Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Le Petit Prince dan Pengaruh Kekuasaan dalam Keseharian Kita

6 April 2022   13:56 Diperbarui: 6 April 2022   14:02 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ada satu poin minor dari novel Le Petit Prince yang dapat membantu kita memahami cara kerja kekuasaan | Ilustrasi via Kingsplace.co.uk

Sebagai orang dewasa, setidaknya menurut ukuran usia, novel Le Petit Prince mengingatkan saya akan masa kecil yang penuh kepolosan dan kemurnian. Namun, seiring saya melekat dengan komunitas sosial dan diyakinkan tentang berbagai hal, kemurnian tersebut terus memudar, digantikan oleh pemahaman yang muram perihal huru-hara kehidupan.

Le Petit Prince (terj. Pangeran Cilik) merupakan karangan Antoine de Saint-Exupry selama pengasingannya di Amerika antara tahun 1941 sampai 1943. Kabarnya, novel ini telah diterjemahkan ke dalam 300 bahasa dan laku terjual sekitar 200 juta kopi di seluruh dunia, sekaligus menjadikannya sebagai salah satu buku terlaris sepanjang sejarah penerbitan.

Kisah Pangeran Cilik, sekurang-kurangnya, mewakili keterbukaan pikiran anak-anak yang berlawanan dengan pikiran orang-orang dewasa: naif dan terkotak-kotak. Dalam banyak titik, Saint-Exupry menggambarkan kepolosan anak-anak yang dipenuhi keingintahuan dan tanpa keraguan untuk terlibat dalam misteri alam semesta.

Perlu diakui bahwa sepanjang novel tersebut, pembaca dibawa pada suatu dilema yang sebenarnya tidak begitu penting, tetapi terus mengganjal hingga kalimat terakhir: apakah novel itu diperuntukkan untuk anak-anak atau orang dewasa?

Gaya bahasanya yang ringan sekaligus megah menyiratkan kepiawaian pengarang dalam membubuhkan kata-kata sederhana untuk mewakili makna yang lebih rumit. Dengan demikian, tidak ada salahnya bila kita menganggap novel tersebut sangat relevan bagi semua usia dan tak lekang oleh waktu.

Akan tetapi, terlepas dari banyaknya nilai yang disiratkan Saint-Exupry, ada satu bagian yang sangat memikat saya dan cukup lama hinggap menetap dalam pikiran. Bagian yang dimaksud adalah ekspedisi pertama Pangeran Cilik ke Asteroid 325.

Asteroid tersebut didiami oleh seorang raja yang mengenakan jubah merah berpinggiran bordir bulu putih, sembari bersemayam di sebuah singgasana yang sederhana sekaligus menawan. Dia tidak memiliki seorang rakyat pun sampai kedatangan Pangeran Cilik.

Tokoh ini merefleksikan bagaimana seorang penguasa tidak menerima ketidakpatuhan dan ingin agar kekuasaannya senantiasa disanjung. "... dunia lebih sederhana bagi raja-raja: semua orang adalah rakyatnya," tulis Saint-Exupry.

Sang raja bukan saja bersikap licik dan irasional, tetapi kita juga mendapatkan kesan betapa konyolnya dia. "Tentu saja," titah Raja, "mereka menuruti perintahku dengan segera. Aku tidak mentolerir sikap kurang disiplin."

Gagasan tersebut, jika diperinci lebih dalam, dapat membawa kita pada pertanyaan tentang bagaimana kekuasaan bekerja dan memengaruhi keseharian kita, serta mengapa pemahaman terhadapnya begitu penting untuk dipedulikan.

Memang, menghubungkan antara kekuasaan dengan Le Petit Prince adalah sesuatu yang aneh, sebab gagasan perihal kekuasaan hanyalah poin minor yang bahkan tidak banyak diperhatikan dari novel tersebut.

Tetapi, saya berasumsi bahwa elemen mikro yang dimaksudkan memiliki relevansi kuat dengan apa yang kita alami sehari-hari, sehingga kesadaran kita tentangnya akan membantu beberapa hal untuk dilihat secara lebih jernih.

Kekuasaan Ada di Mana-mana

Michel Foucault, seorang filsuf krusial di era post-modernisme, beranggapan bahwa "kekuasaan ada di mana-mana: bukan karena ia mencakup segalanya, tetapi karena ia berasal dari mana-mana." Dengan begitu, kekuasaan tidak eksklusif berada di tangan institusi atau pejabat tertentu.

Menurutnya, kekuasaan tersebar dan diwujudkan dalam wacana, pengetahuan, serta "rezim kebenaran". Jika betul demikian, maka semestinya kita lebih peka terhadap cara kerja kekuasaan dan bagaimana keseharian kita banyak dipengaruhi olehnya.

Salah satu watak kekuasaan yang terlukiskan dalam novel Le Petit Prince adalah bahwa ia selalu ingin dibenarkan, karena toh jika ia "membawahi" yang lain, maka sudah sepatutnya yang dikuasai itu menganggukkan kepala.

Hal tersebut tercermin dalam dialog antara Raja dengan Pangeran Cilik. Semua perintah Raja, pada dasarnya, hanya diucapkan ketika sesuatu akan terjadi dan bukannya karena sesuatu itu diperlukan.

Dia menggerakkan hal-hal yang memang sudah bergerak, termasuk memberhentikan hal-hal yang telah berhenti.

Dalam narasinya, "Setiap orang harus diminta apa yang dapat ia berikan. Kekuasaan berasaskan akal. Jika kamu menyuruh rakyatmu menceburkan diri ke laut, mereka akan memberontak. Aku berhak menerima kepatuhan, sebab perintah-perintahku masuk akal."

Apa yang dimaksudnya dengan masuk akal? Sesederhana Pangeran Cilik tidak tahan menguap, dan lalu Raja memerintahkannya untuk menguap (lagi). Dengan begitu, kepatuhan bukanlah sesuatu yang sulit untuk dilakukan, meskipun berdasarkan logika yang paling sederhana, perintah tersebut tidak bernilai apa-apa.

Di sini, kita bisa melihat betapa penguasa itu membutuhkan legitimasi agar kekuasaannya "tahan-banting". Dan memang dalam praktiknya, upaya meraih pengakuan tersebut banyak dilakukan dengan cara yang sewenang-wenang tanpa memperhitungkan imbasnya secara luas.

Hal tersebut sebenarnya dapat kita temukan dengan mudah dalam keseharian kita. Misalnya, berita-berita bohong atau adu domba yang dibuat oleh kelompok tertentu demi pencitraan telah membentuk realitas palsu dalam diri masyarakat, sehingga beberapa hal yang terkait dengannya dipercaya begitu saja tanpa pertanyaan apa pun.

Dengan kekuasaan, mereka memiliki jalan mudah untuk melakukan propaganda tertentu, dan kita sebagai konsumen informasi, kebanyakan, terpikat supaya membenarkan wacana mereka, biasanya dengan angan-angan yang sepertinya akan memudahkan kehidupan kita.

Saya tidak bermaksud menyudutkan siapa pun, sebab poin saya adalah, lihat betapa kekuasaan ada di sekitar kita dan acapkali disikapi dengan begitu naif sehingga, secara tidak langsung, kita bersikap sukarela untuk dihegemoni.

Seperti yang dikatakan Carl Sagan, "Salah satu pelajaran yang paling menyedihkan dalam sejarah adalah ini: Jika kita telah ditipu cukup lama, kita cenderung menolak bukti apa pun tentang penipuan itu. Kita tidak lagi tertarik untuk mencari tahu kebenarannya.

Bambu telah menangkap kita. Terlalu menyakitkan untuk mengakui, bahkan kepada diri kita sendiri, bahwa (kebebasan) kita telah direnggut. Setelah Anda memberikan kekuasaan kepada penipu atas diri Anda, Anda hampir tidak akan pernah mendapatkan kekuasaan itu kembali."

Tujuan utama saya, dengan demikian, adalah membuat kita tersadar bahwa dalam beberapa hal yang membuat kita lemah dan menderita, ada kekuasaan di luar diri kita yang terselubung dengan begitu halus sehingga kebanyakan dari kita tidak menyadarinya.

Kekuasaan, seperti yang digagas Foucault, melampaui dunia politik dan justru disosialisasikan serta diwujudkan dalam fenomena sehari-hari. Karenanya hal-hal tertentu yang membuat kita mandek dan tidak bebas patut dicurigai sebagai dampak dari kekuasaan yang tidak kita kehendaki.

Misalnya, saya mulai dengan fenomena yang terang-benderang tetapi cukup tabu bila disinggung, yaitu tentang keberadaan komunisme di Indonesia. Umumnya, jika masyarakat kita mendengar atau mengucapkan kata itu saja, muncul perasaan tidak aman dan keragu-raguan.

Apakah karena komunisme bertanggung jawab atas peristiwa kelam di Indonesia beberapa tahun pasca-kemerdekaan? Tidak sesederhana itu, karena toh laporan yang kita dapatkan cukup bermacam-macam sehingga mungkin saja "fakta sejarah" yang kita yakini selama ini hanyalah sesuatu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Tentu ini juga berkaitan dengan kerumitan menggali sumber-sumber objektif tentang peristiwa di masa lampau, tetapi lebih-lebih lagi, ini adalah tentang pikiran kita yang secara otomatis mengaitkan komunisme dengan pertumpahan darah dan paham ateis.

Perlu diakui bahwa hidup di bawah rezim demokrasi, paradigma semacam itu bukanlah sesuatu yang nyaman bagi pikiran kita. Dalam artian, kita menjadi tidak bebas dalam membuka cakrawala pengetahuan, sebab kita sendiri sudah mengurung diri dalam kotak "anti-komunisme".

Apabila kita menelusuri jejak sejarah tentang mengapa masyarakat kita, tentu tidak semua, mengutuk paham komunisme, bahkan tanpa pernah tahu apa itu komunisme sebenarnya, barangkali kita dapat mencurigai propaganda kekuasaan kala itu sebagai titik mulanya.

Contoh tentang komunisme kiranya terlalu berat untuk dibicarakan, meskipun dengan begitu saya menjadikannya cukup jelas. Jadi contoh berikutnya akan mengakar pada sesuatu yang agak-agaknya lebih ringan.

Misalnya pemahaman kita tentang pendidikan. Sebenarnya kita percaya bahwa kesuksesan karier seseorang tidak ditentukan oleh tinggi-rendahnya jenjang pendidikan, tapi toh kita tetap merasa tertekan untuk bisa masuk perguruan tinggi unggulan dan lulus dengan nilai besar.

Kita dibelenggu oleh berbagai paradigma yang, jika mudah untuk terus-terang, tidak kita kehendaki. Kita terikat oleh bermacam-macam sistem yang sesungguhnya membuat kita menderita, tetapi kita merasa tidak berdaya atau tidak punya hak untuk menolaknya.

Di situlah pengaruh kekuasaan yang dengan sendirinya merayap masuk ke dalam pikiran kita, seolah-olah apa yang ada adalah kondisi default yang tidak bisa ditolak atau bahkan diubah. Kita menerima semua sistem itu sebagai mainstream yang normal, dan justru apabila kita menentangnya, kita percaya kita tidak waras.

Bagi saya, dan ini memang berdasarkan pengalaman pribadi, ada satu hegemoni terjahat yang selama beberapa tahun mendorong saya ke dalam kesibukan yang sia-sia, yaitu sistem pendidikan kita yang secara diam-diam membunuh kreativitas pelajar.

