Dalam budaya massa modern, manusia menjadi lebih terorganisasikan daripada peradaban mana pun yang pernah tercatat dalam sejarah. Oleh karenanya, berbagai macam perilaku atau kebiasaan tidak lagi berderajat "individu", melainkan "kolektif".
Saya menyebutnya "Perilaku Kerumunan".
Perilaku Kerumunan ini dibentuk oleh setiap budaya dengan tren-trennya tersendiri, dan bagi mayoritas orang, mereka mesti mengikutinya. Mereka menjadi seperti pasukan lebah yang mau-tidak-mau harus menuruti aturan sang ratu, terlepas dari betapa anehnya aturan tersebut.
Ketika seseorang melangkah bebas dengan menjadi berbeda dari Perilaku Kerumunan, ia mungkin akan diasingkan oleh sekitarnya dan lalu ia pun merasa bersalah atas tekanan batinnya sendiri.
Orang tergerak untuk merasionalisasi keadaan status-quo sebagai kondisi yang sah, meskipun hal tersebut berlawanan dengan kenyamanan pribadi mereka. Dalam ketidaksadaran yang merayap pelan, mereka melepaskan orisinalitasnya demi menjadi sama dengan kelompoknya.
Asumsi ini, pada akhirnya, membentuk asumsi lain yang lebih buruk bahwa "berbeda dari Perilaku Kerumunan adalah tidak normal".
Jika seseorang hidup di antara orang-orang yang hedonis, mungkin ia akan menganggap bahwa berdiam diri di rumah hanya untuk membaca buku merupakan sesuatu yang tidak normal.
Terlepas dari nyaman atau tidaknya gaya hidup tersebut, apa yang disebutnya sebagai "normal" adalah segala hal yang menunjukkan bahwa ia juga seorang hedonis. Paradigmanya disetir oleh asumsi lingkungan, dan ini jelas-jelas melumpuhkan orisinalitas.
Menerima sistem yang sudah ada berfungsi sebagai penenang. Itulah obat pereda rasa sakit emosional: bila dunia sudah semestinya demikian, maka kita tidak perlu merasa kecewa terhadapnya.
Namun, kepasrahan tersebut juga melenyapkan kemarahan moral yang berfungsi sebagai tenaga untuk melawan ketidakadilan dan menumbuhkan hasrat kreatif dalam memikirkan cara-cara alternatif.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!