Cinta sejati mampu mengubah duri menjadi sekuntum mawar, tetapi sebaliknya pun juga benar. Orang bilang, "Cinta dapat melahirkan kebahagiaan sekaligus kemalangan, sebab tidak ada luka yang paling menyakitkan selain luka yang digoreskan oleh cinta."
Kisah romantis antara Qays dan Layla kiranya telah membuktikan itu. Konon, kisah cinta ini merupakan peristiwa nyata yang tersebar dari mulut ke mulut sehingga melahirkan beragam versi dan varian.
Baru pada abad ke-12, kisah fenomenal ini dikemas secara rapi dan mengagumkan oleh Nizami Ganjavi, seorang penyair yang berasal dari Persia pada era dinasti Saljuk. Beliau dikenal secara luas berkat syair-syairnya yang berbau sufistik.
Oleh karena itu, banyak orang yang menilai bahwa cerita Layla Majnun merupakan alegori Nizami terhadap cinta kepada Allah. Penyajian alur yang dianggap begitu ekstrem dan sakral bisa dibilang terlalu utopis bila diarahkan kepada manusia, kecuali cinta kepada Allah.
Namun terlepas dari spekulasi apa pun, kisah Layla Majnun jelas amat termasyhur sebagai "kisah cinta abadi dari Timur" yang kerap disejajarkan dengan kisah Romeo dan Juliet. Kendati begitu, kisah ini lahir sebelum karya Shakespeare tersebut tercipta.
Kegilaan Qays pada Layla
Pada mulanya, Qays tenggelam dalam lautan cinta yang membuat dirinya seperti mabuk kepayang, bahkan jauh sebelum ia mengenal arti cinta yang sesungguhnya. Setiap kali memandang keindahan Layla, kengerian malam pun terasa membahagiakan bagi Qays.
Lebih mujurnya lagi, Layla pun merasakan hal yang sama sebagaimana Qays. Keduanya telah meminum habis seisi gelas berisikan minuman cinta siang dan malam. Semakin banyak yang mereka minum, semakin kuat pula ketertarikan mereka satu sama lainnya.
Mereka seolah telah kehilangan diri mereka dalam lautan cinta, dan akhirnya saling menemukan.
Hangatnya lanskap "Firdaus" yang tengah dipijaki Qays membuatnya semakin lupa diri dari waktu ke waktu. Apa yang sering dilakukannya hanyalah berjalan berputar-putar dalam keadaan bingung dan menceritakan kecantikan Layla kepada siapa saja yang ditemuinya.
Orang-orang yang berjumpa dan mendengar ucapannya menganggap Qays semakin menggila serta aneh. Ke mana pun ia melangkah, orang akan menatapnya seraya tertawa dan mencemooh, "Ini dia si orang gila; si 'majnun'!"
Semenjak itu, julukan Qays sebagai "Majnun" (orang gila) semakin menggema ke banyak tempat, termasuk suku Layla yang dipertaruhkan nama baiknya. Ayah Layla pun, selaku ketua suku, menolak mentah-mentah cinta Qays terhadap putrinya dan melarang mereka untuk kembali bertemu.
Majnun benar-benar menderita karenanya, begitu pula Layla yang hanya menghabiskan setiap detiknya di dalam tenda. Keduanya terpisahkan oleh semacam bendungan yang terus-menerus menahan aliran cinta, sekaligus air mata.
Dalam kesengsaraan yang tak tertahankan inilah, bait demi bait sajak mengalir dari bibir Majnun sebagai pesan-pesan yang hendak disampaikannya kepada sang pujaan hati.
Cinta adalah Kekuatan
Dalam kisah Layla Majnun, Nizami banyak menggunakan analogi sebagai penjelasannya tentang kedalaman karakter maupun pesan yang hendak disampaikannya.Â
Sewajarnya puisi dan syair, teknik perumpamaan memang banyak dipilih untuk mengungkapkan pesan yang kerap "cacat" bila disampaikan secara literal.
Apalagi seandainya benar bahwa Nizami memaksudkan kisah ini sebagai alegori terhadap cinta kepada Allah, maka gaya bahasa yang literal dan apa adanya akan tidak relevan dengan itikad yang sebenarnya.
Di sini saya berasumsi bahwa segala yang tertulis dalam kisah Layla Majnun merupakan karangan Nizami sepenuhnya, sehingga tafsiran apa pun yang saya uraikan selanjutnya akan menjadi representasi dari mulut Nizami dan bukan tokoh yang diceritakannya.
Pada tahap awal pengembangan cerita, Nizami mengibaratkan cinta seperti sang pembawa anggur yang menuangkan minumannya di gelas-gelas hingga meluap. Siapa pun yang ditawarinya tidak akan berdaya untuk menolak, dan lalu meneguknya sampai mabuk kepayang.
Rasa mabuk yang pertama kali dialami orang selalu menjadi yang terhebat, sekaligus jatuh yang mereka rasakan untuk pertama kali selalu menjadi yang terberat untuk ditanggung. Itulah yang mendasari "kegilaan" Qays terhadap Layla yang merupakan cinta pertamanya.
Namun secara umum, jatuh cinta memang menggembirakan sekaligus mengerikan, karena orang dihadapkan pada pintu kehangatan dan kengerian yang tidak membebaskannya untuk memilih.Â
Keduanya sangat rentan; membuka dada sekaligus hati pada ketidakpastian.
Cinta mendorong kita untuk melibatkan perasaan pihak lain yang disayangi, dan seperti yang dialami banyak orang, mungkin cinta tersebut tidak terbalaskan. Pada titik inilah cinta menjelma menjadi duri-duri yang menyakitkan alih-alih mawar yang mengagumkan.
Karenanya, jatuh cinta merupakan wujud keberanian tersendiri di mana banyak orang merasa merasa takut dan rendah diri untuk mencintai seseorang yang dikaguminya. Mereka yakin bahwa dirinya tidaklah pantas dan lalu mengurungkan perasaannya secara paksa.
Orang yang demikian kiranya terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan, sebab di hadapan cinta, kemungkinan apa pun bisa terjadi.
Seperti yang ditulis Nizami, "Memang benar bahwa semuanya adalah sebuah misteri, sebuah teka-teki, sebuah gembok tanpa kunci, sebuah buku yang tak dapat dibuka, dan sebuah kode rahasia yang tak dapat dipecahkan oleh siapa pun."
Waktu dan tempat bisa tiba-tiba lumpuh oleh keajaiban cinta, kemudian secara tidak sengaja, orang yang kita puja juga mencintai kita seolah meruntuhkan semua ramalan buruk yang kita cetuskan sendiri.
Kendatipun jatuh cinta itu bisa menyakitkan, tetapi jatuh cinta juga merupakan pengalaman yang membahagiakan dan tak terlupakan. Kontradiksi semacam ini seolah sudah menjadi ketentuan alam semesta di mana "keindahan selalu diandaikan oleh adanya buruk rupa".
"Kau adalah penyebab dari sakit hatiku," kata Majnun di kala bersyair secara lepas. "Namun demikian, cintaku kepadamu adalah satu-satunya pelipur laraku; satu-satunya penyembuh lukaku. Betapa anehnya, sebuah obat yang semestinya menyembuhkan malah memberikan rasa sakit yang jauh lebih besar."
Nizami juga mengibaratkan cinta sejati seperti api yang menyala abadi: tanpa sebuah awal dan akhir, api cinta sejati berkobar dalam jiwa seorang pecinta laksana obor yang terus menyala hingga akhir hayatnya.
Api tersebut maujud dalam spirit seorang pecinta yang mendorongnya untuk tetap menari seiring alunan musik yang tersembunyi. Dalam gairah semacam inilah, Majnun menjadi pengembara buta dan mabuk, serta terhuyung-huyung mencari sosok yang dirindukannya.
Ketika sang pecinta benar-benar larut ke dalamnya, ia mungkin tidak sadar lagi terhadap apa yang dilakukannya seperti orang yang sedang mabuk. Kekuatan cinta tampaknya terlalu kuat untuk dapat ditolak oleh makhluk lemah seperti manusia.
"Majnun tidak mampu lagi membedakan antara baik dan buruk," tulis Nizami. "Baginya, apa yang baik dan apa yang salah tidak lagi diketahui. Ia adalah seorang pecinta, dan cinta tidak mengenal batasan."
Dua insan yang terikat oleh cinta dapat luluh menjadi satu-kesatuan yang sama. Cinta memungkinkan kebahagiaan orang lain menjadi sangat penting untuk kebahagiaan kita sendiri.
Dalam realitas cinta, orang akan melihat bahwa ketika mereka menggores seorang pecinta, maka yang mereka temukan adalah kekasihnya. Apa yang ada dalam pikiran sang pecinta hanyalah segala hal tentang pujaannya dan tidak ada yang lain selain itu.
