Filsafat penting karena pada titik tertentu dalam hidup, kita semua harus bertanya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai eksistensi diri kita sendiri: Apa yang benar? Mengapa saya percaya itu benar? Bagaimana saya harus hidup berdasarkan apa yang saya yakini? dan seterusnya.
Kegagalan untuk menjawab satu atau lebih dari pertanyaan-pertanyaan semacam itu akan dengan cepat menghasilkan apa yang umumnya disebut sebagai krisis mental atau eksistensial; kita jatuh ke dalam jurang depresi saat berjuang menemukan makna hidup.
"Dia yang mengatakan bahwa waktu untuk filsafat belum tiba atau telah berlalu," ungkap Epicurus, "adalah seperti seseorang yang mengatakan bahwa waktu untuk kebahagiaan belum tiba atau telah berlalu."
Itu karena filsafat mengajarkan kita teknik dasar untuk menemukan makna dan tujuan di dunia yang rasanya tidak mengandung makna tertentu, bila sejenak melepaskan ajaran agama, tidak ada tujuan kosmik yang ditetapkan.
Filsafat memberi kita alat untuk menentukan apa yang mungkin penting dan benar, serta apa yang mungkin dibuat-dibuat secara sembrono. Dengan kata lain, filsafat cenderung untuk menelanjangi apa saja secara kritis, rasional dan dapat dipertanggungjawabkan.
Filsafat menunjukkan kepada kita prinsip untuk membantu mengarahkan tindakan kita, untuk menentukan nilai-nilai kita, untuk menghasilkan medan magnet yang nantinya menopang kinerja kompas internal kita, sehingga kita tidak akan pernah merasa tersesat lagi.
Begitu kita mulai mempertanyakan signifikansi dan kebenaran segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita, kita akan turut menyadari bahwa sebagian besar dari apa yang kita yakini rupa-rupanya tidak ditentukan oleh kita sendiri, melainkan ditentukan oleh orang-orang dan budaya di sekitar kita.
Filsafat dan Zaman Kita
Anehnya, ketika filsafat dianggap sudah terlalu kuno bagi zaman kita yang serba ditopang oleh sains dan teknologi, kebutuhan akan filsafat justru semakin mendesak. Membanjirnya informasi, secara paradoksal, tidak membuat kita semakin yakin tentang mana yang benar, melainkan sebaliknya.
Di antara berita palsu, sains yang semu, rumor media sosial, dan pemasaran serta propaganda manipulatif, lebih sulit daripada sebelumnya untuk mengetahui apakah kita benar-benar dapat memercayai informasi yang kita temukan atau tidak.
Kita tidak hanya buta terhadap apa yang benar, tetapi bahkan kita juga sering tidak tahu bagaimana mencari kebenaran. Dengan begitu, bagaimana kita harus hidup menjadi amat kurang jelas daripada peradaban mana pun sebelumnya.
Kita semua merasa bahwa kita tahu, tetapi ada ketidakpastian umum yang kiranya telah meliputi sebagian besar budaya kita. Dan itu menghasilkan kecemasan, ketidakamanan eksistensial, serta rasa mual yang sulit terobati.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!