Sejak pertama merasakan sekolah formal hingga saat ini, saya mendapatkan kesan bahwa pelajar (termasuk mahasiswa) tidak begitu dibiarkan untuk memiliki banyak waktu luang karena curiga akan disia-siakan, dan bahwa melamun itu bukanlah sesuatu yang bagus untuk masa depan pelajar.

Dengan anggapan begitu, maka seabrek tugas pun dibebankan.

Memang perlu diakui, secara empirik, pelajar kita belum mampu memanfaatkan waktu-waktu di luar kelas untuk belajar atau mengembangkan bakatnya. Tetapi masalahnya, sejak kecil pun mereka memang tidak dididik dan diarahkan untuk melakukan hal yang demikian.

Kekuasaan yang dipegang orangtua dan lembaga pendidikan atas tumbuh-kembang anak-anak melahirkan tanggung jawab yang sangat besar. Namun kelihatannya, hal itu tidak berjalan sesuai harapan, bahkan anehnya, kegagalan mereka ketika kelak dewasa sering dibebankan sepenuhnya kepada diri mereka sendiri.

Saya pikir yang benar bukanlah mengurangi waktu senggang pelajar dan melabeli kegiatan melamun sebagai ciri pemalas; yang benar adalah memberitahu mereka bagaimana waktu senggang dan melamun tersebut dapat ditindaklanjuti sebagai momen produktif serta kreatif, misalnya menghasilkan sebuah karya sastra atau perencanaan bisnis.

Bahkan Alan Watts menulis, "Kau telah dihipnotis, atau dikondisikan, oleh sebuah sistem berkedok edukasi yang dibuat dalam tahap-tahap atau tingkatan, yang digadang-gadang akan membawamu pada Puncak Kesuksesan.

... Tetapi, saat hari itu tiba, bertahun-tahun kecemasan dan jerih payah telah memberimu jantung lemah, gigi palsu, masalah prostat, impotensi, mata kabur, dan saluran pencernaan yang kacau-balau."

Kesimpulan saya barangkali sederhana saja, bahwa kekuasaan, misalnya melalui berbagai sistem dan paradigma yang kita temukan setiap hari, dapat mendikte bagaimana kita memandang sesuatu, utamanya terkait hal-hal fundamental dalam kehidupan kita.

Bukan berarti saya menyalahkan segala sistem yang ada atau wacana-wacana yang tersebar begitu saja. Saya pikir semua itu tidak bisa dihindarkan sehingga tugas kita adalah menyadari selubung hegemoni yang telah kita bicarakan di atas dan berupaya untuk mengambil kendali atas diri kita sendiri.

Seperti yang dikatakan Raja kepada Pangeran Cilik, "Itu yang paling sulit. Mengadili diri sendiri lebih sulit daripada mengadili orang lain. Jika kamu berhasil, berarti kamu betul-betul orang yang bijaksana."

Orang yang bebas bukanlah mereka yang melepaskan diri dari semua sistem; sama sekali bukan demikian, sebab beberapa sistem, bagaimanapun juga, tidak terhindarkan.

Orang bebas adalah mereka yang menolak dan membelot terhadap segala sistem yang menurunkan derajatnya sebagai manusia, yaitu makhluk yang secara alamiah berpotensi menjadi kreatif dan mampu berkembang sampai batas yang tidak diketahui.

Seperti yang dikatakan seekor rubah kepada Pangeran Cilik, "... Kamu bertanggung jawab untuk selama-lamanya atas siapa yang telah kamu jinakkan." Demikian pula kita; sekurang-kurangnya kita bertanggung jawab pada diri sendiri, baik ketika menguasai maupun dikuasai.

Sebab jika kita ingin mengetahui bagaimana sesungguhnya watak seseorang, beri dia kekuasaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun