Kita tidak tahu mana yang lebih penting, apakah itu martabat sebuah bangsa atau nilai mahal dari kemanusiaan. Kita pun kemudian bertanya-tanya: apakah kita bisa memilih keduanya?
Dalam pikiran, tentu mungkin untuk tidak membungkam salah satunya, tetapi kenyataannya, kita dipaksa untuk memilih dan mengambil keputusan di atas fondasi yang amat rapuh dan terbatas.
Kendati begitu, saya jelas memilih yang kedua sekalipun saya juga mencintai tanah air saya sendiri. Saya percaya bahwa kehidupan, sehancur apa pun keadaannya, tetaplah memiliki arti yang layak diperjuangkan dan dibela sepanjang waktu.
Apa arti yang saya maksudkan? Manusia. Apa itu manusia? Manusia adalah kekuatan yang pada akhirnya akan meniadakan segala macam penindasan dan ketidakadilan. Meskipun sejauh ini manusia pulalah pencetus bencana dunia, tetapi saya percaya manusia tetaplah berharga pada dirinya.
Tentu ada semacam dorongan untuk mengutuk dan mengecualikan para tiran yang membuat huru-hara di dalam sejarah manusia. Tetapi saya tidak mengutuk mereka; saya hanya mengutuk kejahatan, penindasan, ketidakadilan, kebengisan dan nilai-nilai yang serupa.
Saya menyadari posisi saya sebagai orang kecil dan bahkan tidak dihitung sebagai sebutir pasir yang berharga. Tetapi justru karenanya, saya memiliki kepekaan dan solidaritas yang tinggi dengan "orang kecil" lainnya.
Saya melihat anak-anak yang tetap lugu menikmati pelatihan mitigasi, tidak tahu-menahu bahwa apa yang menantinya adalah maut dan senantiasa diteror oleh ledakan yang mungkin terjadi tiba-tiba tanpa sinyal apa pun.
Dan yang lebih menyedihkannya lagi adalah, mereka tidak mengerti atas apa yang terjadi, tetapi harus ikut menanggung penderitaan yang sedemikian beratnya sejak berumur dini. Mereka bahkan tidak tahu mengapa mereka sekonyong-konyong hidup dan ditakdirkan untuk terlahir di sebuah negara yang rawan konflik.
Lantas kepada siapa mereka mesti berbicara?
Adakah di antara kita yang mau mendengarkan mereka dengan rendah hati, menaruh perhatian dengan sejenak mengesampingkan permasalahan kita sendiri, dan menyuntikkan gagasan tentang dunia yang berpotensi pulih (kembali)?
Hal yang membuat saya ingin menangis adalah, mereka dengan sendirinya tetap meneriakkan harapan mereka dan menyiapkan dirinya andai-andai keadaannya kembali pulih sehingga sesuatu yang mereka cita-citakan bisa terwujud.