"Kau salah bila kau membayangkan sedang melihat diriku," tulis Nizami lewat mulut Majnun, "sebab kenyataannya, keberadaanku tidak lagi ada. Aku telah hilang dan hanya cintakulah yang tersisa."
Karenanya menurut Nizami, jalan menuju cinta sejati hanya dapat ditempuh oleh mereka yang bersedia untuk melupakan dirinya sendiri demi cinta dan kesetiaan. Di sini memang jelas beraroma sufistik dan (mungkin) dimaksudkan sebagai cinta kepada Allah.
Cinta tidak bisa diajarkan oleh siapa pun. Cinta harus ditemukan sendiri oleh setiap orang yang mendambakannya, dan hanya di dalam rangkulannya, mereka dapat mengerti makna cinta yang sesungguhnya.
Dengan kesadaran yang lebih tinggi, cinta datang seolah tanpa pertanyaan tentang tanggung jawab. Seorang pecinta melakukan sesuatu karena semata-mata ia senang melakukannya untuk orang yang dicintainya.
Jika kita mencintai seseorang, ya kita mencintainya. Bahkan ketika kita tidak punya sesuatu pun untuk dipersembahkan, toh kita tetap memberinya cinta sehingga cukup ironis (sekaligus indah), bahwa cinta tidak mengharuskan kita untuk melakukan apa-apa yang luar biasa.
"Cinta adalah kekuatanku," tulis Nizami. "Jika cinta itu mati, maka aku akan mati bersamanya." Di bagian lain, nada yang sama juga dilontarkan, "Cintaku adalah rumahku. Di tempat lain, aku hanyalah sosok asing."
Nizami bahkan percaya bahwa cinta sejati punya akar yang kuat dan tidak bisa dicabut oleh apa pun. "Hari di mana cinta itu tersingkir dari hatiku," tulisnya, "akan menjadi hari di mana kau dapat menghitung butiran pasir di gurun."
Jadi bila cinta sejati benar-benar mengakar kuat dalam jiwa seseorang, maka kesakitan apa pun yang disebabkan oleh cintanya hanya dapat disembuhkan oleh kekuatan yang sama.
Sebagaimana Qays yang menjadi "gila" karena Layla, kesembuhannya hanya dapat dipulihkan pula oleh Layla. "Berbaik hatilah dan berikan penghiburan pada hatiku yang sakit," senandung Majnun. "Hanya dengan menerima cintakulah kau akan membebaskanku dari penderitaan."
Namun nahas bagi Majnun, penderitaannya hanya semakin menjadi-jadi ketika sebuah kabar sampai padanya bahwa Layla telah menikah dengan pria lain yang dipilih keluarganya. Air mata menguras tenaganya hingga kurus-kering seperti tengkorak yang berjalan tanpa tujuan.
Layla pun mengirimkan surat kepada Majnun lewat seorang utusan, dan Majnun sangat bergembira karena meskipun pujaannya dinikahi pria lain, namun cintanya tetap tidak berubah hanya untuk Majnun.
Kegembiraan itu hanya sesaat seperti angin yang menggugurkan daun rapuh di musim semi. Beberapa hari selepasnya, Layla meninggal dunia dengan wasiat kecil berupa surat kepada sang ibu tentang cinta sejatinya terhadap Majnun.
Begitu Majnun mendengar berita kematian kekasihnya, ia segera berlari menuju makamnya bagaikan halilintar yang digerakkan amarah badai. Sungguh pemandangan yang mengoyak hati, sekalipun pembaca tidak berada pada situasi yang sama.
Di sana ada hati yang diporak-porandakan oleh api penderitaan serta kesengsaraan. Api yang dulunya menghangatkan Majnun kini tiba-tiba menghanguskannya hingga menjadi abu. Orang-orang begitu terpana sekaligus ketakutan oleh kesetiaan Majnun yang menyakitkan.
Pada akhir kisah, diceritakan bahwa Majnun terbaring setiap hari di makam Layla dengan dikelilingi oleh hewan-hewan buas yang jinak terhadapnya. Setelah lama tidak terbangun, barulah orang menyadari bahwa Qays "si majnun" telah tiba dalam ajalnya.
Jiwa Majnun terbebas dan menghilang. Nizami menutup kisah romantisnya dengan sajak menggetarkan yang tertulis di batu nisan Layla dan Majnun:
Sepasang kekasih terbaring di makam ini,
pada akhirnya bersatu dalam gelapnya kematian.
Begitu setia saat terpisah, benar-benar saling mencinta:
satu hati, satu jiwa di surga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H