Dengan sensitivitas tersebut, maka absah dan penting kiranya untuk merenungkan apakah kehidupan ini punya sebuah makna. Jawaban atas pertanyaan itu dengan sendirinya akan membawa kita untuk bersemuka dengan masalah bunuh diri, topik mendasar yang diangkat oleh Camus.
"Hanya ada satu masalah filsafat yang sungguh-sungguh serius," tulis Camus, "dan itu adalah bunuh diri. Memvonis apakah hidup berharga atau tidak bernilai sama dengan menjawab pertanyaan mendasar tersebut."
Camus berangkat dari pengalaman pribadinya yang diliputi rupa-rupa kemalangan dan nestapa. Ketika umurnya masih sekitar satu tahun, ayahnya meninggal dalam medan pertempuran Perang Dunia Kesatu.
Hidup dalam kemiskinan tampaknya cukup memengaruhi cara pandang Camus terhadap kehidupan. Terutama ketika dia didiagnosis mengalami TBC, yang sekaligus mengubur mimpinya menjadi pesepak bola, Camus seolah dibuat untuk mengerti tentang apa artinya hidup bersama kesakitan.
Di sisi lain, manakala zamannya dipenuhi bayang-bayang perang dan ledakan, dia juga melihat banyak orang mati karena mereka menganggap hidup tak layak dijalani. Bahkan lebih ironisnya, ungkap Camus, mereka secara paradoksal tewas gara-gara ilusi ini-itu yang memberi mereka suatu alasan untuk hidup.
Semua kekacauan itu, dengan intuisi yang tajam dan jernih, mendorong Camus untuk menyimpulkan bahwa persoalan makna hidup termasuk pertanyaan-pertanyaan paling mendesak di antara yang lainnya.
Bagaimana cara menilai bahwa pertanyaan yang ini lebih mendesak ketimbang yang itu? Camus menanggapi bahwa suatu pertanyaan harus dinilai dan diukur berdasarkan tindakan-tindakan yang diakibatkannya.
Karena pertanyaan tentang makna hidup akan selamanya memengaruhi cara hidup seseorang, maka persoalan tentangnya adalah yang paling mendesak.
Menariknya, Camus tidak berjalan maju untuk membuktikan apakah hidup ini bermakna atau tidak; dia menjadikan absurditas sebagai titik bertolak dan sekaligus sebagai kesimpulan. Camus berkomentar bahwa "orang tidak bisa menilai terlebih dahulu posisi yang akan dia ambil."
Jadi, sejak permulaan Camus sudah mendeteksi dan meraba-raba tentang adanya kaitan erat antara absurditas dan bunuh diri.
Mengapa Hidup Ini Absurd?
Bayangkan kita terdampar di sebuah gurun pasir yang terik dan tandus. Kita tentu merasa kehausan dan kekeringan, suatu keinginan yang tak terobati akan kelimpahan air dan udara segar. Namun malangnya, oasis tidak ada, siang dan malam tetap menyengat.