Ada sebuah pepatah Cina kuno yang berbunyi, "Tindakan akan menghapus keraguan yang tidak dapat diselesaikan oleh teori." Kendati begitu, sebagaimana ungkapan bijak lainnya selalu punya pengecualian, beberapa bentuk tindakan sama sekali tidak membantu.
Tindakan yang dimaksud tidak hanya merujuk pada hasil yang sia-sia; itu sudah jelas dengan sendirinya. Apa yang saya bicarakan adalah tindakan yang sedari awalnya sudah disadari akan sia-sia, atau setidaknya besar kemungkinan akan sia-sia, tapi toh tetap dilakukan juga.
Para psikolog biasanya menyebut itu dengan istilah "action bias", sebentuk sesat pikir yang mendorong orang untuk bertindak tanpa memedulikan hasil akhirnya.Â
Dengan kata lain, mereka terlihat aktif, meskipun percuma; mereka bertindak, namun sebatas formalitas.
Saya mengerti bahwa "bertindak tanpa memedulikan hasil akhirnya" adalah pernyataan yang cukup ambigu. Jika orang berbuat begitu, terutama dalam situasi yang sepenuhnya di luar kendali, apa yang salah dengan mereka? Mengapa disebut "sesat pikir (cognitive bias)"?
Peneliti Michael Bar-Eli dan koleganya melakukan sebuah studi menarik yang mengevaluasi 286 tendangan penalti di liga dan kejuaraan teratas di seluruh dunia (Bar-Eli dkk., 2007). Mereka memperkirakan bahwa bola membutuhkan waktu kurang dari 0,3 detik dari pemain yang menendang penalti ke gawang.
Dengan waktu yang sedemikian singkat itu, tidak ada cukup waktu bagi kiper untuk melihat lintasan bola. Karenanya, dia harus membuat keputusan sebelum bola ditendang. Jika ditilik sepintas, tentu tidak sulit untuk mengatakan bahwa bola mungkin bergerak ke arah kanan, kiri, atau tengah.
Bahkan jika turut menimbang distribusi probabilitas arah tendangan, strategi optimal untuk kiper adalah tetap berada di pusat gawang. Walaupun begitu, dan kiranya sudah diketahui secara umum, kiper hampir selalu melompat ke kanan atau ke kiri.
Pastinya sang kiper sendiri tahu bahwa ada kemungkinan bola untuk melesat ke pusat gawang, tetapi mengapa dia bersikeras melompat?
Baca juga: Mengapa Kita Semua Membutuhkan Filsafat?Para peneliti menyimpulkan: Saat kiper mengalami kebobolan, dia menghasilkan perasaan yang lebih buruk bila tidak bertindak (tetap di tengah) daripada bertindak (melompat ke kanan atau ke kiri).