Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kritik atas Masyarakat Kita dalam Cerpen "The Man Who Shouted Teresa"

13 Juli 2022   05:30 Diperbarui: 13 Juli 2022   07:14 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekarang lima orang lainnya memasuki ruangan; mereka semua adalah aktor yang tidak diketahui oleh subjek. Satu demi satu dari mereka memberikan jawaban yang salah dengan mengatakan "nomor 1", meskipun sangat jelas bahwa nomor 3 adalah jawaban yang benar.

Kemudian giliran subjek lagi. Dalam sepertiga kasus, secara mengejutkan, subjek menjawab salah karena terdorong untuk mencocokkan jawaban dengan yang lain.

Kealpaan semacam itulah yang kerap dimanfaatkan perusahaan dengan mengklaim produknya bermutu tinggi karena "paling populer". Padahal logikanya, bagaimana suatu produk menjadi lebih baik hanya karena menjual unit paling banyak?

Tentu, bila ditarik kembali pada masa nenek moyang, logika "ikut-ikutan" semacam itu bisa sangat bermanfaat.

Bayangkan kita menjadi salah satu dari mereka, dan saat hari sudah gelap kita harus mencari kayu bakar, ada baiknya kita tetap mengikuti kelompok supaya merasa aman dan mampu melawan binatang buas kalau datang menerkam.

Namun dalam konteks hari ini, rasa aman itu kiranya perlu didasarkan pada penilaian kritis kita sendiri, bukan atas dasar "ikut-ikutan", apalagi sampai melepaskan tanggung jawab terhadap dampaknya.

Dengan begitulah hendak ditegaskan bahwa orientasi utamanya bukan lagi soal perasaan aman, melainkan kebenaran dan kebaikan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Sesudah itu, barulah kita dapat memperoleh rasa aman yang sesungguhnya.

Apabila rasa aman terus-menerus dijadikan faktor pertama dan utama, bukannya "efek samping", maka yang tercipta adalah absurditas.

Sebagaimana dilukiskan Calvino dalam "The Man Who Shouted Teresa", orang-orang yang mengikuti perilaku kerumunan, meskipun disangkanya perbuatan baik karena membantu narator memanggil Teresa, sering kali hanyalah kesia-siaan dan ketidakberartian belaka.

Lebih absurdnya, ketika kemudian kita menyadari bahwa apa yang kita lakukan adalah keliru dan tidak dapat dipertanggungjawabkan, kita tetap mengulanginya lagi atas dasar kesenangan atau semata-mata hanya iseng.

Dalam cerpen tersebut, setelah narator memberitahukan bahwa dia tidak punya alasan sama sekali untuk meneriakkan "Teresa", semua orang memang pergi dengan kecewa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun