Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kritik atas Masyarakat Kita dalam Cerpen "The Man Who Shouted Teresa"

13 Juli 2022   05:30 Diperbarui: 13 Juli 2022   07:14 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masyarakat kita sering berpindah dari satu tren ke tren lainnya, dan itu menimbulkan masalah | Ilustrasi oleh Mailtotobi via Pixabay

Massifikasi, di mana masyarakat menjadi kumpulan orang yang tanpa pemikiran dan mudah dimanipulasi, tampaknya akan menjadi hantu yang terus membayangi zaman kita, seiring dengan melesatnya perkembangan teknologi dan pemujaan berlebihan terhadap gaya hedonis.

Fenomena demikian jelas mengancam ketunggalan manusia sebagai persona. Atau ringkasnya, anonimitas akan selamanya mencorakkan masyarakat kita bila tidak diadakan perubahan.

Cerita pendek "The Man Who Shouted Teresa" karya Italo Calvino menggambarkan permasalahan tersebut dengan elegan. Kendati begitu singkat dan sederhana, justru memang di situlah letak seninya: pembaca dibiarkan untuk menafsir dan merenung lebih lanjut.

Karangan ini menceritakan seorang pria (sudut pandang orang pertama) yang berdiri di tepian trotoar, dalam sorotan cahaya bulan, lalu meneriakkan nama "Teresa" ke atas gedung.

Seseorang melintas dan lalu menghampiri sang narator untuk membantunya berteriak. Mereka memasang aba-aba, lantas berteriak secara serempak, memanggil nama seseorang yang masih belum juga muncul dari jendela gedung.

Hari semakin gelap, tetapi jumlah mereka semakin banyak: hampir dua puluh orang! Dan orang-orang baru terus berdatangan, ikut bergabung untuk meneriakkan nama "Teresa".

Setelah mengatur strategi dan mengorganisasikan diri dengan susah payah, orang yang diteriakkan namanya itu tidak kunjung muncul dari jendela gedung, bahkan tidak dari mana pun. Pada akhir cerita, kita diberitahu bahwa Teresa (mungkin) memang tidak pernah ada.

Ketika sang narator ditanya mengapa dia memanggil-manggil Teresa, jawabannya cukup menjengkelkan: "Setahuku, kita sebenarnya bisa memanggil nama lain, atau mencobanya di mana saja. Itu tidak jadi masalah."

Cerpen Calvino ini, di satu sisi, rasanya merupakan sindiran telak bagi masyarakat kita yang sering mengembangkan budaya "ikut-ikutan". Kecepatan transfer informasi yang kita nikmati nyatanya lebih sering memunculkan tren-tren yang anomali; sesuatu yang diiyakan dan diikuti begitu saja.

Tentu apa yang dipermasalahkan di sini bukanlah keputusan masing-masing orang untuk mengikuti perilaku kerumunan (baca: tren), toh tidak berdasar pula bila bermaksud mencampuri kebebasan orang.

Hal yang dituntut adalah kesediaan setiap orang untuk bertanggung jawab atas tindakan dan keputusannya, terutama jika perbuatan yang dimaksud menyangkut atau melibatkan orang lain.

Beberapa contoh dapat diuraikan, salah satunya adalah kasus yang belakangan ramai terkait seorang mantan menteri yang diperiksa kepolisian karena mengunggah sebuah meme stupa candi mirip wajah Presiden.

Betapa pun beliau mengaku bukan sebagai pengunggah pertama, itu tidak berarti banyak. Sebab yang dituntut adalah pertanggungjawaban beliau tentang mengapa meme tersebut turut disebarkan.

Sama seperti orang-orang dalam cerpen Calvino: ketika akhirnya mereka merasa dirugikan dan dikecewakan oleh narator yang memanggil-manggil Teresa, sebenarnya hal pertama yang mesti dipersoalkan bukanlah mengapa sang narator berteriak iseng, melainkan mengapa mereka sendiri mengikutinya begitu saja.

Penelaahan kita terhadap fenomena demikian, lebih jauhnya, hendak mempersoalkan daya kritis kita saat menanggapi sesuatu, terutama berhubungan dengan rupa-rupa hal yang diikuti banyak orang.

Jika dikesankan secara kasar, kita menjadi seperti mesin otomatis yang berkesadaran. Fakta bahwa kesadaran kita hadir seutuhnya, toh tetap "keputusan otomatis" yang lebih mengendalikan perilaku dan keputusan kita terhadap sejumlah hal.

Keputusan otomatis yang dimaksud, bila perlu dijabarkan, merupakan sebentuk keyakinan spontan bahwa apa yang diikuti banyak orang adalah benar, sehingga kita merasa aman-aman saja dan tidak harus mempertanyakannya lebih jauh.

Gaya berpikir demikian sebenarnya merupakan sebuah bias kognitif yang lazim disebut "herd instinct" atau "social proof". Sederhananya, seseorang merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah benar kalau orang lain juga melakukannya.

Psikolog Solomon Asch pernah melakukan eksperimen sederhana pada 1951, yang hasilnya menunjukkan bagaimana tekanan teman sebaya dapat merusak akal sehat.

Subjek diperlihatkan sebuah garis yang digambar di atas kertas, dan di sebelahnya terdapat tiga garis: nomor satu lebih pendek, nomor dua lebih panjang, dan nomor tiga sama panjangnya dengan yang asli.

Subjek diperintahkan untuk memilih dari tiga garis tersebut, mana yang sesuai dengan yang asli. Ketika orang itu sendirian di dalam ruangan, dia memberikan jawaban yang benar, karena tugasnya pun sangat sederhana.

Sekarang lima orang lainnya memasuki ruangan; mereka semua adalah aktor yang tidak diketahui oleh subjek. Satu demi satu dari mereka memberikan jawaban yang salah dengan mengatakan "nomor 1", meskipun sangat jelas bahwa nomor 3 adalah jawaban yang benar.

Kemudian giliran subjek lagi. Dalam sepertiga kasus, secara mengejutkan, subjek menjawab salah karena terdorong untuk mencocokkan jawaban dengan yang lain.

Kealpaan semacam itulah yang kerap dimanfaatkan perusahaan dengan mengklaim produknya bermutu tinggi karena "paling populer". Padahal logikanya, bagaimana suatu produk menjadi lebih baik hanya karena menjual unit paling banyak?

Tentu, bila ditarik kembali pada masa nenek moyang, logika "ikut-ikutan" semacam itu bisa sangat bermanfaat.

Bayangkan kita menjadi salah satu dari mereka, dan saat hari sudah gelap kita harus mencari kayu bakar, ada baiknya kita tetap mengikuti kelompok supaya merasa aman dan mampu melawan binatang buas kalau datang menerkam.

Namun dalam konteks hari ini, rasa aman itu kiranya perlu didasarkan pada penilaian kritis kita sendiri, bukan atas dasar "ikut-ikutan", apalagi sampai melepaskan tanggung jawab terhadap dampaknya.

Dengan begitulah hendak ditegaskan bahwa orientasi utamanya bukan lagi soal perasaan aman, melainkan kebenaran dan kebaikan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Sesudah itu, barulah kita dapat memperoleh rasa aman yang sesungguhnya.

Apabila rasa aman terus-menerus dijadikan faktor pertama dan utama, bukannya "efek samping", maka yang tercipta adalah absurditas.

Sebagaimana dilukiskan Calvino dalam "The Man Who Shouted Teresa", orang-orang yang mengikuti perilaku kerumunan, meskipun disangkanya perbuatan baik karena membantu narator memanggil Teresa, sering kali hanyalah kesia-siaan dan ketidakberartian belaka.

Lebih absurdnya, ketika kemudian kita menyadari bahwa apa yang kita lakukan adalah keliru dan tidak dapat dipertanggungjawabkan, kita tetap mengulanginya lagi atas dasar kesenangan atau semata-mata hanya iseng.

Dalam cerpen tersebut, setelah narator memberitahukan bahwa dia tidak punya alasan sama sekali untuk meneriakkan "Teresa", semua orang memang pergi dengan kecewa.

Tetapi lucunya, sekalipun telah dibuat geram, mereka tetap memutuskan untuk berteriak "Teresa" sekali lagi sebelum akhirnya benar-benar pergi. Bahkan di kala narator berbalik jalan menuju alun-alun, seseorang tetap tinggal meneriakkan nama "Teresa".

Sang narator pun mengakhiri ceritanya dengan menyebut orang tersebut sebagai "seseorang yang keras kepala". Malahan, menurut hemat saya, dia telah menyempurnakan keterampilan yang tak berarti; sesuatu yang acapkali kita lakukan dengan mati-matian.

Jika budaya "ikut-ikutan" ini terus berlangsung, tampaknya kekhawatiran para filsuf eksistensialis menjadi semakin terang-benderang.

Dalam karyanya The Present Age (1846), Sren Kierkegaard memperingatkan bahwa umat manusia sedang menghadapi munculnya suatu zaman yang penuh dengan proses penyamarataan. Dan menariknya, saat itu belum ada internet.

Penyamarataan merujuk pada fenomena di mana individu sebagai pribadi akan ditelan oleh massa, sekaligus dihanyutkan dalam gerakan-gerakannya. Individualitas tidak dihiraukan, perbedaan kualitatif diabaikan, penghayatan subjektif dikesampingkan; yang ada hanyalah angka dan karakter kerumunan.

Dalam keadaan seperti itu, sebagaimana diperingatkan pula oleh Nikolai Berdyaev, kepentingan kuantitatif akan lebih diutamakan daripada nilai kualitatif. Massa menjadi penentu apa dan bagaimana ungkapan budaya yang boleh dan harus diterima.

Kebenaran sesungguhnya berpotensi ditutup-tutupi atas nama "mayoritas", dan bagi mereka yang berada di jalur kebenaran, keadaan demikian sudah barang tentu akan menambah frustrasi kehidupan.

"Manusia tampaknya mampu untuk menghapuskan dirinya sendiri," mengutip Karl Jaspers, "untuk kehilangan dirinya, serta mendapat kepuasan dalam keadaan tanpa kepribadian." Individu mulai terasing, bukan saja terhadap dirinya, tetapi juga terhadap orang lain dan dunianya.

Manusia kehilangan penghayatan sebagai eksistensi yang bermakna. Saya teringat kutipan dari novelis Inggris W. Somerset Maugham: "Jika lima puluh juta orang mengatakan sesuatu yang bodoh, itu tetap bodoh."

Jadi, bila selama ini kita sering bersikeras betapa diri kita diciptakan untuk menjadi bebas dan merdeka, semestinya kita juga menyadari bahwa bersama kebebasan, datang pula tanggung jawab.

Jika postulat itu saja belum disadari, kita pasti salah tentang diri kita sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun