Atas dasar itu, tahu bahwa kita tidak tahu adalah kesadaran yang mengabari kita batas-batas diri sendiri. Dan kita tidak memperbaiki hidup atau produktivitas kita dengan mengabaikan semua batasan itu. Kita melakukannya dengan mengenalinya dan belajar darinya.
"The only true wisdom is in knowing you know nothing." (Socrates)
Bertanya dan berpikir ulang
Sebagian besar dari kita bangga dengan pengetahuan dan keahlian kita, serta tetap setia pada keyakinan dan pendapat kita. Ini masuk akal di dunia yang stabil. Masalahnya, kita hidup di dunia yang berubah dengan cepat.
Demikianlah, kita perlu menghabiskan waktu untuk berpikir ulang sama banyaknya seperti kita berpikir. Dalam konteks ini, mengetahui bahwa kita tidak tahu juga berarti memikirkan ulang apa yang selama ini dianggap tahu dan paham.
Itu penting karena biasanya kita tak menyadari kekurangan yang dihasilkan dalam pemikiran kita. Ironisnya, semakin cerah kita, semakin sulit kita untuk melihat keterbatasan kita sendiri. Menjadi pandai berpikir bisa membuat kita lebih buruk dalam berpikir ulang.
Barangkali itu karena orang-orang yang "pandai berpikir" merasa lebih yakin terhadap segala keputusan yang diambilnya. Selain itu, mempertanyakan diri sendiri juga membuat dunia jadi lebih tak terduga bagi mereka.
Mereka diharuskan untuk mengakui bahwa fakta dan realitas mungkin telah berubah, bahwa apa yang dulu benar mungkin sudah berputar sebaliknya. Dan bagi mereka, ini menyakitkan. Identitas mereka terancam, dan mereka merasa seolah-olah kehilangan bagian dari dirinya.
Kata Nietzsche, dalam On the Genealogy of Morality, "Kita, orang-orang yang paham, tidak memahami diri kita sendiri... Kenyataan pahitnya adalah bahwa kita terpaksa masih menjadi orang asing bagi diri kita sendiri, kita tidak mengerti tentang hakikat diri kita sendiri, kita pasti salah tentang diri kita sendiri..."
Kita tersandung sepanjang hidup, berharap untuk mengambil kepingan-kepingan wisdom di sana-sini. Akan tetapi, kita bingung. Kita salah mengira hal-hal mendesak sebagai penting, verbose sebagai kebijaksanaan, dan yang populer sebagai yang baik.
Singkatnya, kita "misliving"; kita salah-hidup.
Adakah jalan keluar dari semua itu? Saya tidak tahu tepatnya bagaimana, tapi sedikitnya saya tahu bahwa dengan mengakui ketidaktahuan kita, menyadari blind spots kita sendiri terkait rupa-rupa hal, kita bisa menjadi kurang ceroboh.