Ditambah dengan semakin meningkatnya prevalensi aplikasi pengedit foto dan penggunaan filter, diri kita yang terdistorsikan itu terasa begitu nyata.
Lantas kita percaya bahwa sebenarnya kita sangat mungkin untuk menjadi demikian, tetapi kenyataannya kita tetap menjadi apa adanya diri kita. Harapan tidak terealisasikan, dan sudah barang tentu itu menjadi sumber kekecewaan yang lain.
Ujung-ujungnya kita merasa berada dalam ketegangan terus-menerus antara esensi dan eksistensi, antara apa yang ada dan apa yang bisa ada. Kita memetakan diri yang diedit, virtual, dan ideal. Kita menjadi sangat berharap, tetapi sekaligus tidak puas.
Tentu kiranya masuk akal bila kita menginginkan diri kita yang lain, toh kita semua pernah merasa begitu pada suatu waktu. Namun tidak masuk akal untuk memperoleh diri virtual yang direfleksikan, sebab itu adalah artefak aplikasi pengeditan, bukan orang yang hidup, bernapas, dan kompleks.
Media sosial memungkinkan kita untuk membuat versi diri kita yang terlihat nyata, dan meskipun refleksi tersebut berbentuk dua dimensi, itu tetap saja dapat menciptakan standar perbandingan yang tidak realistis dan sulit didamaikan.
Jadi cukup ironis bila orang-orang memandang media sosial berdampak buruk karena memberi celah bagi individu untuk membandingkan dirinya dengan orang lain; kenyataannya mereka lebih sering kecewa ketika membandingkan rupa asli mereka dengan potret ideal mereka di media sosial.
2. Media sosial menyediakan sarana untuk mengukur persetujuan sosial
Melalui fitur seperti tombol "like/love", dan tampilan jumlah pengikut atau teman, seseorang dapat mengukur persetujuan orang lain dengan cara yang tidak mungkin dilakukan sebelum internet.
Selain itu, persetujuan dan ketidaksetujuan ini juga meluas ke kelompok yang jauh lebih besar daripada yang pernah dialami manusia. Ketika seseorang berparas anggun dan rupawan, kini yang mengaguminya bukan hanya orang satu kampung, melainkan berkemungkinan satu dunia!
Paradoksnya, semakin besar kesempatan untuk mengukur persetujuan sosial, semakin besar pula kemungkinan untuk mengalami pengucilan sosial. Hal ini membuat peningkatan ukuran jaringan tidak selalu memperkaya pengalaman sosial, bahkan yang terjadi sering sebaliknya.
Dengan kata lain, kesepian dan kesendirian mungkin akan semakin meningkat.
Memang bagi beberapa orang, kesendirian bukanlah masalah. Dan itu berarti, mereka mampu mengatasi rasa sepi. Mereka mungkin mengalami kesenangan kesendirian saat membaca puisi sembari berhadapan dengan alam yang sunyi.