Albert Camus, khususnya di Indonesia, banyak dicitrakan sebagai pembawa suara moral, dan suara moral yang dibawakan Camus terasa sangat memikat karena pada dasarnya dia mengusung sebuah afirmasi baru ke dalam eksistensi kita, di tengah kekacauan arah dan arti.
Dalam segi tertentu, Camus kembali meneguhkan nilai-nilai yang secara luas dan tradisional diterima, sebab bila hidup terus-menerus diiringi ketidakjelasan dan keruwetan, gagasan Camus tentang Absurdisme tampak akan selamanya relevan.
Lahir dalam kemiskinan di Aljazair kolonial, Camus memulai kariernya sebagai jurnalis yang meliput pengadilan pidana. Pengadilan pembunuhan yang dihadirinya pada suatu waktu, besar kemungkinan, menjadi pengaruh besar pada pengembangan dan fondasi utama novel monumentalnya, Orang Asing (Prancis: L'Etranger).
Novel gelap inilah yang menandai masuknya Albert Camus ke tengah orbit penulis di Paris, yang kemudian hari dianugerahi penghargaan Nobel sastra.
Saya sebenarnya membaca novel ini sekitar setahun yang lalu, tetapi saya membacanya ulang karena kesan pertama saya terhadap narasi Camus dalam novel ini begitu kuat, sehingga muncul kerinduan untuk merasakannya sekali lagi, dan mungkin sekali lagi di lain waktu.
Praduga-praduga saya yang meluap sepanjang cerita, ketika pertama kali membacanya, tidak banyak meleset, namun sering dipatahkan oleh reaksi tokoh protagonis, Meursault, yang begitu datar, acuh tak acuh, dan tiba-tiba menarik simpati.
Bisa dibilang, Orang Asing diisi dengan simbol berlapis-lapis dan diucapkan melalui gaya penulisan Camus yang lugas. Dia menggunakan bahasa kiasan yang minimal sehingga lebih sering langsung merujuk ke titik apa yang Meursault rasakan (atau tidak rasakan).
Baca juga: Machiavelli dan Wajah Buruk PolitikKendati begitu, kemahiran lirisisme Camus tetaplah brilian.
Sejak kalimat pembuka, kita sudah dapat menilik contohnya. Novel The Stranger (1942) diawali dengan aneh: "Hari ini ibuku meninggal. Atau mungkin kemarin, aku tidak tahu."
Pikiran tersebut sangat langsung dan merupakan refleksi dari keseluruhan narasi Meursault (sudut pandang orang pertama). Dia tak ragu untuk mengatakan apa yang dipikirkannya; sama sekali tak mencoba untuk menyamarkan narasinya dengan bahasa atau kualifikasi yang sembrono.
Dengan demikian, sedikitnya kita dapat menyimpulkan bahwa Meursault adalah tokoh "anti-hero" yang menghidupi absurditas dan pemberontakan (dua kata kunci penting dalam filsafat Albert Camus).
Kala itu, gaya demikian memperlihatkan suatu pembaruan dalam penulisan sastra Prancis, yang secara umum mereka sebut litterature bourgeoise karena banyak menceritakan tokoh borjuis mapan. Sedangkan Camus justru menampilkan seorang rakyat jelata.
Pembaruan juga terjadi dalam hal bahasa. Kalimat-kalimatnya pendek, bukan kalimat panjang yang lazim terkandung dalam kesusastraan Prancis. Novel Orang Asing juga tak begitu sering menggunakan kata penghubung, sehingga Sartre menyebutnya "terpulau-pulau".
Orang Asing mengandung tema-tema kuat secara konsisten, namun jelas, keasingan mendominasi keseluruhan cerita.
Meursault terlihat asing dalam segala hal. Dia bukan hanya seorang asing di Aljazair, tetapi juga asing terhadap kebudayaan, dunia, waktu, dan bahkan asing terhadap dirinya sendiri. Oleh sebabnya, gaya "tidak peduli" dalam novel ini membuatnya seperti tulisan telanjang yang berakhir dengan skandal.
Barangkali hanya sedikit hal yang tampaknya begitu akrab bagi Meursault (dan kiranya merepresentasikan Camus sendiri): suasana laut dan guyuran matahari.
Nahas, pantai dan matahari pula yang kemudian menggiring Meursault ke dalam malapetaka, sebab dia menembak seorang Arab di bawah terik matahari, di atas kelembutan dataran pasir.
Keakraban tersebut tampaknya juga menjadikan pantai dan matahari sebagai sesuatu yang asing, pada akhirnya. Matahari yang membuat tokoh utama dijatuhi hukuman mati (dan itu memang dijadikan dalih saat persidangan) seolah melambangkan "takdir" bagi kehidupannya.
Dan takdir terus-menerus membayangi Meursault yang peka terhadap pikiran dan peristiwa-peristiwa yang dialaminya, dalam kaitannya dengan orang lain dan semesta.
Jadi, kalau akhirnya Meursault dihukum mati, itu bukan karena dia berniat membunuh orang Arab di pantai, tetapi lebih karena sengatan matahari yang menyilaukan matanya dan sikap dia yang tak peduli seperti mati rasa.
Proposisi tersebut juga terang-benderang dalam persidangannya, bahwa penuntut lebih banyak mengungkit sikap Meursault yang tidak menangis saat menghadiri pemakaman ibunya daripada perkara tuduhan Meursault sendiri yang membunuh seorang Arab.
Tentu dalam hal ini, kita dapat membaca sindiran telak Camus terhadap kinerja pengadilan yang serba-rutin dan serba-tata-cara, tapi tak benar-benar melihat permasalahan kejahatan secara adil.
Novel ini juga mengungkapkan keprihatinan Camus terhadap hukuman mati. Dalam karya Camus lainnya, kita dapat membaca betapa dia sangat mengagumi dan menghormati manusia, sedangkan hukuman mati meniadakan semua nilai manusia.
Camus adalah filsuf untuk sebuah dunia penuh cahaya, di mana cinta pada hidup membuat kita lupa pada keputusasaan yang menggerogotinya.
Novel Orang Asing bisa dibilang mengawali gagasan besar Camus mengenai absurditas. Misalnya, kita dapat menilik sikap Meursault itu sendiri yang tidak berminat untuk meminta macam-macam pada kehidupan.
Rasa absurd muncul saat manusia bertanya tentang makna keberadaannya di muka bumi, tetapi semesta terus membisu; tak ada jawaban.
Karena jawaban yang make sense tidak ada, mau tidak mau kita mesti mengandaikan bahwa jawaban yang dicari memanglah tidak ada. Pertanyaan "mengapa" dan "untuk apa" adalah tanpa jawaban.
Manusia lantas masuk dalam kepolosan inosen, tiba-tiba menjadi "asing" karena belum pernah merasakan dunia seperti itu. Semua menjadi setara, sama saja. Absurditas yang inosen, menurut Camus, memberi rasa bebas pada manusia, sebuah kebebasan yang tanpa tuntutan ini-itu.
Inilah mengapa tokoh Meursault, dalam tafsir saya, tampak seperti tidak berperasaan, semacam robot berkesadaran yang nihil emosi. Sebenarnya tidak, Meursault adalah seseorang yang menyadari absurditas dunia.
Buktinya, dia tetap merasa marah, jengkel, dan tertarik pada hal-hal tertentu, tetapi karena segalanya terkesan sepele baginya, dia kemudian terlihat seperti tanpa perasaan. Meursault memiliki nilai-nilai, tetapi dia tidak memedulikan hierarkinya. Semua setara, semua sama saja.
Menjelang akhir novel, ketika Meursault dan seorang pendeta mendiskusikan nasibnya, Meursault menjadi marah dan menolak saran pendeta bahwa dia akan diadili oleh Tuhan atas kejahatannya.
Bagi saya, kejengkelan Meursault kepada pendeta bukan disebabkan sikapnya yang arogan dan penuh kebencian. Meursault hanya sadar bahwa dirinya akan dihukum mati, sehingga dia hanya ingin menikmati apa yang tersisa: langit kelabu penuh bintang dan bebatuan yang sepi.
"Ia masih ingin berbicara mengenai Tuhan," mengutip Orang Asing, "tetapi aku maju ke arahnya, dan aku berusaha menerangkan untuk yang terakhir kali bahwa waktuku tinggal sedikit. Aku tidak ingin waktu itu hilang karena soal Tuhan."
Tentu, novel ini tidak memaparkan gagasan lengkap Camus mengenai Absurdisme, khususnya terkait bagaimana sikap kita semestinya dalam menghadapi absurditas hidup. Kita mesti melanjutkan langkah menuju karya monumental lainnya dari Camus, yaitu Le Mythe de Sisyphe (Mitos Sisifus).
Tetapi setidaknya, novel ini menerangkan pada kita tentang pandangan Camus terhadap realitas manusia. Tulis Meursault:
"Aku berpikir bahwa hari Minggu telah lewat, bahwa saat ini Ibu telah dikuburkan, dan bahwa aku akan melanjutkan pekerjaanku, dan bahwa, secara ringkas, tak ada yang berubah."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H