Seperti ungkap Richard Cecil, "Langkah pertama menuju pengetahuan adalah mengetahui bahwa kita tidak tahu."
Philosophia
Kita menemukan diri kita sendiri, sebagai individu dan komunitas, mau-tak-mau dilemparkan ke dalam dunia yang bukan buatan kita sendiri. Kita ingin bertahan dan, jika memungkinkan, berkembang. Namun, kita tetap tak paham dengan ciri-ciri dunia ini.
Kita memulai dengan sedikit informasi tentang dunia ini, tetapi kita diberkahi kemampuan untuk mengetahui bahwa ada hal-hal tentangnya yang tidak kita ketahui.
Dalam hal ini, kita punya kemampuan untuk merumuskan dan menjawab segala pertanyaan yang jawabannya kita tahu bahwa kita tidak tahu. Manusia yang utuh, dengan demikian, ialah mereka yang mawas akan kealpaannya, sekaligus sadar tentang segala potensinya yang belum dan harus diaktualisasikan.
Dengan mengakui ketidaktahuan, kita membuka pintu keragu-raguan. Ini adalah awal mula, sebab tatkala kita mempertanyakan pemahaman kita saat ini, kita menjadi ingin tahu tentang informasi apa yang mungkin kita lewatkan.
Pencarian itu membawa kita pada penemuan-penemuan baru. Namun, penemuan itu bukanlah akhir, melainkan awal yang baru. Kesimpulan-kesimpulan yang kita pegang, manakala kita kembali meragukannya dan bertanya-tanya, akan beralih menjadi pencarian berikutnya, dan itu berarti penemuan yang lain.
Semua itu, bila kita cukup rendah hati mengakui ketidaktahuan dan menindaklanjutinya, akan terus-menerus berputar menjadi sebuah siklus. Di sini kita tidak sekadar berpengetahuan, tapi terutama "bijaksana". Kita tidak hanya tahu, tapi juga paham dan belajar.
Seperti ungkap Adam Grant, "Jika pengetahuan adalah kekuatan, mengetahui apa yang tidak kita ketahui adalah kebijaksanaan."
Pengetahuan yang lebih besar tidak selalu diterjemahkan menjadi kebijaksanaan yang lebih besar, malah lebih seringnya menjadikan kita kurang bijaksana. Kita bisa tahu terlalu banyak, dan kita bisa "salah tahu".
Berkat kesadaran bahwa kita punya segudang ketidaktahuan, bahwa pada banyak kesempatan kita sering tidak mengenali kekeliruan kita sendiri, kita pun menjadi orang yang tidak buru-buru dalam menentukan mana yang benar dan mana yang salah.
Kita tidak lagi digerakkan oleh hasrat dan ambisi pengetahuan yang sembrono, tapi oleh rasa cinta pada kebijaksanaan (philosophia). Mensyukuri pemikiran dengan arif artinya menyadari batas sekaligus ketakterbatasan aspirasi pemikiran.