Literatur umum biasanya mencirikan alienasi sebagai keanehan manusia di hadapan dirinya sendiri dan aktivitasnya.
Namun, menurut hemat saya, alienasi sebagai konsep sebenarnya dapat diperluas lagi, sebab kondisi "keterasingan" senantiasa hadir di mana-mana dan menembus semua konteks interaksi sosial.
Lebih khususnya, bila alienasi Marx sebagian besar relevan dengan produksi, justru belakangan kita melihat bahwa konsumsi, terutama konsumsi teknologi, merupakan agen inti dari alienasi. Individu memandang hubungannya dengan teknologi tidak lagi masuk akal.
Oleh sebabnya, ada perbedaan penting antara konsep alienasi Marx dengan apa yang dirujuk dalam tulisan ini: pekerjaan pabrik adalah kerja upahan yang dipaksakan oleh kebutuhan ekonomi, sedangkan penggunaan teknologi, terlebih media sosial, tampaknya bersifat sukarela dan dilakukan secara bebas.
Dengan kata lain, berbeda dengan pekerja yang teralienasi karena (barangkali) bekerja atas desakan kebutuhan dan bukannya rasa suka, pengguna media sosial justru bersedia, bahkan bersemangat, untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang menguntungkan perusahaan.
Selama tidak ada yang mengganggu kebebasan mereka untuk melakukan apa pun yang ingin mereka lakukan, mereka menyukainya. Media sosial kiranya memberikan bukti bahwa orang agak toleran terhadap "eksploitasi" selama kemungkinan akan kegembiraan tetap terbuka.
(Meskipun kemungkinannya kecil.)
Mengapa Media Sosial Menyebabkan Alienasi?
Saya mengidentifikasi sedikitnya tiga alasan mengapa media sosial dapat meningkatkan perasaan keterasingan atau alienasi. Alasan pertama berhubungan dengan individu dan konsepsi diri mereka, lalu yang kedua dan ketiga berasal dari aspek sosial platform ini.
1. Media sosial memungkinkan kita untuk membangun versi ideal diri kita sendiri
Sudah umum diketahui bahwa media sosial memungkinkan kita untuk membangun diri yang artifisial dan ideal, sebab siapa pun dapat menggunakan fitur filter dan aplikasi pengedit foto untuk mendistorsi rupa wajah dan tubuh.
Kita kemudian melihat diri ideal tersebut sebagai "potensi yang tidak teraktualisasi" atau semacam cita-cita yang terasa sangat mungkin untuk diwujudkan, namun entah mengapa keadaan kita terus begini. Alih-alih gembira, kita malah menemukan sumber kecemasan lain.
Diri yang diidealkan itu diciptakan dengan cara-cara yang mudah ditebak: kita menyeleksi gambar yang akan di-post, sehingga orang-orang mempunyai kesan betapa kehidupan kita penuh pengalaman positif dan bahwa kita, tidak diragukan lagi, bangga terhadap diri sendiri.