Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Prahara Dunia Hari Ini: Ledakan dan Sebuah Renungan

25 Februari 2022   19:07 Diperbarui: 6 Maret 2022   18:33 2415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang pria bersenjata berdiri di dekat sisa-sisa kendaraan militer Rusia di Bucha, dekat ibu kota Kyiv, Ukraina, Selasa, 1 Maret 2022. (AP PHOTO/SERHII NUZHNENKO via kompas.com)

Tidak ada jarak yang terlalu jauh untuk mendengarkan dan meresapi penderitaan orang lain. Kita mendapati banyak kata muncul begitu saja di kepala kita, tentu harapannya adalah mewakili kemalangan mereka serta menggambarkan rasa sakitnya dihujam teror setiap detik.

Tetapi kata-kata saja tidaklah cukup, atau setidaknya terasa tidak cukup. Kita bisa memilih diam dengan berpura-pura melewatkan suara jeritan yang memekik itu, dan secara normalnya memang keputusan itulah yang memberikan kenyamanan lebih.

Hanya saja, sikap diam juga dibatasi oleh kemuakan, kejengkelan, dan kekhawatiran yang tidak lagi tertanggungkan. Bila kemudian seseorang memilih melampauinya dengan penuh pertimbangan, ia mungkin akan membelot dan bersuara tanpa peduli dengan batasannya sendiri.

Lazimnya saya memilih untuk bersikap diam sebagai saksi, namun terhadap jeritan anak-anak dan dentuman rudal dalam perseteruan Rusia-Ukraina, saya memilih sikap yang kedua, dan saya merasa tidak berkewajiban untuk mengungkapkan alasannya kepada dunia.

Intinya saya tak bisa percaya bahwa segala sesuatu harus dikorbankan demi satu tujuan. Jelas ada hal-hal yang tak bisa dikorbankan.

Memang terlalu rumit bila harus menyeleksi secara ketat nilai-nilai mana saja yang layak disisihkan dari noda dosa dan kehancuran, tetapi dengan menilik berbagai prahara yang kita alami sekarang ini, saya pikir sesuatu itu menjadi jelas.

Sebagai generasi yang tidak mengalami pahit-pedihnya dua perang dunia, barangkali kita semua percaya akan adanya kedamaian dunia dan malah menaruh harapan besar terhadapnya. Tetapi bagi orang-orang yang memahami jalannya sejarah, mereka tahu badai sekecil apa pun selalu mungkin terjadi dalam masa yang tenang.

Tampaknya umat manusia tengah menagih kedewasaan dari dirinya sendiri. Kita tidak tahu apakah besok pagi dunia akan hancur berkeping-keping. Dengan ancaman seperti itu, ada suatu kebenaran yang perlu dipelajari dan direnungkan.

Menghadapi masa depan demikian membuat segala kedudukan, kehormatan, dan pangkat menjadi turun nilainya sebagaimana gumpalan asap yang tanpa arti. Kini satu-satunya kepastian yang masih kita miliki adalah penderitaan universal, yang akarnya menghujam dan berbaur dengan harapan.

Secara garis besar, kini masyarakat kita terbagi menjadi dua, di mana sebagian adalah mereka yang menaruh kepedulian terhadap kesengsaraan sesamanya, sedangkan sebagian lainnya memutuskan untuk melanjutkan kehidupannya dengan bahagia sendirian.

Tetapi kemudian golongan pertama juga terbagi lagi menjadi dua kelompok, yaitu mereka yang memilih bertindak sebagai wujud keprihatinannya dan ada mereka yang tetap diam dalam keadaan jiwa yang amat resah serta terguncang.

Jika kita ingin melanjutkannya, pembagian semacam itu tidak akan ada habisnya dan barangkali tidak berguna. Namun sekurang-kurangnya, pembedaan tersebut membuka keran pertanyaan baru bagi kita semua yang menunggu untuk dijawab.

