Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Le Petit Prince dan Pengaruh Kekuasaan dalam Keseharian Kita

6 April 2022   13:56 Diperbarui: 6 April 2022   14:02 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ada satu poin minor dari novel Le Petit Prince yang dapat membantu kita memahami cara kerja kekuasaan | Ilustrasi via Kingsplace.co.uk

Memang, menghubungkan antara kekuasaan dengan Le Petit Prince adalah sesuatu yang aneh, sebab gagasan perihal kekuasaan hanyalah poin minor yang bahkan tidak banyak diperhatikan dari novel tersebut.

Tetapi, saya berasumsi bahwa elemen mikro yang dimaksudkan memiliki relevansi kuat dengan apa yang kita alami sehari-hari, sehingga kesadaran kita tentangnya akan membantu beberapa hal untuk dilihat secara lebih jernih.

Kekuasaan Ada di Mana-mana

Michel Foucault, seorang filsuf krusial di era post-modernisme, beranggapan bahwa "kekuasaan ada di mana-mana: bukan karena ia mencakup segalanya, tetapi karena ia berasal dari mana-mana." Dengan begitu, kekuasaan tidak eksklusif berada di tangan institusi atau pejabat tertentu.

Menurutnya, kekuasaan tersebar dan diwujudkan dalam wacana, pengetahuan, serta "rezim kebenaran". Jika betul demikian, maka semestinya kita lebih peka terhadap cara kerja kekuasaan dan bagaimana keseharian kita banyak dipengaruhi olehnya.

Salah satu watak kekuasaan yang terlukiskan dalam novel Le Petit Prince adalah bahwa ia selalu ingin dibenarkan, karena toh jika ia "membawahi" yang lain, maka sudah sepatutnya yang dikuasai itu menganggukkan kepala.

Hal tersebut tercermin dalam dialog antara Raja dengan Pangeran Cilik. Semua perintah Raja, pada dasarnya, hanya diucapkan ketika sesuatu akan terjadi dan bukannya karena sesuatu itu diperlukan.

Dia menggerakkan hal-hal yang memang sudah bergerak, termasuk memberhentikan hal-hal yang telah berhenti.

Dalam narasinya, "Setiap orang harus diminta apa yang dapat ia berikan. Kekuasaan berasaskan akal. Jika kamu menyuruh rakyatmu menceburkan diri ke laut, mereka akan memberontak. Aku berhak menerima kepatuhan, sebab perintah-perintahku masuk akal."

Apa yang dimaksudnya dengan masuk akal? Sesederhana Pangeran Cilik tidak tahan menguap, dan lalu Raja memerintahkannya untuk menguap (lagi). Dengan begitu, kepatuhan bukanlah sesuatu yang sulit untuk dilakukan, meskipun berdasarkan logika yang paling sederhana, perintah tersebut tidak bernilai apa-apa.

Di sini, kita bisa melihat betapa penguasa itu membutuhkan legitimasi agar kekuasaannya "tahan-banting". Dan memang dalam praktiknya, upaya meraih pengakuan tersebut banyak dilakukan dengan cara yang sewenang-wenang tanpa memperhitungkan imbasnya secara luas.

Hal tersebut sebenarnya dapat kita temukan dengan mudah dalam keseharian kita. Misalnya, berita-berita bohong atau adu domba yang dibuat oleh kelompok tertentu demi pencitraan telah membentuk realitas palsu dalam diri masyarakat, sehingga beberapa hal yang terkait dengannya dipercaya begitu saja tanpa pertanyaan apa pun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun