Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mengapa Kita Semua Membutuhkan Filsafat?

29 Juli 2022   11:04 Diperbarui: 29 Juli 2022   11:14 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan Jacques-Louis David yang menggambarkan adegan hukuman mati Socrates | Gambar oleh Gordon Johnson via Pixabay

Suatu waktu, saat Schelling membawakan pidato pengukuhannya di Universitas Berlin, aula utama dibanjiri pendengar. Para profesor dari segala fakultas sangat berantusias untuk menyimaknya.

Setelah Schelling berpidato selama satu jam tentang filsafatnya, aula itu menjadi sangat hening. Mereka semua sama sekali tidak mengerti tentang apa yang dikatakan Schelling.

Dalam kisah lain, ketika sedang mengerjakan manuskrip filsafatnya, Hegel tenggelam ke dalam pemikirannya sendiri. Sekonyong-konyong pelayannya masuk dengan panik dan berteriak, "Kebakaran! Rumah kita terbakar!"

Hegel hanya menoleh sambil berkata, "Katakan dong pada istri saya." Sorenya Hegel baru tahu bahwa api di atap rumahnya baru saja dipadamkan.

Dari kedua anekdot tersebut, terlepas dari nyata atau tidaknya, setidaknya muncul dua kesan tentang filsafat: berat dan memiliki kedalaman. Tetapi kesan-kesan semacam itu kiranya hanya mungkin diucapkan oleh mereka yang sejatinya menyukai filsafat.

Bagi masyarakat awam dan kaum pembenci, dua anekdot tersebut justru dianggap bukti bahwa filsafat hanyalah ilmu yang mengawang-ngawang dan membuat pembelajarnya menjadi gila.

Mereka biasanya menghubungkan filsafat dengan buku-buku ribuan halaman yang sulit dipahami, tidak mengatakan sesuatu pun dan tidak menyelesaikan masalah apa pun. Mereka membayangkan para filsuf sebagai lelaki tua pengap dengan kemeja salah kancing, berjanggut lebat dan perut buncit.

Sebenarnya tidak ada yang baru perihal semua itu; filsafat memang sudah menjadi sasaran tinju favorit selama berabad-abad. Kritik terhadapnya, bisa dibilang, sudah sangat usang dan lapuk: sains sedianya memberitahu kita semua yang perlu kita ketahui, filsafat "sudah mati".

Kendati begitu, ada keanehan kecil yang lucu tentang kritik filsafat semacam itu: untuk benar-benar mengkritik filsafat, seseorang justru harus terlibat dalam filsafat. Dengan kata lain, aktivitas mengkritik filsafat adalah suatu bentuk berfilsafat itu sendiri.

Lantas, apa itu filsafat? Mengapa filsafat, seperti yang nanti akan ditunjukkan, selalu hadir dalam keseharian kita? Apakah masih relevan untuk membicarakan dan mempelajari filsafat? Atau ringkasnya, mengapa kita semua membutuhkan filsafat?

Artikel ini tidak bermaksud untuk menyajikan sebuah pengantar filsafat. Jauh dari itu, artikel ini hendak menawarkan suatu pengenalan tentang apa itu filsafat secara umum dan mengapa kita semua (masih) sangat membutuhkannya hari ini.

Sama seperti ketika saya mengenalkan seorang teman kepada Anda, saya hanya akan menggambarkan bagaimana penampilannya dan sejumlah alasan tertentu mengapa Anda harus berkenalan lebih lanjut dengannya. Perihal selebihnya, saya lepas tangan.

Apa Itu Filsafat?

Dalam A History of Western Philosophy, Bertrand Russell menyampaikan pengertian yang menarik tentang apa itu filsafat. Secara luas, menurutnya, filsafat adalah sesuatu yang berada di antara teologi dan sains.

Seperti teologi, filsafat terdiri dari spekulasi tentang hal-hal yang sejauh ini belum dapat dibenarkan oleh pengetahuan pasti; tetapi seperti sains, filsafat lebih mengacu pada akal manusia daripada otoritas tertentu, misalnya berupa tradisi atau wahyu sebagaimana teologi.

Namun, daripada berlarut-larut dalam pengertian demikian, ada baiknya kita menggunakan bahasa sehari-hari untuk lebih memudahkan pengenalan kita terhadap filsafat. Lagi pula, saya tidak berminat untuk memberikan suatu definisi tentang hakikat filsafat.

Salah satu kesibukan para filsuf selama berabad-abad adalah bertengkar tentang apa itu filsafat, di mana segala macam keyakinan dikemukakan dengan gigih, termasuk pendapat bahwa filsafat itu sendiri sebenarnya tidaklah ada.

Mari kita kesampingkan dulu perdebatan semacam itu.

Jostein Gaarder, dalam novelnya yang sangat populer Sophie's World, memaknai filsafat dengan lebih sederhana. Bagi Gaarder, filsafat merupakan sesuatu yang secara mendasar menyangkut kepentingan semua orang, dan karenanya memikat hati kita semua.