Apa yang dapat kita pelajari dari konflik Rusia-Ukraina? | Ilustrasi oleh Ukrainian Presidential Press Office via Republika.co.id
Apa yang dapat kita pelajari dari konflik Rusia-Ukraina? | Ilustrasi oleh Ukrainian Presidential Press Office via Republika.co.id

Siapa yang akan berbicara atas penderitaan demi penderitaan yang kita tanggung di zaman kita? Haruskah kita melarikan diri dan memalingkan muka dari apa yang menjadi kekacauan hari ini? Apa yang dapat menyembunyikan wajah buruk kita dari diri kita sendiri?

Mestikah kita mencari dalih supaya persembunyian kita bisa dibenarkan? Tidakkah semua ini terlalu berlebihan dan memalukan, bahkan bagi diri kita sendiri? Ke mana (lagi) kita hendak melecut arah perputaran bumi, yang pada dasarnya bukanlah hak kita?

Siapa yang patut dipersalahkan dan dilimpahi tanggung jawab atas krisis sekarang ini? Dan seperti yang banyak ditanyakan orang-orang: Ke mana kita mesti berpihak dan pihak siapa yang harus dikutuk?

Berkaitan dengan pertanyaan terakhir, kita tentu begitu tergoda untuk menjawabnya, tetapi justru jawaban yang tergesa-gesa itulah yang harus dikutuk dan malah amat disesalkan bila sudah terlanjur melakukannya.

Kini kita dibombardir oleh narasi-narasi yang membingungkan, terdengar seolah-olah memberitakan hal yang sama, tetapi keduanya mengandung muatan dan maksud yang sangat berlainan.

Kita juga tidak tahu harus percaya kepada siapa, dan pihak mana yang sesungguhnya menjadi korban tidaklah jelas serta samar-samar kebenarannya.

Setiap saat ada sesuatu yang mengganjal dalam diri kita; semacam kemauan untuk memberi jawaban tegas terhadap pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan darah dan pengorbanan yang tumpah sekarang ini.

Namun ada satu hal yang terang-benderang tengah dicederai dan terluka, yaitu kemanusiaan dan kebebasan.

Kesejahteraan dan keamanan warga sipil kemudian dijadikan semboyan oleh semua pihak yang terlibat hingga menyebabkan mereka semua yang dilindungi tidak percaya lagi akan adanya keseriusan terhadap semboyan tersebut.

Sulit untuk menyangkal apa yang sesungguhnya terjadi bila dibandingkan dengan apa yang semestinya terjadi.

Tetapi bila memang keselamatanlah yang menjadi kehendak mereka, saya pikir kita harus berteriak, "Jika kalian memang menginginkan kebahagiaan warga sipil, biarkan warga sipil sendiri yang berbicara tentang kebahagiaan macam apa yang mereka inginkan dan kebahagiaan macam apa yang tidak mereka inginkan."

Dengan penuh keyakinan dan pertimbangan, saya tidak percaya adanya kebenaran dalam ungkapan, "Berperang demi kemanusiaan."

Kita memang hidup di zaman kejahatan terencana yang memiliki rasionalitas tingkat tinggi. Para penjahat masa kini bukan lagi anak malang yang tidak berdaya dan lalu meminta dikasihani karena perbuatannya.

Sebaliknya, mereka adalah orang-orang dewasa yang memiliki banyak alibi dan lihai beretorika seolah apa yang mereka katakan tidak dapat disangkal oleh argumen apa pun. Filsafat dimanfaatkan, tetapi dalam jalan yang mengerikan dan tidak terjangkau orang awam.

Wibawa mereka membuat kata-katanya terkesan benar. Angka-angka statistik tidak lagi jujur dan karenanya sulit dipercaya, luka masa lalu dikemas sebagai latar belakang historis yang membenarkan penghinaan terhadap kemanusiaan.

Hukum dan perjanjian seakan hanyalah obat penenang sementara waktu. Dalam jangka tertentu dan situasi khusus, dalih apa pun dapat tiba-tiba dicetuskan dengan memukau dan orang-orang yang mendengarkannya terdorong untuk percaya serta patuh untuk mengekang keduanya.

