Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pentingnya Mengetahui (dan Mengakui) bahwa Kita Tidak Tahu

11 November 2022   14:37 Diperbarui: 11 November 2022   14:45 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Atas dasar itu, tahu bahwa kita tidak tahu adalah kesadaran yang mengabari kita batas-batas diri sendiri. Dan kita tidak memperbaiki hidup atau produktivitas kita dengan mengabaikan semua batasan itu. Kita melakukannya dengan mengenalinya dan belajar darinya.

"The only true wisdom is in knowing you know nothing." (Socrates)

Bertanya dan berpikir ulang

Sebagian besar dari kita bangga dengan pengetahuan dan keahlian kita, serta tetap setia pada keyakinan dan pendapat kita. Ini masuk akal di dunia yang stabil. Masalahnya, kita hidup di dunia yang berubah dengan cepat.

Demikianlah, kita perlu menghabiskan waktu untuk berpikir ulang sama banyaknya seperti kita berpikir. Dalam konteks ini, mengetahui bahwa kita tidak tahu juga berarti memikirkan ulang apa yang selama ini dianggap tahu dan paham.

Itu penting karena biasanya kita tak menyadari kekurangan yang dihasilkan dalam pemikiran kita. Ironisnya, semakin cerah kita, semakin sulit kita untuk melihat keterbatasan kita sendiri. Menjadi pandai berpikir bisa membuat kita lebih buruk dalam berpikir ulang.

Barangkali itu karena orang-orang yang "pandai berpikir" merasa lebih yakin terhadap segala keputusan yang diambilnya. Selain itu, mempertanyakan diri sendiri juga membuat dunia jadi lebih tak terduga bagi mereka.

Mereka diharuskan untuk mengakui bahwa fakta dan realitas mungkin telah berubah, bahwa apa yang dulu benar mungkin sudah berputar sebaliknya. Dan bagi mereka, ini menyakitkan. Identitas mereka terancam, dan mereka merasa seolah-olah kehilangan bagian dari dirinya.

Kata Nietzsche, dalam On the Genealogy of Morality, "Kita, orang-orang yang paham, tidak memahami diri kita sendiri... Kenyataan pahitnya adalah bahwa kita terpaksa masih menjadi orang asing bagi diri kita sendiri, kita tidak mengerti tentang hakikat diri kita sendiri, kita pasti salah tentang diri kita sendiri..."

Kita tersandung sepanjang hidup, berharap untuk mengambil kepingan-kepingan wisdom di sana-sini. Akan tetapi, kita bingung. Kita salah mengira hal-hal mendesak sebagai penting, verbose sebagai kebijaksanaan, dan yang populer sebagai yang baik.

Singkatnya, kita "misliving"; kita salah-hidup.

Adakah jalan keluar dari semua itu? Saya tidak tahu tepatnya bagaimana, tapi sedikitnya saya tahu bahwa dengan mengakui ketidaktahuan kita, menyadari blind spots kita sendiri terkait rupa-rupa hal, kita bisa menjadi kurang ceroboh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun