Tentu dalam hal ini, kita dapat membaca sindiran telak Camus terhadap kinerja pengadilan yang serba-rutin dan serba-tata-cara, tapi tak benar-benar melihat permasalahan kejahatan secara adil.
Novel ini juga mengungkapkan keprihatinan Camus terhadap hukuman mati. Dalam karya Camus lainnya, kita dapat membaca betapa dia sangat mengagumi dan menghormati manusia, sedangkan hukuman mati meniadakan semua nilai manusia.
Camus adalah filsuf untuk sebuah dunia penuh cahaya, di mana cinta pada hidup membuat kita lupa pada keputusasaan yang menggerogotinya.
Novel Orang Asing bisa dibilang mengawali gagasan besar Camus mengenai absurditas. Misalnya, kita dapat menilik sikap Meursault itu sendiri yang tidak berminat untuk meminta macam-macam pada kehidupan.
Rasa absurd muncul saat manusia bertanya tentang makna keberadaannya di muka bumi, tetapi semesta terus membisu; tak ada jawaban.
Karena jawaban yang make sense tidak ada, mau tidak mau kita mesti mengandaikan bahwa jawaban yang dicari memanglah tidak ada. Pertanyaan "mengapa" dan "untuk apa" adalah tanpa jawaban.
Manusia lantas masuk dalam kepolosan inosen, tiba-tiba menjadi "asing" karena belum pernah merasakan dunia seperti itu. Semua menjadi setara, sama saja. Absurditas yang inosen, menurut Camus, memberi rasa bebas pada manusia, sebuah kebebasan yang tanpa tuntutan ini-itu.
Inilah mengapa tokoh Meursault, dalam tafsir saya, tampak seperti tidak berperasaan, semacam robot berkesadaran yang nihil emosi. Sebenarnya tidak, Meursault adalah seseorang yang menyadari absurditas dunia.
Buktinya, dia tetap merasa marah, jengkel, dan tertarik pada hal-hal tertentu, tetapi karena segalanya terkesan sepele baginya, dia kemudian terlihat seperti tanpa perasaan. Meursault memiliki nilai-nilai, tetapi dia tidak memedulikan hierarkinya. Semua setara, semua sama saja.
Menjelang akhir novel, ketika Meursault dan seorang pendeta mendiskusikan nasibnya, Meursault menjadi marah dan menolak saran pendeta bahwa dia akan diadili oleh Tuhan atas kejahatannya.
Bagi saya, kejengkelan Meursault kepada pendeta bukan disebabkan sikapnya yang arogan dan penuh kebencian. Meursault hanya sadar bahwa dirinya akan dihukum mati, sehingga dia hanya ingin menikmati apa yang tersisa: langit kelabu penuh bintang dan bebatuan yang sepi.