Tentu saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa segala kemalangan atau keburukan adalah selalu hasil kesalahan kita sendiri dan bukannya sesuatu di luar diri kita. Jika demikian, situasi yang terjadi tetap sama buruknya.
Pengetahuan tentang self-serving bias setidaknya hendak mengatakan kepada kita bahwa, lebih baik berfokus pada apa yang dapat dikendalikan dan diubah daripada meratapi apa yang tak terjangkau oleh kontrol kita.
Pada momen-momen di mana kita harus membuat keputusan penting, entah kemudian kita berhasil atau gagal, selalu diperlukan ruang untuk mengkritisi diri sendiri.
Bukan demi kegeniusan atau hal-hal serupa, tetapi saya pikir cukuplah sebagai kesadaran bahwa tak peduli sebaik apa pun hasil yang kita peroleh, selalu ada ruang kosong dalam diri kita yang perlu dikembangkan dan titik-titik cacat yang perlu diperbaiki.
Karena jika yang paling memungkinkan adalah mengendalikan diri sendiri, kebijaksanaan apa lagi yang dapat kita lakukan selain itu?
Self-serving bias sangat membatasi potensi dan kemampuan pribadi kita untuk berhubungan dengan yang lain.
Akan tetapi, berkat kemampuan manusia yang unik dalam hal kesadaran diri, kita dapat memeriksa anggapan kita untuk menentukan apakah anggapan tersebut didasarkan pada realitas, atau prinsip, ataukah hanya merupakan fungsi dari kondisi dan pengkondisian.
"Kita, orang-orang yang paham," mengutip Nietzsche, "tidak memahami diri kita sendiri." Perlu diakui, menyadari fenomena self-serving bias itu sendiri tidak serta-merta membuat kita mudah untuk menghindarinya.
Tapi toh pengetahuan tentangnya tetap akan menimbulkan getaran tertentu pada diri kita, semacam "self-alarm" bahwa sebelum mengatakan apa-apa terkait segala hal di luar diri kita, ada baiknya kita pertama-tama memeriksa dan merefleksikan diri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H