Tentu sebagian besar dari kita mengambil keputusan atau melakukan sesuatu atas dorongan nilai-nilainya. Namun dalam banyak kesempatan, mereka dikendalikan oleh alam bawah sadarnya sehingga nilai-nilai tersebut tetap tidak jelas.
Bisa dibilang, ada sekaligus tidak terlihat.
Kesadaran akan nilai-nilai pribadi juga dapat menguatkan kita dalam penderitaan; sesuatu yang pada dasarnya merenggut motivasi kita. Dengan ini, kita menjadi mengerti tentang mengapa kita mesti menghadapi penderitaan tersebut.
Kebahagiaan dan penderitaan menjadi lebih bermakna. Orang biasanya ragu untuk menetapkan nilai-nilai pribadi yang pasti karena takut pilihannya menjadi terbatas. Namun justru, bagi saya, pilihan yang terbatas menjadikan kita lebih bebas.
Kita terlepas dari Paradoks Pilihan dan segala kekhawatiran yang tidak perlu, pun sebagai gantinya merasakan kedalaman yang membahagiakan dari komitmen.
Jadi bila Anda hendak melakukan sesuatu, coba pertanyakan sejenak: apakah Anda melakukannya karena memang itulah nilai yang Anda hargai, atau ada rasa takut yang mendasarinya?
Nilai-nilai pribadi menentukan keputusan kita dan, karenanya, takdir kita.
Membongkar pola rutinitas
Nilai-nilai pribadi tercermin dalam apa yang kita kerjakan, utamanya rutinitas. Jadi bila nilai pribadi berubah, maka rutinitas pun akan berubah. Untuk alasan yang jelas, motivasi kita mendapatkan pengaruh besar dari bahagia-tidaknya kita menjalani rutinitas keseharian.
Keberhasilan setiap tujuan yang kita tetapkan dengan penuh ambisi selalu ditentukan oleh apa yang kita kerjakan sehari-hari. Hal-hal besar yang kita impikan bukanlah proses sehari-semalam, melainkan perjuangan yang kita kerahkan dalam keseharian.
Bila Anda menjalani rutinitas yang sulit dan membosankan, Anda akan mudah untuk kehilangan motivasi. Anda tidak akan menikmati semua prosesnya, dan itu secara otomatis menghentikan konsistensi yang diperlukan untuk kesuksesan.
Karenanya, hal yang perlu dipertanyakan bukanlah impian kita sendiri, melainkan cara kita dalam mencapainya. Orang cenderung terjebak dalam "kotak" sehingga berpikir bahwa semua yang ada tidak bisa diubah, apalagi diintervensi.