang baru, bahkan jika itu asing bagi kita, kita harus menghadapi ketidakpastian tentang bagaimana hasil akhirnya.

Memang kurang jelas apakah menoleransi ketidakpastian membuat kita lebih kreatif atau apakah menjadi kreatif membuat kita menoleransi lebih banyak ketidakpastian, tapi saya kira itu hampir pasti jalan dua arah (menuju tempat yang satu).

Orang yang lebih kreatif mungkin lebih nyaman untuk memulai suatu karya dengan ketidakpastian, tetapi itu dapat bekerja secara terbalik juga: penerimaan mereka terhadap ketidakpastian juga membuat mereka lebih kreatif.

Hal itu sejalan dengan berbagai temuan penelitian bahwa toleransi ambiguitas berkorelasi positif dengan kreativitas (Zenasni dkk., 2008), dan bahwa toleransi ketidakpastian telah menjadi faktor sine qua non kreativitas (Ohly & Binnewies, 2009).

Itu karena semakin orang dapat menoleransi objek yang ambigu, semakin mereka mampu menghadapinya. Tatkala orang menerima, bahkan menyukai, ketidakjelasan, mereka lama-lama bisa hidup dengannya untuk beberapa waktu.

Demikianlah, toleransi terhadap ketidakpastian akan memungkinkan orang untuk terus bergulat dengan masalah yang kompleks, tetap terbuka, dan meningkatkan kemungkinan menemukan solusi baru.

Mereka menerima perasaan cemas dan ketidaknyamanan psikologis yang secara alami dipicu oleh ketidakpastian dan ambiguitas terkait situasi baru yang sulit. Bahkan bagi sebagian yang lain, meskipun minoritas, ambiguitas patut dirayakan.

Mereka merengkuhnya. Mereka menikmati segala kontradiksinya, serta hal-hal lain yang (lebih) tak terduga. Atau ringkasnya, sebagaimana tutur penulis Amit Chaudhuri, "(mereka) terpukau oleh kebetulan."

Jadi lain kali, manakala kita mengenali dan merasakan kebutuhan akan kepastian, kita sebaiknya menahan diri dan menimbang-nimbang apa manfaatnya perasaan semacam itu bagi perkembangan diri kita.

Dalam banyak kasus, setidaknya menurut pengalaman saya, keraguan dan ketidakjelasan itu sering menjadi titik mula dari munculnya hal-hal baru. Dalam hal ini, kita dapat secara sadar menerima ketidakpastian dengan mengalihkan perhatian pada saat ini alih-alih masa depan.

Jelas, pikiran kita mungkin kembali menginginkan kepastian dan lebih banyak kendali, tetapi ulangi saja langkah-langkah sebelumnya untuk menyadari, mengolahnya, dan merengkuhnya sebagai bagian alami dari proses kreatif.

Kita mesti bersedia hidup dengan kadar ketidakpastian tertentu. Ketegangan, hal yang cukup menyiksa kita tatkala dirundung ketidakpastian, setidaknya sampai taraf tertentu, membuat kita selalu siaga dan menguji ketekunan kita.

Sebagaimana ujar Eric Weiner, "Tidak ada yang membunuh kreativitas sekejam hal-hal yang pasti."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun