Tetapi lucunya, sekalipun telah dibuat geram, mereka tetap memutuskan untuk berteriak "Teresa" sekali lagi sebelum akhirnya benar-benar pergi. Bahkan di kala narator berbalik jalan menuju alun-alun, seseorang tetap tinggal meneriakkan nama "Teresa".
Sang narator pun mengakhiri ceritanya dengan menyebut orang tersebut sebagai "seseorang yang keras kepala". Malahan, menurut hemat saya, dia telah menyempurnakan keterampilan yang tak berarti; sesuatu yang acapkali kita lakukan dengan mati-matian.
Jika budaya "ikut-ikutan" ini terus berlangsung, tampaknya kekhawatiran para filsuf eksistensialis menjadi semakin terang-benderang.
Dalam karyanya The Present Age (1846), Sren Kierkegaard memperingatkan bahwa umat manusia sedang menghadapi munculnya suatu zaman yang penuh dengan proses penyamarataan. Dan menariknya, saat itu belum ada internet.
Penyamarataan merujuk pada fenomena di mana individu sebagai pribadi akan ditelan oleh massa, sekaligus dihanyutkan dalam gerakan-gerakannya. Individualitas tidak dihiraukan, perbedaan kualitatif diabaikan, penghayatan subjektif dikesampingkan; yang ada hanyalah angka dan karakter kerumunan.
Dalam keadaan seperti itu, sebagaimana diperingatkan pula oleh Nikolai Berdyaev, kepentingan kuantitatif akan lebih diutamakan daripada nilai kualitatif. Massa menjadi penentu apa dan bagaimana ungkapan budaya yang boleh dan harus diterima.
Kebenaran sesungguhnya berpotensi ditutup-tutupi atas nama "mayoritas", dan bagi mereka yang berada di jalur kebenaran, keadaan demikian sudah barang tentu akan menambah frustrasi kehidupan.
"Manusia tampaknya mampu untuk menghapuskan dirinya sendiri," mengutip Karl Jaspers, "untuk kehilangan dirinya, serta mendapat kepuasan dalam keadaan tanpa kepribadian." Individu mulai terasing, bukan saja terhadap dirinya, tetapi juga terhadap orang lain dan dunianya.
Manusia kehilangan penghayatan sebagai eksistensi yang bermakna. Saya teringat kutipan dari novelis Inggris W. Somerset Maugham: "Jika lima puluh juta orang mengatakan sesuatu yang bodoh, itu tetap bodoh."
Jadi, bila selama ini kita sering bersikeras betapa diri kita diciptakan untuk menjadi bebas dan merdeka, semestinya kita juga menyadari bahwa bersama kebebasan, datang pula tanggung jawab.
Jika postulat itu saja belum disadari, kita pasti salah tentang diri kita sendiri.