Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Alienasi dan (Candu) Media Sosial

22 Juli 2022   11:04 Diperbarui: 28 Juli 2022   00:15 1420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media sosial lebih sering membuat kita teralienasi daripada mengenal diri sendiri | Ilustrasi oleh Pexels via Pixabay

Perkembangan teknologi tampaknya semakin menuruti hukumnya sendiri, lepas dari kontrol manusia. Alhasil, teknologi modern terasa tidak memanusiakan proses pekerjaan, melainkan semakin memperbudak manusia.

Kebahagiaan yang ditawarkan zaman tentunya terus berubah, dan apa yang kita temukan hari ini adalah bahwa media sosial seolah berada di garda terdepan. Kita membukanya setiap hari, bahkan mungkin setiap jam.

Hari demi hari kita mengusap laman beranda dengan tenang, menemukan konten-konten lucu hingga seabrek berita absurd; kita tertawa dan terus tertawa hingga telapak tangan membasah. Pada lain waktu, kita dibuat gelisah oleh sepinya notifikasi.

Singkatnya, kita dibuat ketergantungan terhadapnya.

Media sosial yang pada mulanya kita harapkan dapat menjadi sumber kebahagiaan, tiba-tiba berbalik menjadi sumber penderitaan. Kita, entah disadari atau tidak, membawa beberapa permasalahan dunia maya ke dunia nyata. Lantas kita menderita dua kali di dua dunia.

Kebanyakan dari kita sudah (terlanjur) menyelam begitu dalam sampai tidak mampu lagi membedakan mana yang semu dan hakiki. Apa yang orang ucapkan kepada mereka di dunia maya rasanya merupakan cerminan diri mereka di dunia nyata.

Mereka seolah berjalan terseok-seok dan merasa asing terhadap sekitarnya. Mereka berbicara tanpa kesadaran, mendengarkan tanpa mengerti, tertawa lepas tanpa kebahagiaan. Semenjak itu, mereka menjadi ragu tentang teman-temannya, dunianya, bahkan dirinya sendiri.

Mereka terperosok ke dalam jurang alienasi.

Sepintas Alienasi

Karl Marx merupakan salah satu kontributor terpenting dalam penggunaan konsep alienasi. Menurutnya, bila disederhanakan, alienasi merujuk pada kurangnya kesadaran para anggota kelas sosial tentang peranan mereka dalam sejarah.

Namun, demi meningkatkan kemampuan heuristiknya dalam menafsirkan realitas sosial saat ini, tampaknya relevan bagi kita  untuk memperluas konsep alienasi menjadi lebih multidimensi daripada perspektif yang diberikan Marx, yang berfokus pada keterasingan antara modal dan tenaga kerja.

Literatur umum biasanya mencirikan alienasi sebagai keanehan manusia di hadapan dirinya sendiri dan aktivitasnya.

Namun, menurut hemat saya, alienasi sebagai konsep sebenarnya dapat diperluas lagi, sebab kondisi "keterasingan" senantiasa hadir di mana-mana dan menembus semua konteks interaksi sosial.

Lebih khususnya, bila alienasi Marx sebagian besar relevan dengan produksi, justru belakangan kita melihat bahwa konsumsi, terutama konsumsi teknologi, merupakan agen inti dari alienasi. Individu memandang hubungannya dengan teknologi tidak lagi masuk akal.

Oleh sebabnya, ada perbedaan penting antara konsep alienasi Marx dengan apa yang dirujuk dalam tulisan ini: pekerjaan pabrik adalah kerja upahan yang dipaksakan oleh kebutuhan ekonomi, sedangkan penggunaan teknologi, terlebih media sosial, tampaknya bersifat sukarela dan dilakukan secara bebas.

Dengan kata lain, berbeda dengan pekerja yang teralienasi karena (barangkali) bekerja atas desakan kebutuhan dan bukannya rasa suka, pengguna media sosial justru bersedia, bahkan bersemangat, untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang menguntungkan perusahaan.

Selama tidak ada yang mengganggu kebebasan mereka untuk melakukan apa pun yang ingin mereka lakukan, mereka menyukainya. Media sosial kiranya memberikan bukti bahwa orang agak toleran terhadap "eksploitasi" selama kemungkinan akan kegembiraan tetap terbuka.

(Meskipun kemungkinannya kecil.)

Mengapa Media Sosial Menyebabkan Alienasi?

Saya mengidentifikasi sedikitnya tiga alasan mengapa media sosial dapat meningkatkan perasaan keterasingan atau alienasi. Alasan pertama berhubungan dengan individu dan konsepsi diri mereka, lalu yang kedua dan ketiga berasal dari aspek sosial platform ini.

1. Media sosial memungkinkan kita untuk membangun versi ideal diri kita sendiri

Sudah umum diketahui bahwa media sosial memungkinkan kita untuk membangun diri yang artifisial dan ideal, sebab siapa pun dapat menggunakan fitur filter dan aplikasi pengedit foto untuk mendistorsi rupa wajah dan tubuh.

Kita kemudian melihat diri ideal tersebut sebagai "potensi yang tidak teraktualisasi" atau semacam cita-cita yang terasa sangat mungkin untuk diwujudkan, namun entah mengapa keadaan kita terus begini. Alih-alih gembira, kita malah menemukan sumber kecemasan lain.

Diri yang diidealkan itu diciptakan dengan cara-cara yang mudah ditebak: kita menyeleksi gambar yang akan di-post, sehingga orang-orang mempunyai kesan betapa kehidupan kita penuh pengalaman positif dan bahwa kita, tidak diragukan lagi, bangga terhadap diri sendiri.

Ditambah dengan semakin meningkatnya prevalensi aplikasi pengedit foto dan penggunaan filter, diri kita yang terdistorsikan itu terasa begitu nyata.

Lantas kita percaya bahwa sebenarnya kita sangat mungkin untuk menjadi demikian, tetapi kenyataannya kita tetap menjadi apa adanya diri kita. Harapan tidak terealisasikan, dan sudah barang tentu itu menjadi sumber kekecewaan yang lain.

Ujung-ujungnya kita merasa berada dalam ketegangan terus-menerus antara esensi dan eksistensi, antara apa yang ada dan apa yang bisa ada. Kita memetakan diri yang diedit, virtual, dan ideal. Kita menjadi sangat berharap, tetapi sekaligus tidak puas.

Tentu kiranya masuk akal bila kita menginginkan diri kita yang lain, toh kita semua pernah merasa begitu pada suatu waktu. Namun tidak masuk akal untuk memperoleh diri virtual yang direfleksikan, sebab itu adalah artefak aplikasi pengeditan, bukan orang yang hidup, bernapas, dan kompleks.

Media sosial memungkinkan kita untuk membuat versi diri kita yang terlihat nyata, dan meskipun refleksi tersebut berbentuk dua dimensi, itu tetap saja dapat menciptakan standar perbandingan yang tidak realistis dan sulit didamaikan.

Jadi cukup ironis bila orang-orang memandang media sosial berdampak buruk karena memberi celah bagi individu untuk membandingkan dirinya dengan orang lain; kenyataannya mereka lebih sering kecewa ketika membandingkan rupa asli mereka dengan potret ideal mereka di media sosial.

2. Media sosial menyediakan sarana untuk mengukur persetujuan sosial

Melalui fitur seperti tombol "like/love", dan tampilan jumlah pengikut atau teman, seseorang dapat mengukur persetujuan orang lain dengan cara yang tidak mungkin dilakukan sebelum internet.

Selain itu, persetujuan dan ketidaksetujuan ini juga meluas ke kelompok yang jauh lebih besar daripada yang pernah dialami manusia. Ketika seseorang berparas anggun dan rupawan, kini yang mengaguminya bukan hanya orang satu kampung, melainkan berkemungkinan satu dunia!

Paradoksnya, semakin besar kesempatan untuk mengukur persetujuan sosial, semakin besar pula kemungkinan untuk mengalami pengucilan sosial. Hal ini membuat peningkatan ukuran jaringan tidak selalu memperkaya pengalaman sosial, bahkan yang terjadi sering sebaliknya.

Dengan kata lain, kesepian dan kesendirian mungkin akan semakin meningkat.

Memang bagi beberapa orang, kesendirian bukanlah masalah. Dan itu berarti, mereka mampu mengatasi rasa sepi. Mereka mungkin mengalami kesenangan kesendirian saat membaca puisi sembari berhadapan dengan alam yang sunyi.

Kendati begitu, bagi sebagian lainnya yang secara inheren sosial, merangkul kesendirian bukanlah tugas yang mudah. Keterpisahan mereka dengan orang lain mendorongnya untuk terus mencari hubungan kolektif, demi mengurangi rasa kesepian yang intens.

Dalam mencari kehangatan tersebut, seseorang terus-menerus menggulirkan laman beranda, tidak pernah mengembangkan kemampuan untuk menjadi mandiri dan nyaman dalam kesendirian.

Media sosial yang mulanya membuat dia merasa terkucil, toh masih saja dipercayanya sebagai jalan penghapus keterkucilan pula. Pada akhirnya, dia menciptakan lingkaran setan yang hanya meningkatkan perasaan sepi dan sendiri. Dia teralienasi.

Justru karena media sosial memungkinkan seseorang untuk menjadi bagian dari kerumunan, mereka yang kesepian menjadi semakin tidak tahan dengan kesendirian. Mereka tidak dilatih untuk menikmati kesunyian; mereka diberi peluang untuk berkerumun, dan lalu dimungkinkan pula untuk terkucilkan.

Ada tekanan untuk menampilkan diri kita sebagai anggota masyarakat yang sosial, aktif, dan diinginkan. Ketika orang lain juga menampilkan muatan konten yang hampir sama dengan kita, tetapi jumlah "love-nya" lebih banyak, kita lantas percaya bahwa kita tidak terhubung secara sosial seperti mereka.

Itu berpotensi meningkatkan perasaan alienasi, serta mendorong kita untuk lebih terlibat dalam media sosial dengan keyakinan bahwa rasa inferior kita adalah salah, dan bahwa keyakinan itu dapat menyelesaikan masalah.

Persetujuan sosial dalam dunia maya menjadi seperti sebuah ujian: jika saya gagal, maka saya harus mengulanginya lagi sampai benar-benar berhasil. Tetapi tentunya tidak; media sosial bukanlah ujian.

Sebagai bagian dari generasi mayoritas pengguna media sosial, saya sangat maklum terhadap permasalahan ini. Saya tidak pernah merasa begitu kesepian seperti pada jam tertentu ketika saya diberi kesempatan untuk mengobrol dengan banyak orang, tapi toh nyatanya saya tetap sendirian.

3. Media sosial menurunkan kualitas interaksi

Meskipun media sosial memperluas relasi sosial kita, namun yang sering terjadi adalah dengan mengorbankan kualitas interaksi. Pertemuan kita dengan orang lain menghasilkan bentuk komunikasi yang jauh lebih miskin daripada yang dimungkinkan saat tatap muka langsung.

Dengan begitu, perasaan alienasi dapat mencekik leher kita erat-erat, sebab kendatipun jaringan sosial yang kita nikmati jauh lebih besar jumlahnya daripada yang dapat diakses oleh peradaban pra-internet, kita tidak benar-benar mengenal dan mengerti orang lain.

Nilai komunikasi justru berkurang, dan kita menyadarinya, pun tetap melakukannya.

Apa yang Harus Dilakukan?

Saya tidak ingin mengkhotbahi, jadi saya pikir cukup tepat bila saya hanya menceritakan pengalaman dan tanggapan saya terkait permasalahan ini. Dengan demikian, pembaca dapat menimbang-nimbang sendiri solusi atas dirinya, entah mengikuti cara saya atau tidak.

Pertanyaan esensialnya: Perlukah kita menghapus akun media sosial? Terus terang, saya tidak mempertimbangkan penghapusan akun sebagai solusi mengingat pada saat tertentu saya membutuhkannya, dan toh ada kegembiraan pula yang saya dapatkan dalam media sosial.

Kegembiraan tersebut, saya sadari penuh, bukanlah sesuatu yang alami dan berkelanjutan, melainkan artifisial dan rentan.

Justru kesadaran itulah yang membantu saya untuk senantiasa menghormati otonomi saya sendiri, dan memahami alasan serta implikasi dari pertimbangan bahwa, ketika saya berada di media sosial, saya mempunyai daya mandiri. Saya berada dalam kendali diri sendiri.

Analisis diri ini menyelaraskan kesadaran: di samping saya menyadari keberadaan saya di dunia maya, saya lebih menyadari keberadaan saya di dunia nyata. Dalam ketegangan terus-menerus antara fakta dan potensi, antara apa yang ada dan apa yang bisa ada, saya juga tanpa henti menjaga keseimbangan.

Saya berdiri di dataran fakta, tapi toh ada pengetahuan bahwa yang potensi juga mungkin teraktualisasikan tanpa mengabaikan apa yang ada. Atau ringkasnya, saya bisa berubah bila saya menghendakinya dengan tetap realistis.

Hidup bukanlah sekadar sesuatu sebagaimana kita pikirkan, merujuk pada Kierkegaard, melainkan sebagaimana kita hayati. Dan saya tidak akan membiarkan teknologi untuk mengombang-ambing pandangan dan penghayatan saya tentang hidup.

Ada banyak hal lain yang perlu dipedulikan, dan sering kali kita perlu berjalan ke luar dan sangat jauh untuk menyadari bahwa, setiap menit yang kita habiskan dengan kecewa dan cemas di media sosial sama dengan kehilangan 60 detik untuk berbahagia di dunia nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun