Penelusuran kedalaman oleh para filsuf dapat diserupakan dengan sebuah cerita detektif. Sebagian orang berpendapat A adalah pembunuhnya, sementara menurut yang lain adalah B atau C.
Meskipun kadang-kadang detektif mampu memecahkan kasusnya, ada kemungkinan pula mereka tidak pernah sampai ke dasarnya. Maka, betapa pun sulit untuk menjawab suatu pertanyaan, barangkali ada satu (dan hanya satu) jawaban yang tepat.
Dan upaya pencarian serta pendalaman semacam itu selalu layak untuk dilakukan.
Dalam konteks demikian, filsafat membantu kita untuk menyangsikan apa yang dianggap benar, sehingga filsafat merupakan modal utama untuk berpikir kritis. Sikap tersebut, misalnya, dapat dilihat dalam filsafat Rene Descartes dan David Hume.
Descartes memulai filsafatnya dengan sebuah kesangsian atas segala sesuatu, dan hanya itulah yang dia yakini. Namun, kemudian dia menyadari sesuatu: satu hal pasti benar, dan itu adalah bahwa dia ragu.
Ketika dia ragu, dia pasti sedang berpikir, dan karena dia berpikir, pastilah dia merupakan seorang makhluk yang berpikir. Jadi, kalaupun segala sesuatunya adalah hasil tipuan, toh dia yang sedang berpikir bukanlah suatu kepalsuan.
Atau, seperti dia sendiri mengungkapkannya: Cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada). Beberapa orang biasanya memajang slogan itu dalam bio media sosial mereka sebagai bukti bahwa mereka belajar filsafat. (Saya bercanda, tapi saya jujur.)
Sikap meragukan segala sesuatu mendapatkan titik radikalnya dalam filsafat David Hume, dan ini mungkin terdengar gila bagi sejumlah orang.
Hume mengatakan, secara logis, tidak mungkin membuktikan bahwa sesuatu akan terjadi di masa depan, tidak peduli seberapa seringnya hal itu terjadi di masa lalu. Bahkan, menurutnya, dalam bahasa yang paling gamblang, hukum sebab-akibat adalah ilusi.
Jika matahari terbit di timur setiap hari selama jutaan tahun, bagi Hume, itu masih belum bisa membuktikan bahwa ia akan terbit lagi di timur esok hari. Itu hanya membuatnya sangat mungkin bahwa matahari akan muncul di timur.
Saya merasa melangkah terlalu jauh, jadi mari kita kembali pada bahasa sehari-hari.