Apa hal terpenting dalam kehidupan? Siapa aku? Mengapa aku ada di sini? Dari mana datangnya alam semesta? Apakah alam semesta memiliki kesatuan atau tujuan? Apakah benar-benar ada yang dinamakan hukum alam, atau mungkinkah kita memercayainya hanya karena kita begitu cinta pada ketertiban?

Apakah manusia hanyalah segumpal kecil karbon dan air yang tidak murni, merayap tanpa daya di sebuah planet kecil dan tidak penting?

Mempelajari semua pertanyaan itu, jika bukan menjawabnya, adalah urusan filsafat. Dan bagi Gaarder, setiap orang memiliki kepentingan terhadap pertanyaan-pertanyaan filosofis itu. Mengapa kemudian kita membuang waktu untuk masalah yang tidak terpecahkan seperti itu?

Jawabannya bisa bermacam-macam, bahkan sebatas bertanya demikian pun, sebenarnya kita sedang memasuki tahap permulaan dari aktivitas berfilsafat.

Tetapi yang jelas, kita bisa beranggapan bahwa semua pertanyaan itu memang menentukan jalannya setiap peradaban manusia, dan bisa juga dijawab dengan seada-adanya bahwa kita adalah makhluk yang senantiasa diteror oleh rasa kesepian kosmik.

Filsafat, oleh karena itu, tidak bisa diabaikan karena alasan sederhana bahwa ia mencakup semua pengalaman sadar. Seperti yang disinggung sebelumnya, untuk mengkritik filsafat, kita harus mengandalkan beberapa derajat filsafat.

Untuk mengotak-atik kerangka pemahaman yang sistematis, orang harus menghasilkan kerangka pemahaman yang sistematis pula. Teka-teki logis ini dikenal sebagai "performative contradiction".

Dari mana asalnya teka-teki dan istilah aneh itu? Lucunya, itu juga berasal dari filsafat. Filsafat bukanlah ilmu biasa yang puas dengan fakta, melainkan terus berupaya untuk mengetahui hal-hal yang di seberang fakta.

Jadi, sementara suatu keterampilan menuntut kita untuk menjadi profesional, filsafat justru menginginkan kita untuk tetap merasa sebagai "pemula", yakni pemula dalam segala hal yang terutama menyangkut kehidupan ini.

Alasannya sederhana: hanya mereka yang merasa pemula yang dapat menghayati keheranan bahwa dunia ini ada, dirinya ada, Tuhan ada, dan seterusnya. Pemula selalu diliputi oleh pertanyaan, dan itu adalah modal yang sangat penting dalam berfilsafat.

Sebagaimana dikatakan Bertrand Russell, "Sains adalah apa yang Anda ketahui. Filsafat adalah apa yang tidak Anda ketahui."

Mengapa Kita Membutuhkan Filsafat?

Secara mendasar, filsafat adalah gerak nalar yang wajar, sealamiah bernapas, aliran pikiran yang pada titik tertentu tidak bisa dibungkam atau dihentikan. Itu karena filsafat sering bermula dari keingintahuan yang sebenarnya telah kita miliki sejak kanak-kanak.

Filsafat, perlu diakui, memang terkesan seperti mengawang dan abstrak. Namun proses abstraksi itu justru diperlukan untuk menerangi pengalaman dan melihat akar-akar dasar yang tersembunyi di balik segala persoalan konkret.

Filsafat adalah soal kedalaman, dan kedalaman itu sering mengerikan dan sangat gelap. Inilah yang membuat filsafat kerap dituduh mengada-ngada, tidak dimengerti dan terlalu radikal. Bagi mereka yang asing dengan kedalaman, filsafat cukup untuk membuat mereka bergidik.

Penelusuran kedalaman oleh para filsuf dapat diserupakan dengan sebuah cerita detektif. Sebagian orang berpendapat A adalah pembunuhnya, sementara menurut yang lain adalah B atau C.

Meskipun kadang-kadang detektif mampu memecahkan kasusnya, ada kemungkinan pula mereka tidak pernah sampai ke dasarnya. Maka, betapa pun sulit untuk menjawab suatu pertanyaan, barangkali ada satu (dan hanya satu) jawaban yang tepat.

Dan upaya pencarian serta pendalaman semacam itu selalu layak untuk dilakukan.

Dalam konteks demikian, filsafat membantu kita untuk menyangsikan apa yang dianggap benar, sehingga filsafat merupakan modal utama untuk berpikir kritis. Sikap tersebut, misalnya, dapat dilihat dalam filsafat Rene Descartes dan David Hume.

Descartes memulai filsafatnya dengan sebuah kesangsian atas segala sesuatu, dan hanya itulah yang dia yakini. Namun, kemudian dia menyadari sesuatu: satu hal pasti benar, dan itu adalah bahwa dia ragu.

Ketika dia ragu, dia pasti sedang berpikir, dan karena dia berpikir, pastilah dia merupakan seorang makhluk yang berpikir. Jadi, kalaupun segala sesuatunya adalah hasil tipuan, toh dia yang sedang berpikir bukanlah suatu kepalsuan.

Atau, seperti dia sendiri mengungkapkannya: Cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada). Beberapa orang biasanya memajang slogan itu dalam bio media sosial mereka sebagai bukti bahwa mereka belajar filsafat. (Saya bercanda, tapi saya jujur.)

Sikap meragukan segala sesuatu mendapatkan titik radikalnya dalam filsafat David Hume, dan ini mungkin terdengar gila bagi sejumlah orang.

Hume mengatakan, secara logis, tidak mungkin membuktikan bahwa sesuatu akan terjadi di masa depan, tidak peduli seberapa seringnya hal itu terjadi di masa lalu. Bahkan, menurutnya, dalam bahasa yang paling gamblang, hukum sebab-akibat adalah ilusi.

Jika matahari terbit di timur setiap hari selama jutaan tahun, bagi Hume, itu masih belum bisa membuktikan bahwa ia akan terbit lagi di timur esok hari. Itu hanya membuatnya sangat mungkin bahwa matahari akan muncul di timur.

Saya merasa melangkah terlalu jauh, jadi mari kita kembali pada bahasa sehari-hari.

Filsafat penting karena pada titik tertentu dalam hidup, kita semua harus bertanya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai eksistensi diri kita sendiri: Apa yang benar? Mengapa saya percaya itu benar? Bagaimana saya harus hidup berdasarkan apa yang saya yakini? dan seterusnya.

Kegagalan untuk menjawab satu atau lebih dari pertanyaan-pertanyaan semacam itu akan dengan cepat menghasilkan apa yang umumnya disebut sebagai krisis mental atau eksistensial; kita jatuh ke dalam jurang depresi saat berjuang menemukan makna hidup.

"Dia yang mengatakan bahwa waktu untuk filsafat belum tiba atau telah berlalu," ungkap Epicurus, "adalah seperti seseorang yang mengatakan bahwa waktu untuk kebahagiaan belum tiba atau telah berlalu."

Itu karena filsafat mengajarkan kita teknik dasar untuk menemukan makna dan tujuan di dunia yang rasanya tidak mengandung makna tertentu, bila sejenak melepaskan ajaran agama, tidak ada tujuan kosmik yang ditetapkan.

Filsafat memberi kita alat untuk menentukan apa yang mungkin penting dan benar, serta apa yang mungkin dibuat-dibuat secara sembrono. Dengan kata lain, filsafat cenderung untuk menelanjangi apa saja secara kritis, rasional dan dapat dipertanggungjawabkan.

Filsafat menunjukkan kepada kita prinsip untuk membantu mengarahkan tindakan kita, untuk menentukan nilai-nilai kita, untuk menghasilkan medan magnet yang nantinya menopang kinerja kompas internal kita, sehingga kita tidak akan pernah merasa tersesat lagi.

Begitu kita mulai mempertanyakan signifikansi dan kebenaran segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita, kita akan turut menyadari bahwa sebagian besar dari apa yang kita yakini rupa-rupanya tidak ditentukan oleh kita sendiri, melainkan ditentukan oleh orang-orang dan budaya di sekitar kita.

Filsafat dan Zaman Kita

Anehnya, ketika filsafat dianggap sudah terlalu kuno bagi zaman kita yang serba ditopang oleh sains dan teknologi, kebutuhan akan filsafat justru semakin mendesak. Membanjirnya informasi, secara paradoksal, tidak membuat kita semakin yakin tentang mana yang benar, melainkan sebaliknya.

Di antara berita palsu, sains yang semu, rumor media sosial, dan pemasaran serta propaganda manipulatif, lebih sulit daripada sebelumnya untuk mengetahui apakah kita benar-benar dapat memercayai informasi yang kita temukan atau tidak.

Kita tidak hanya buta terhadap apa yang benar, tetapi bahkan kita juga sering tidak tahu bagaimana mencari kebenaran. Dengan begitu, bagaimana kita harus hidup menjadi amat kurang jelas daripada peradaban mana pun sebelumnya.

Kita semua merasa bahwa kita tahu, tetapi ada ketidakpastian umum yang kiranya telah meliputi sebagian besar budaya kita. Dan itu menghasilkan kecemasan, ketidakamanan eksistensial, serta rasa mual yang sulit terobati.

Dalam kondisi serba kacau tersebut, filsafat mampu memuaskan dahaga manusia yang selalu ingin mengerti dan memastikan.

Bahkan kalaupun kepuasan tersebut tidak tercapai, toh ada makna-makna tertentu yang kita pahami dapat menjadikan hidup lebih berwarna dan, lebih pentingnya, memiliki kelayakan untuk dijalani.

Hidup dan manusia adalah misteri. Keduanya perlu diuraikan. Bahkan jika kita menghabiskan seluruh hidup kita untuk menguraikannya, tidak perlu mengatakan bahwa kita telah membuang-buang waktu.

Kita mempelajari misteri itu karena kita adalah manusia yang ingin hidup sepenuhnya, penuh makna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun