Namun nahas bagi Majnun, penderitaannya hanya semakin menjadi-jadi ketika sebuah kabar sampai padanya bahwa Layla telah menikah dengan pria lain yang dipilih keluarganya. Air mata menguras tenaganya hingga kurus-kering seperti tengkorak yang berjalan tanpa tujuan.
Layla pun mengirimkan surat kepada Majnun lewat seorang utusan, dan Majnun sangat bergembira karena meskipun pujaannya dinikahi pria lain, namun cintanya tetap tidak berubah hanya untuk Majnun.
Kegembiraan itu hanya sesaat seperti angin yang menggugurkan daun rapuh di musim semi. Beberapa hari selepasnya, Layla meninggal dunia dengan wasiat kecil berupa surat kepada sang ibu tentang cinta sejatinya terhadap Majnun.
Begitu Majnun mendengar berita kematian kekasihnya, ia segera berlari menuju makamnya bagaikan halilintar yang digerakkan amarah badai. Sungguh pemandangan yang mengoyak hati, sekalipun pembaca tidak berada pada situasi yang sama.
Di sana ada hati yang diporak-porandakan oleh api penderitaan serta kesengsaraan. Api yang dulunya menghangatkan Majnun kini tiba-tiba menghanguskannya hingga menjadi abu. Orang-orang begitu terpana sekaligus ketakutan oleh kesetiaan Majnun yang menyakitkan.
Pada akhir kisah, diceritakan bahwa Majnun terbaring setiap hari di makam Layla dengan dikelilingi oleh hewan-hewan buas yang jinak terhadapnya. Setelah lama tidak terbangun, barulah orang menyadari bahwa Qays "si majnun" telah tiba dalam ajalnya.
Jiwa Majnun terbebas dan menghilang. Nizami menutup kisah romantisnya dengan sajak menggetarkan yang tertulis di batu nisan Layla dan Majnun:
Sepasang kekasih terbaring di makam ini,
pada akhirnya bersatu dalam gelapnya kematian.
Begitu setia saat terpisah, benar-benar saling mencinta:
satu hati, satu jiwa di surga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H