Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pentingnya Mengetahui (dan Mengakui) bahwa Kita Tidak Tahu

11 November 2022   14:37 Diperbarui: 11 November 2022   14:45 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 1995, McArthur Wheeler ditangkap oleh kepolisian karena telah merampok dua bank. Dia heran setengah mati mengapa kepolisian bisa mengenali wajahnya di CCTV. Padahal, menurut pengakuannya, dia sudah melumuri seluruh wajahnya dengan perasan lemon.

Wheeler percaya bahwa lemon, sebagaimana cairannya bisa dipakai sebagai tinta-tak-terlihat untuk menulis di kertas, memiliki kandungan yang entah bagaimana bisa membuat wajahnya tidak terlihat di kamera pengawas.

Menurut apa yang sekarang dikenal sebagai efek Dunning-Kruger, kita dapat menyimpulkan bahwa jika Wheeler terlalu bodoh untuk menjadi perampok bank, mungkin dia juga terlalu bodoh untuk mengetahui bahwa dia terlalu bodoh untuk menjadi perampok bank.

Ringkas kata, kebodohannya menutupi dia dari kesadaran akan kebodohannya sendiri.

Kisah Wheeler sebenarnya adalah kisah keseharian kita semua. Jika itu terkesan absurd dan melebih-lebihkan, mungkin, seperti Wheeler, kita hanya tidak sadar tentang kekonyolan yang kita lakukan setiap hari.

Seperti sindir Dunning, "Aturan pertama klub Dunning-Kruger adalah Anda tidak tahu bahwa Anda merupakan anggota klub Dunning-Kruger."

Dalam hal ini, kita menderita beban ganda: kita tidak hanya membuat kesimpulan dan pilihan yang salah, tapi ketidakmampuan kita juga merampas kemampuan kita untuk menyadarinya. Dengan kata lain, kita dibiarkan dengan kesan keliru bahwa kita baik-baik saja.

Dari situ perlu diakui secara terang-terangan bahwa kita semua memiliki titik buta dalam pengetahuan dan pendapat kita. Ironisnya, kebutaan itu bisa membuat kita buta terhadap kebutaan kita, yang memberi kita kepercayaan palsu dalam penilaian kita.

Namun kabar baiknya, dengan kepercayaan diri yang tepat, kita bisa belajar melihat diri kita sendiri dengan lebih jelas dan memperbarui pandangan kita. Pada titik ini, kita perlu belajar mengenali blind spots dari kognitif kita dan merevisi pemikiran kita sesuai dengan itu.

Saya percaya bahwa visi itu bisa dicapai, atau setidaknya diupayakan, dengan mengetahui apa yang tidak kita ketahui. Kendati kesannya begitu sepele, kemampuan ini bukannya tak mungkin akan memengaruhi seluruh sisa hidup kita.

Seperti ungkap Richard Cecil, "Langkah pertama menuju pengetahuan adalah mengetahui bahwa kita tidak tahu."

Philosophia

Kita menemukan diri kita sendiri, sebagai individu dan komunitas, mau-tak-mau dilemparkan ke dalam dunia yang bukan buatan kita sendiri. Kita ingin bertahan dan, jika memungkinkan, berkembang. Namun, kita tetap tak paham dengan ciri-ciri dunia ini.

Kita memulai dengan sedikit informasi tentang dunia ini, tetapi kita diberkahi kemampuan untuk mengetahui bahwa ada hal-hal tentangnya yang tidak kita ketahui.

Dalam hal ini, kita punya kemampuan untuk merumuskan dan menjawab segala pertanyaan yang jawabannya kita tahu bahwa kita tidak tahu. Manusia yang utuh, dengan demikian, ialah mereka yang mawas akan kealpaannya, sekaligus sadar tentang segala potensinya yang belum dan harus diaktualisasikan.

Dengan mengakui ketidaktahuan, kita membuka pintu keragu-raguan. Ini adalah awal mula, sebab tatkala kita mempertanyakan pemahaman kita saat ini, kita menjadi ingin tahu tentang informasi apa yang mungkin kita lewatkan.

Pencarian itu membawa kita pada penemuan-penemuan baru. Namun, penemuan itu bukanlah akhir, melainkan awal yang baru. Kesimpulan-kesimpulan yang kita pegang, manakala kita kembali meragukannya dan bertanya-tanya, akan beralih menjadi pencarian berikutnya, dan itu berarti penemuan yang lain.

Semua itu, bila kita cukup rendah hati mengakui ketidaktahuan dan menindaklanjutinya, akan terus-menerus berputar menjadi sebuah siklus. Di sini kita tidak sekadar berpengetahuan, tapi terutama "bijaksana". Kita tidak hanya tahu, tapi juga paham dan belajar.

Seperti ungkap Adam Grant, "Jika pengetahuan adalah kekuatan, mengetahui apa yang tidak kita ketahui adalah kebijaksanaan."

Pengetahuan yang lebih besar tidak selalu diterjemahkan menjadi kebijaksanaan yang lebih besar, malah lebih seringnya menjadikan kita kurang bijaksana. Kita bisa tahu terlalu banyak, dan kita bisa "salah tahu".

Berkat kesadaran bahwa kita punya segudang ketidaktahuan, bahwa pada banyak kesempatan kita sering tidak mengenali kekeliruan kita sendiri, kita pun menjadi orang yang tidak buru-buru dalam menentukan mana yang benar dan mana yang salah.

Kita tidak lagi digerakkan oleh hasrat dan ambisi pengetahuan yang sembrono, tapi oleh rasa cinta pada kebijaksanaan (philosophia). Mensyukuri pemikiran dengan arif artinya menyadari batas sekaligus ketakterbatasan aspirasi pemikiran.

Atas dasar itu, tahu bahwa kita tidak tahu adalah kesadaran yang mengabari kita batas-batas diri sendiri. Dan kita tidak memperbaiki hidup atau produktivitas kita dengan mengabaikan semua batasan itu. Kita melakukannya dengan mengenalinya dan belajar darinya.

"The only true wisdom is in knowing you know nothing." (Socrates)

Bertanya dan berpikir ulang

Sebagian besar dari kita bangga dengan pengetahuan dan keahlian kita, serta tetap setia pada keyakinan dan pendapat kita. Ini masuk akal di dunia yang stabil. Masalahnya, kita hidup di dunia yang berubah dengan cepat.

Demikianlah, kita perlu menghabiskan waktu untuk berpikir ulang sama banyaknya seperti kita berpikir. Dalam konteks ini, mengetahui bahwa kita tidak tahu juga berarti memikirkan ulang apa yang selama ini dianggap tahu dan paham.

Itu penting karena biasanya kita tak menyadari kekurangan yang dihasilkan dalam pemikiran kita. Ironisnya, semakin cerah kita, semakin sulit kita untuk melihat keterbatasan kita sendiri. Menjadi pandai berpikir bisa membuat kita lebih buruk dalam berpikir ulang.

Barangkali itu karena orang-orang yang "pandai berpikir" merasa lebih yakin terhadap segala keputusan yang diambilnya. Selain itu, mempertanyakan diri sendiri juga membuat dunia jadi lebih tak terduga bagi mereka.

Mereka diharuskan untuk mengakui bahwa fakta dan realitas mungkin telah berubah, bahwa apa yang dulu benar mungkin sudah berputar sebaliknya. Dan bagi mereka, ini menyakitkan. Identitas mereka terancam, dan mereka merasa seolah-olah kehilangan bagian dari dirinya.

Kata Nietzsche, dalam On the Genealogy of Morality, "Kita, orang-orang yang paham, tidak memahami diri kita sendiri... Kenyataan pahitnya adalah bahwa kita terpaksa masih menjadi orang asing bagi diri kita sendiri, kita tidak mengerti tentang hakikat diri kita sendiri, kita pasti salah tentang diri kita sendiri..."

Kita tersandung sepanjang hidup, berharap untuk mengambil kepingan-kepingan wisdom di sana-sini. Akan tetapi, kita bingung. Kita salah mengira hal-hal mendesak sebagai penting, verbose sebagai kebijaksanaan, dan yang populer sebagai yang baik.

Singkatnya, kita "misliving"; kita salah-hidup.

Adakah jalan keluar dari semua itu? Saya tidak tahu tepatnya bagaimana, tapi sedikitnya saya tahu bahwa dengan mengakui ketidaktahuan kita, menyadari blind spots kita sendiri terkait rupa-rupa hal, kita bisa menjadi kurang ceroboh.

Ketika kita berada dalam kondisi aneh antara ketidaktahuan dan sekaligus keingintahuan, kita menolak untuk membiarkan kebutaan kita menjadi permanen. Perlahan dan pasti, kita terus mengumpulkan pengetahuan seperti halnya lebah-lebah yang mengumpulkan madu.

Sejenak kita berhenti. Madu-madu pengetahuan itu, bisik kita, tidak boleh mengendap dan membengkalai begitu saja. Kita ingin melakukan sesuatu terhadap semua itu, seraya perlahan dan pasti mengumpulkan madu pengetahuan yang lain.

Kita tidak memulai pencarian dengan jawaban atau solusi; kita bergerak dengan pertanyaan dan teka-teki. Kita tidak hanya menantang secara sehat argumen-argumen orang lain, tapi terutama kita berani untuk tidak setuju dengan argumen kita sendiri.

Semua itu membutuhkan pencarian alasan mengapa kita mungkin salah, alih-alih alasan mengapa kita harus benar.

Dengan begitu, tatkala kita tahu bahwa kita tidak tahu, dan bahwa apa yang kita tahu juga mesti dipikirkan ulang, kita pun bersedia untuk merevisi pandangan kita berdasarkan apa yang telah kita pelajari. Atau ringkas kata, kita menjadi seorang "longlife learner".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun