Cinta mendorong kita untuk melibatkan perasaan pihak lain yang disayangi, dan seperti yang dialami banyak orang, mungkin cinta tersebut tidak terbalaskan. Pada titik inilah cinta menjelma menjadi duri-duri yang menyakitkan alih-alih mawar yang mengagumkan.
Karenanya, jatuh cinta merupakan wujud keberanian tersendiri di mana banyak orang merasa merasa takut dan rendah diri untuk mencintai seseorang yang dikaguminya. Mereka yakin bahwa dirinya tidaklah pantas dan lalu mengurungkan perasaannya secara paksa.
Orang yang demikian kiranya terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan, sebab di hadapan cinta, kemungkinan apa pun bisa terjadi.
Seperti yang ditulis Nizami, "Memang benar bahwa semuanya adalah sebuah misteri, sebuah teka-teki, sebuah gembok tanpa kunci, sebuah buku yang tak dapat dibuka, dan sebuah kode rahasia yang tak dapat dipecahkan oleh siapa pun."
Waktu dan tempat bisa tiba-tiba lumpuh oleh keajaiban cinta, kemudian secara tidak sengaja, orang yang kita puja juga mencintai kita seolah meruntuhkan semua ramalan buruk yang kita cetuskan sendiri.
Kendatipun jatuh cinta itu bisa menyakitkan, tetapi jatuh cinta juga merupakan pengalaman yang membahagiakan dan tak terlupakan. Kontradiksi semacam ini seolah sudah menjadi ketentuan alam semesta di mana "keindahan selalu diandaikan oleh adanya buruk rupa".
"Kau adalah penyebab dari sakit hatiku," kata Majnun di kala bersyair secara lepas. "Namun demikian, cintaku kepadamu adalah satu-satunya pelipur laraku; satu-satunya penyembuh lukaku. Betapa anehnya, sebuah obat yang semestinya menyembuhkan malah memberikan rasa sakit yang jauh lebih besar."
Nizami juga mengibaratkan cinta sejati seperti api yang menyala abadi: tanpa sebuah awal dan akhir, api cinta sejati berkobar dalam jiwa seorang pecinta laksana obor yang terus menyala hingga akhir hayatnya.
Api tersebut maujud dalam spirit seorang pecinta yang mendorongnya untuk tetap menari seiring alunan musik yang tersembunyi. Dalam gairah semacam inilah, Majnun menjadi pengembara buta dan mabuk, serta terhuyung-huyung mencari sosok yang dirindukannya.
Ketika sang pecinta benar-benar larut ke dalamnya, ia mungkin tidak sadar lagi terhadap apa yang dilakukannya seperti orang yang sedang mabuk. Kekuatan cinta tampaknya terlalu kuat untuk dapat ditolak oleh makhluk lemah seperti manusia.
"Majnun tidak mampu lagi membedakan antara baik dan buruk," tulis Nizami. "Baginya, apa yang baik dan apa yang salah tidak lagi diketahui. Ia adalah seorang pecinta, dan cinta tidak mengenal batasan."