Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Le Petit Prince dan Pengaruh Kekuasaan dalam Keseharian Kita

6 April 2022   13:56 Diperbarui: 6 April 2022   14:02 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ada satu poin minor dari novel Le Petit Prince yang dapat membantu kita memahami cara kerja kekuasaan | Ilustrasi via Kingsplace.co.uk

Contoh tentang komunisme kiranya terlalu berat untuk dibicarakan, meskipun dengan begitu saya menjadikannya cukup jelas. Jadi contoh berikutnya akan mengakar pada sesuatu yang agak-agaknya lebih ringan.

Misalnya pemahaman kita tentang pendidikan. Sebenarnya kita percaya bahwa kesuksesan karier seseorang tidak ditentukan oleh tinggi-rendahnya jenjang pendidikan, tapi toh kita tetap merasa tertekan untuk bisa masuk perguruan tinggi unggulan dan lulus dengan nilai besar.

Kita dibelenggu oleh berbagai paradigma yang, jika mudah untuk terus-terang, tidak kita kehendaki. Kita terikat oleh bermacam-macam sistem yang sesungguhnya membuat kita menderita, tetapi kita merasa tidak berdaya atau tidak punya hak untuk menolaknya.

Di situlah pengaruh kekuasaan yang dengan sendirinya merayap masuk ke dalam pikiran kita, seolah-olah apa yang ada adalah kondisi default yang tidak bisa ditolak atau bahkan diubah. Kita menerima semua sistem itu sebagai mainstream yang normal, dan justru apabila kita menentangnya, kita percaya kita tidak waras.

Bagi saya, dan ini memang berdasarkan pengalaman pribadi, ada satu hegemoni terjahat yang selama beberapa tahun mendorong saya ke dalam kesibukan yang sia-sia, yaitu sistem pendidikan kita yang secara diam-diam membunuh kreativitas pelajar.

Sejak pertama merasakan sekolah formal hingga saat ini, saya mendapatkan kesan bahwa pelajar (termasuk mahasiswa) tidak begitu dibiarkan untuk memiliki banyak waktu luang karena curiga akan disia-siakan, dan bahwa melamun itu bukanlah sesuatu yang bagus untuk masa depan pelajar.

Dengan anggapan begitu, maka seabrek tugas pun dibebankan.

Memang perlu diakui, secara empirik, pelajar kita belum mampu memanfaatkan waktu-waktu di luar kelas untuk belajar atau mengembangkan bakatnya. Tetapi masalahnya, sejak kecil pun mereka memang tidak dididik dan diarahkan untuk melakukan hal yang demikian.

Kekuasaan yang dipegang orangtua dan lembaga pendidikan atas tumbuh-kembang anak-anak melahirkan tanggung jawab yang sangat besar. Namun kelihatannya, hal itu tidak berjalan sesuai harapan, bahkan anehnya, kegagalan mereka ketika kelak dewasa sering dibebankan sepenuhnya kepada diri mereka sendiri.

Saya pikir yang benar bukanlah mengurangi waktu senggang pelajar dan melabeli kegiatan melamun sebagai ciri pemalas; yang benar adalah memberitahu mereka bagaimana waktu senggang dan melamun tersebut dapat ditindaklanjuti sebagai momen produktif serta kreatif, misalnya menghasilkan sebuah karya sastra atau perencanaan bisnis.

Bahkan Alan Watts menulis, "Kau telah dihipnotis, atau dikondisikan, oleh sebuah sistem berkedok edukasi yang dibuat dalam tahap-tahap atau tingkatan, yang digadang-gadang akan membawamu pada Puncak Kesuksesan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun