Camus memang tidak memberikan perumpamaan semacam itu, tetapi kiranya cukup relevan untuk membantu kita memahami gagasan Camus. Menurutnya, "keabsurdan itu adalah konfrontasi antara irasionalitas semesta dan kerinduan liar terhadap kejernihan yang bergema di jantung manusia."
Hasrat yang terus membara dalam sanubari manusia akan kejelasan dan rasionalitas, justru disikapi acuh tak acuh oleh semesta. Di sini kita bisa menafsirkan, setidaknya menurut hemat saya, bahwa absurditas dunia justru maujud karena kehadiran manusia di dalamnya.
Jikalau manusia tidak ada, dengan kata lain tidak ada kesadaran yang menuntut kerasionalan dan kejelasan, semesta akan berjalan apa adanya tanpa penghakiman. Dia disebut absurd karena ada makhluk yang meminta jawaban, seperti rindu terhadap kampung halaman yang begitu familier baginya.
"Dunia itu sendiri, yang makna tunggalnya tidak saya pahami, adalah sebuah raksasa irasional," tulis Camus. "Apabila seseorang bisa mengatakan, barang sekali saja: 'Ini sudah jelas,' semua akan terselamatkan."
Di sini Camus kiranya hendak mengatakan bahwa semesta itu tak terpahami, dan kalaupun terdapat penjelasan-penjelasan, itu tidak lain daripada sebuah pemaksaan makna yang bersifat antropomorfik; manusia menjadi ukuran dari segala sesuatu.
Penjelasan kita tentang alam semesta, dengan demikian, hanyalah reduksi nalar kita sendiri yang berusaha memuaskan suatu dahaga akan kejelasan. Lagi pula, Camus bertanya, apa faedah sebuah makna di luar kodrat manusia?
"Saya hanya bisa memahami apa-apa yang berhubungan dengan manusia," tulisnya.
Sama seperti terdampar dalam kengerian gurun pasir, alih-alih ditawarkan oasis, kita malah mendapati rupa-rupa fatamorgana yang menipu dan menjebak, seolah ingin meyakinkan kita bahwa di depan sana ada kelimpahan air, padahal yang ada hanyalah kegersangan lainnya.
"Oleh sebab itu," ungkap Camus, "inteligensia pun kemudian mengajari saya bahwa dunia ini adalah absurd. Kebalikannya, yakni nalar buta, mungkin mengklaim bahwa segalanya jelas; saya menunggu buktinya dan berharap ia benar. Namun, meski amat banyak, selama berabad-abad, orang-orang fasih dan persuasif, saya tahu bahwa itu palsu."
Dari berdiam dalam situasi itulah, Camus tahu tentang apa yang ditemukan di sana, bahwa benak manusia dan dunianya saling bergesekan tanpa bisa saling peluk. Mirip seperti aktor yang tercerabut dari latarnya, bumi yang terpisah dari langitnya, manusia juga tercerai dari hidupnya.
Keseharian manusia pun, karenanya, terus diisi oleh perasaan-perasaan aneh dan janggal. Dalam ketelanjangannya yang menyusahkan, dalam terangnya yang tanpa cahaya, dunia sukar dipahami. "Di setiap sudutnya, perasaan absurd bisa menonjok wajah siapa pun," urai Camus.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!