Albert Camus pernah menulis, "Kemarin kejahatan diadili, hari ini ia mendikte hukum." Menurutnya, manusia haruslah menegakkan keadilan dalam berjuang melawan ketidakadilan abadi, serta menciptakan kebahagiaan demi menentang semesta ketidakbahagiaan.

Kini kita bisa merasakan dengan jelas betapa kita hidup dalam sebuah planet yang teramat mungil di hadapan megahnya alam semesta, sehingga sumber daya yang sedemikian melimpah pun tidaklah memuaskan bagi kita dan harus menumpahkan darah untuk memilikinya.

Kita dilucuti oleh sikap kekanak-kanakan kita sendiri, seolah-olah proses evolusi manusia, seperti yang diyakini Darwinian, berhenti di generasi kita sehingga harapan dan ideal kita tentang kedewasaan manusia tidak akan pernah tercapai.

Kita tidak tahu mana yang lebih penting, apakah itu martabat sebuah bangsa atau nilai mahal dari kemanusiaan. Kita pun kemudian bertanya-tanya: apakah kita bisa memilih keduanya?

Dalam pikiran, tentu mungkin untuk tidak membungkam salah satunya, tetapi kenyataannya, kita dipaksa untuk memilih dan mengambil keputusan di atas fondasi yang amat rapuh dan terbatas.

Kendati begitu, saya jelas memilih yang kedua sekalipun saya juga mencintai tanah air saya sendiri. Saya percaya bahwa kehidupan, sehancur apa pun keadaannya, tetaplah memiliki arti yang layak diperjuangkan dan dibela sepanjang waktu.

Apa arti yang saya maksudkan? Manusia. Apa itu manusia? Manusia adalah kekuatan yang pada akhirnya akan meniadakan segala macam penindasan dan ketidakadilan. Meskipun sejauh ini manusia pulalah pencetus bencana dunia, tetapi saya percaya manusia tetaplah berharga pada dirinya.

Tentu ada semacam dorongan untuk mengutuk dan mengecualikan para tiran yang membuat huru-hara di dalam sejarah manusia. Tetapi saya tidak mengutuk mereka; saya hanya mengutuk kejahatan, penindasan, ketidakadilan, kebengisan dan nilai-nilai yang serupa.

Saya menyadari posisi saya sebagai orang kecil dan bahkan tidak dihitung sebagai sebutir pasir yang berharga. Tetapi justru karenanya, saya memiliki kepekaan dan solidaritas yang tinggi dengan "orang kecil" lainnya.

Saya melihat anak-anak yang tetap lugu menikmati pelatihan mitigasi, tidak tahu-menahu bahwa apa yang menantinya adalah maut dan senantiasa diteror oleh ledakan yang mungkin terjadi tiba-tiba tanpa sinyal apa pun.

Dan yang lebih menyedihkannya lagi adalah, mereka tidak mengerti atas apa yang terjadi, tetapi harus ikut menanggung penderitaan yang sedemikian beratnya sejak berumur dini. Mereka bahkan tidak tahu mengapa mereka sekonyong-konyong hidup dan ditakdirkan untuk terlahir di sebuah negara yang rawan konflik.

Lantas kepada siapa mereka mesti berbicara?

Adakah di antara kita yang mau mendengarkan mereka dengan rendah hati, menaruh perhatian dengan sejenak mengesampingkan permasalahan kita sendiri, dan menyuntikkan gagasan tentang dunia yang berpotensi pulih (kembali)?

Hal yang membuat saya ingin menangis adalah, mereka dengan sendirinya tetap meneriakkan harapan mereka dan menyiapkan dirinya andai-andai keadaannya kembali pulih sehingga sesuatu yang mereka cita-citakan bisa terwujud.

Mereka menampilkan semangatnya dan tetap percaya pada dunia. Dalam hal ini, saya mengambil kesimpulan bahwa kita, orang-orang dewasa, kalah dewasa oleh optimisme anak-anak yang tengah terluka dan khawatir atas prahara dunia hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun