Hidup dalam masa kejayaan media sosial adalah sesuatu yang aneh bagi beberapa orang, termasuk saya. Sebelumnya, orang membutuhkan prestasi besar untuk masuk ke media massa dan lalu menjadi terkenal, sekurang-kurangnya di lingkup kampung.
Tetapi sekarang, seberapa kecil pun pencapaian seseorang, seperti bangun dari ranjang yang empuk atau seorang anak sultan yang baru belajar naik sepeda roda-tiga, kesempatan untuk menjadi populer amatlah besar.
Berkali-kali saya memeriksa video populer di YouTube atau Instagram, konten yang muncul sering tidak begitu mengesankan dan membuat saya berpikir bahwa "dunia sudah menjadi (sedikit) gila".
Saya terlahir di era teknologi, dan entah mengapa dalam beberapa kesempatan, saya benci itu.
Tentu ada beberapa alasan yang terkadang membuat saya rindu melihat dunia yang lebih natural dan "apa adanya", tetapi lebih-lebih lagi, saya tidak senang melihat media sosial dijadikan panggung pamer dan bunyi bising yang tanpa makna.
Ditambah lagi dengan fitur "anonim" atau akun palsu, orang menjadi lebih candu untuk memaki orang yang dibencinya. Tingkat penghormatan terhadap manusia tampaknya menjadi jauh lebih abu-abu daripada sebelumnya.
Di satu sisi, media sosial telah membuka jalan yang luas bagi orang-orang untuk menunjukkan keterampilannya. Ini adalah kesempatan langka di mana dunia, pada akhirnya, dapat melihat secara lebih jelas bahwa setiap orang terlahir dengan keunikannya tersendiri.
Namun di sisi lain, orang juga menjadi lebih mudah untuk bersikap sinis, yaitu menyalurkan berbagai jenis kebencian dalam selimut identitas yang tak jelas. Kedengkian ada di mana-mana dan agaknya lebih ambigu daripada zaman-zaman sebelumnya.
Sekarang banyak orang yang bahagia dengan cara menggasak kebahagiaan orang lain, dan itu jelas bukan demokrasi.
Mereka mengira bahwa memanfaatkan orang lain sebagai "sarana" untuk bahagia adalah bagian dari kebebasan demokrasi, tetapi saya katakan dengan jelas bahwa itu sama sekali bukan kebebasan, apalagi demokrasi.
Justru, itu adalah bentuk ketidakbebasan; bukti bahwa mereka masih terperdaya oleh egonya sendiri.
Perasaan benci, dengki dan iri terhadap pencapaian orang lain hanyalah cara mudah untuk menghambat kebebasan kita sendiri, karena artinya kita sedang menancapkan satu pagar pembatas di depan kita.
Kedengkian yang kita alamatkan pada seseorang hanya akan membuat kita semakin merasa tidak aman, dan bahkan sama terancamnya seperti dikejar oleh bayangan sendiri.Â
Kita berusaha menyerangnya dengan bara api, tetapi tangan kita sudah terbakar jauh sebelum itu.
Pikiran yang penuh dengan kebencian, pada faktanya, hanya akan membuat kita semakin tersiksa. Semakin besar kebencian tersebut, semakin liar pula diri kita dalam menyikapi kenyataan dan mungkin saja kehilangan kewarasan selama beberapa waktu.
Itulah yang membuat orang begitu nekat mengatakan atau melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak terbayangkan oleh dirinya sendiri bila dalam kondisi sadar.
Kita menyulap cerita omong kosong di kepala kita tentang motif mereka dan lalu menjadi lebih marah dan terluka.Â
Kita membayangkan percakapan imajiner dengan mereka di mana kita mengalahkan mereka dalam pertarungan, lantas seluruh dunia pun lebih mengagumi kita dengan sendirinya.
Semua itu tidak ada gunanya karena kita tidak bisa mengubah apa pun sampai mereka melakukannya sendiri. Jadi sebaliknya, kita hanya akan termakan oleh siklus kemarahan dan kebencian. Sementara itu, mereka terus menjalani kehidupan mereka.
Kebanyakan orang cenderung menunjukkan reaksi emosional yang negatif ketika berhadapan dengan seseorang yang baru saja mencapai hal-hal hebat. Anehnya, justru kasus ini lebih sering terjadi ketika orang yang dimaksud adalah sahabatnya sendiri, atau bahkan saudara kandungnya.
Barangkali karena orang-orang itulah yang senantiasa berada di dekatnya dan secara otomatis merasa berkewajiban untuk "lebih terhormat" daripada mereka. Perasaan tidak aman pun semakin membesar.
Akan tetapi, kesuksesan bukanlah permainan zero-sum: keberhasilan satu orang bukan berarti kue untuk Anda semakin sedikit. Fakta inilah yang semestinya meniadakan kedengkian dalam diri kita dan ikut berbahagia atas pencapaian orang lain.
Bayangkan bahwa kita merupakan bagian dari satu tim sepak bola yang kompak. Meskipun setiap pemain tetap berkompetisi untuk mencetak gol ke gawang lawan, tetapi semua pemain turut merayakan gol, terlepas dari siapa pun yang melakukannya.
Pada titik itulah, kita bisa merasakan betapa semua manusia berada di rumah yang sama; satu titik biru pucat (meminjam istilah Carl Sagan) yang kita sebut sebagai Bumi. Hanya inilah yang kita miliki sejauh ini, tempat di mana kita mencari kehangatan di tengah dinginnya alam semesta.
Dan sebenarnya, ada alasan bagus untuk melakukan itu.
Sebuah studi yang dilakukan hampir selama 80 tahun oleh Harvard University menunjukkan bahwa hubungan yang baik, bukan uang atau status, adalah kunci kebahagiaan dan kesehatan yang baik.
Menurut studi tersebut, tidak peduli apa pun situasi atau latar belakang seseorang, manusia yang memiliki hubungan positif dan mendalam dengan orang lain tidak hanya lebih bahagia, tapi juga cenderung hidup lebih lama.
Itulah mengapa ketika kita menaruh satu kedengkian dan kebencian kepada orang lain, sebenarnya kita sedang menghancurkan kebahagiaan kita sendiri yang berpotensi muncul dalam hubungan yang harmonis.
Berbahagia atas pencapaian orang lain dapat menciptakan rasa aman dalam diri kita, dan itulah yang kemudian membebaskan kita untuk lebih bahagia. Sebaliknya, dengki dan benci adalah sumber ketidakbebasan kita, karena hanya akan menambah "musuh" kita.
Itu sama seperti mengikatkan rantai besi di leher kita sendiri; alih-alih memberatkan orang yang kita benci, justru kita sendirilah yang merasa kesusahan.Â
Mendukung dan menunjukkan kebahagiaan atas keberhasilan orang lain adalah sesuatu yang mesti dilakukan setiap orang.
Saya percaya hukum semesta yang berbunyi, "Semakin banyak yang kita keluarkan, semakin banyak pula yang kita terima sebagai balasannya." Hukum ini tidak hanya berlaku dalam dunia keuangan, tetapi juga kebahagiaan.
Meskipun itu bukanlah alasan supaya kita menjadi pamrih, tetapi dengan mempercayai hukum tersebut, setidaknya kita terdorong untuk berbuat banyak hal dan membagikan kebahagiaan kita sendiri kepada dunia yang kerap murung.
Saya selalu menganggap bahwa orang lain itu bagaikan bayangan saya sendiri yang saya temukan di cermin. Jika saya memukul, bayangan itu juga memukul. Jika saya melihatnya dengan penuh cinta, dia akan memperlakukan saya sama lembutnya dengan itu.
Ingatlah bahwa setiap tindakan mendatangkan reaksi emosional dari pihak lawan dan sering kali kadarnya setara. Ini seperti melemparkan bola basket ke dinding: semakin keras tenaga yang kita kerahkan, semakin keras pula bola tersebut kembali pada kita.
Misalnya, saya memukul Anda tepat di wajah tanpa ada alasan; tidak ada pembenaran, murni sebuah kekerasan. Barangkali reaksi naluriah Anda adalah membalas saya dengan segala cara, entah itu bersifat fisik, verbal, maupun sosial.
Hukum yang sama juga berlaku ketika saya berbuat baik kepada Anda. Jauh dalam lubuk hati, Anda merasa sedang berhutang budi pada saya dan sebuah kesenjangan moral pun memisahkan kita.
Ketika dihadapkan pada kesenjangan moral, emosi-emosi kita akan meluap dan mendambakan kesetaraan, atau setidaknya kembali lagi pada kondisi kesetaraan moral.
Dengan demikian, Anda pun akan berusaha untuk berbuat baik kepada saya dan "rasa bersalah" pun terobati dengan sendirinya. Inilah mengapa cara terbaik untuk dicintai adalah dengan mencintai; untuk "dibahagiakan", kita mesti "membahagiakan".
Menampilkan kebahagiaan sejati atas pencapaian orang lain justru dapat membawa sebagian dari kebahagiaan itu ke dalam jiwa kita sendiri. Dan jika Anda merasa ini sedikit aneh, saya yakin Anda belum pernah melakukannya.
Saya selalu melihat keindahan tertentu dalam diri setiap orang, dan ketika mereka menunjukkan kebahagiaannya, saya melihat keindahan itu semakin jelas memenuhi jiwa mereka, dan saya mengaguminya.
Dalam kata-kata Albert Camus, "Ada lebih banyak hal untuk dikagumi dalam diri manusia daripada yang dibenci."
Barangkali Anda merasa khawatir bahwa kebahagiaan yang Anda tunjukkan tidak akan pernah berbalas, tetapi saya pikir lebih baik mencintai seorang diri daripada melukiskan guratan benci dalam diri sendiri.
Inilah godaan kita untuk merasa cemas bahwa kebahagiaan kita tidak akan berbalas. Tetapi bila timbul kekhawatiran semacam itu, berarti "kemuliaan" yang kita tampilkan pun pada dasarnya hanyalah bagian dari transaksi.
"Jika saya memberimu A, maka kau mesti memberi saya B sebagai balasannya."
Kemuliaan tidak didasarkan atas transaksi. Jelas sekali. Kemanusiaan haruslah menjadi titik akhir, bukan batu pijakan yang kita manfaatkan untuk tujuan lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H