Kesejahteraan dan keamanan warga sipil kemudian dijadikan semboyan oleh semua pihak yang terlibat hingga menyebabkan mereka semua yang dilindungi tidak percaya lagi akan adanya keseriusan terhadap semboyan tersebut.
Sulit untuk menyangkal apa yang sesungguhnya terjadi bila dibandingkan dengan apa yang semestinya terjadi.
Tetapi bila memang keselamatanlah yang menjadi kehendak mereka, saya pikir kita harus berteriak, "Jika kalian memang menginginkan kebahagiaan warga sipil, biarkan warga sipil sendiri yang berbicara tentang kebahagiaan macam apa yang mereka inginkan dan kebahagiaan macam apa yang tidak mereka inginkan."
Dengan penuh keyakinan dan pertimbangan, saya tidak percaya adanya kebenaran dalam ungkapan, "Berperang demi kemanusiaan."
Kita memang hidup di zaman kejahatan terencana yang memiliki rasionalitas tingkat tinggi. Para penjahat masa kini bukan lagi anak malang yang tidak berdaya dan lalu meminta dikasihani karena perbuatannya.
Sebaliknya, mereka adalah orang-orang dewasa yang memiliki banyak alibi dan lihai beretorika seolah apa yang mereka katakan tidak dapat disangkal oleh argumen apa pun. Filsafat dimanfaatkan, tetapi dalam jalan yang mengerikan dan tidak terjangkau orang awam.
Wibawa mereka membuat kata-katanya terkesan benar. Angka-angka statistik tidak lagi jujur dan karenanya sulit dipercaya, luka masa lalu dikemas sebagai latar belakang historis yang membenarkan penghinaan terhadap kemanusiaan.
Hukum dan perjanjian seakan hanyalah obat penenang sementara waktu. Dalam jangka tertentu dan situasi khusus, dalih apa pun dapat tiba-tiba dicetuskan dengan memukau dan orang-orang yang mendengarkannya terdorong untuk percaya serta patuh untuk mengekang keduanya.
Albert Camus pernah menulis, "Kemarin kejahatan diadili, hari ini ia mendikte hukum." Menurutnya, manusia haruslah menegakkan keadilan dalam berjuang melawan ketidakadilan abadi, serta menciptakan kebahagiaan demi menentang semesta ketidakbahagiaan.
Kini kita bisa merasakan dengan jelas betapa kita hidup dalam sebuah planet yang teramat mungil di hadapan megahnya alam semesta, sehingga sumber daya yang sedemikian melimpah pun tidaklah memuaskan bagi kita dan harus menumpahkan darah untuk memilikinya.
Kita dilucuti oleh sikap kekanak-kanakan kita sendiri, seolah-olah proses evolusi manusia, seperti yang diyakini Darwinian, berhenti di generasi kita sehingga harapan dan ideal kita tentang kedewasaan manusia tidak akan pernah tercapai.